Faktor-faktor Penyebab Melemah dan Memudarnya Nilai Ketaatan

  • Godaan-godaan Setan Terhadap Umat Manusia

    Hendaknya masing-masing orang menyadari bahwa selama hayat dikandung badan ia senantiasa berada dalam kancah peperangan melawan setan. Setiap jalan-jalan kebaikan yang ditempuhnya, ia pasti berhadapan dengan setan yang siap menghadang. Simaklah hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam berikut ini:

    “Sesungguhnya setan senantiasa siap menghadang bani Adam dalam setiap langkah yang ditempuh-nya. Bila ia menempuh jalan Islam, maka setan akan menggoda seraya berkata: ‘Apakah engkau sudi meninggalkan ajaran nenek moyangmu dengan menempuh jalan Islam?’ Namun seorang hamba Allah sejati tidak akan menghiraukan godaan itu dan tetap menempuh jalan Islam. Bila ia menempuh jalan hijrah, maka setan akan datang menggoda seraya berkata: ‘Apakah engkau sudi meninggalkan kampung halaman tercinta dengan nekad berhijrah?’ Namun ia pun tidak menghiraukan godaan itu dan tetap berhijrah. Bila ia menempuh jalur jihad, maka setan akan datang menggoda seraya berkata: ‘Jika engkau masih membandel tetap ikut berjihad, niscaya engkau akan terbunuh, istrimu akan dinikahi orang dan hartamu akan dibagi-bagikan! Namun ia menepis godaan itu dan tetap pergi berjihad.” (HR. An-Nasaai dan Ahmad dalam musnadnya dari Sabrah bin Abi Fakih secara marfu’)

    Ketahuilah bahwa kancah peperangan ini sangat berat dan melelahkan, ditebarkan oleh setan dan bala tentaranya di mana-mana. Maka hendaklah kita benar-benar siap menghadapinya. Setan, hawa nafsu, angkara murka dan godaan dunia siap menjerat setiap saat.

    Seorang penyair menuturkan:
    Sungguh, diriku dihujam dengan empat anak panah,
    yang tiada henti-henti melesat dari busurnya meng-hujam diriku.
    Yaitu iblis, dunia, ambisi diri dan hawa nafsu.
    Wahai Rabbku, hanya Engkau jualah yang kuasa menyelamatkan diriku.
    Oleh karena itu, sudah seyogyanya kita selalu waspada terhadap segala tipu daya setan. Bukankah Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman:

    “Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.” (Fushshilat: 36)

    Sadarilah bahwa pada detik ini kamu tengah berperang melawan setan, janganlah sampai engkau dipecundanginya. Hati-hatilah terhadap tipu daya setan, janganlah sampai mengicuh dirimu. Sesungguhnya tipu daya setan itu sangat lemah wahai saudaraku! Dengarlah firman Allah Subhannahu wa Ta’ala berikut ini:
    “Oleh sebab itu, perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (An-Nisa’: 76)

  • Kurang Memahami dan Mengetahui Urgensi Menjaga Nilai Ketaatan

    Sering kita temui sebagian orang yang melakukan berbagai bentuk perbuatan dosa dan maksiat. Namun lucunya ia masih mengaku-aku sebagai seorang multa-zim (orang yang menjaga nilai ketaatan). Ia sebenarnya tidak memahami dan tidak mengerti hakikat iltizam (menjaga nilai ketaatan). Sebab hakikat iltizam adalah melaksanakan amalan-amalan ketaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan. Oleh sebab itu pula sering kita mendengar selentingan pertanyaan dalam momen-momen tertentu seperti ceramah, pengajian dll yang berbunyi: “Saya adalah seorang pemuda ‘baik-baik’, selalu mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji, namun aku masih suka mendengarkan musik, atau aku masih suka melabuhkan kain sampai di bawah mata kaki (isbal), atau aku masih suka melihat perkara yang diharamkan untuk dilihat, atau perbuatan dosa lainnya. Bagaimana menurut Anda wahai saudaraku? Seolah-olah sikonnya berkata: “Jika air sudah mencapai dua qullah, niscaya tidak akan menjadi najis karena kotoran, yaitu selama aku dalam keadaan demikian, aku tetap tergolong orang ‘baik-baik’, meskipun dosa dan maksiat itu selalu kulakukan.

    Sekali-kali tidak! Engkau tetap tertuntut untuk meninggalkan perbuatan dosa itu, engkau harus menjauhkan diri dari dosa-dosa itu sejauh-jauhnya. Dan hendaknya engkau memasang tekad yang kuat untuk itu, mintalah pertolongan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dan jangan mudah menyerah!

    Seorang pemudi mengadukan halnya: “Aku adalah seorang gadis ‘baik-baik’, namun aku masih sering ber-khalwat dengan sopir pribadiku di dalam mobil atau dalam rumah.” Bagaimanakah pendapat Anda tentang masalah ini?
    Saya tandaskan bahwa perbuatan seperti itu jelas melanggar rambu syariat. Sedangkan iltizam yang hakiki mengharuskannya untuk meninggalkan pelanggaran-pelanggaran syariat semacam itu.

  • Lingkungan yang Jauh dari Nilai-nilai Ketaatan

    Kadangkala seseorang yang iltizam tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang jauh dari nilai-nilai ketaatan. Kadangkala ia hanya bisa diam melihat dosa dan maksiat yang ada di sekitarnya, lebih parah lagi terkadang ia terpengaruh dengan dosa dan maksiat itu. Sebagaimana yang disebutkan dalam pepatah ‘alah bisa karena biasa’, jika sudah terlalu sering menyaksikan perbuatan dosa, akhirnya terpengaruh juga.

    Maksudnya bukan secara seporadis merubah pelanggaran-pelanggaran syariat yang dilihatnya di dalam rumah. Sebab cara seperti itu akan membuahkan hasil yang mengecewakan. Beberapa pemuda semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala mencurahkan taufik kepadanya dan kepada kita semua- terlalu terburu-buru dalam bertindak, begitu ia mendapat hidayah, langsung saja ia datangi keluarganya seraya menyeru: “Kalian semua tahu atau tidak bahwa perkara ini dan ini haram tidak boleh dilakukan!”

    Dengan enteng keluarganya menjawab sebagaimana yang dilantunkan seorang penyair:
    Kalian katakan ini dan itu tidak boleh kami laku-kan.
    Siapakah kalian, hingga kalian bisa berkata ini dan itu!
    “Bukankah kamu seorang anak kecil baru lahir kemarin, masih bau kencur? kok tiba-tiba saja menjadi mufti di dalam rumah, tunggu dulu janganlah tergesa-gesa!” demikian sindir keluarganya.

    Menurut hemat saya masalahnya tidak akan selesai dengan mengunci mulut tidak bereaksi, dan tidak pula dengan cara seporadis seperti itu. Sebagian orang berang-gapan bahwa solusinya adalah dengan meninggalkan rumah (minggat), tentu saja ini merupakan cara yang keliru, sebab minggat dari rumah tidak akan menyelesai-kan masalah (bahkan akan menambah masalah). Beda halnya jika dengan meninggalkan rumah, kondisi akan berubah menjadi lebih baik. Namun biasanya cara seperti itu justru akan menambah berat jalan cerita.

    Apabila engkau melihat sebuah kemungkaran (khu-susnya di dalam rumah sendiri), maka siapkanlah senjata pamungkas yang membuat mereka tidak bisa berkutik, tidak bisa berdalih ini dan itu. Hendaklah engkau menyi-apkan petuah alim ulama yang terpandang mengenai bahaya kemungkaran itu. Atau dapat juga engkau siapkan fatwa ulama, kitab agama, kaset ceramah, buletin-buletin dan lain sebagainya. Kemudian engkau persilakan mereka sendiri yang mendengar dan mem-bacanya. Sebab terkadang mereka belum menemukan cara yang tepat untuk meninggalkan perbuatan mungkar itu. Banyak pemuda yang terhimpit problematika seperti ini, dengan menerapkan cara di atas banyak membuah-kan hasil-hasil positif yang menggembirakan. Walham-dulillah

  • Musibah dan Cobaan

    Berapa banyak orang yang berubah jalur hidupnya akibat musibah dan cobaan yang menimpa. Terkadang musibah dan cobaan itu datang dari orang lain atau karena akibat tingkahnya sendiri. Muslim yang sejati adalah yang bertambah ketaatannya setiap musibah dan cobaan datang menerpa. Adakah musibah dan cobaan yang lebih besar dari yang diterima Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan sahabat-sahabat beliau? Coba buka kembali sejarah peperangan Ahzab! Simaklah firman Allah Subhannahu wa Ta’ala berikut ini yang menggambarkan betapa berat cobaan yang dialami mereka, sehingga sulit diungkapkan dengan kata-kata;

    “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sam-pai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncang-kan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (Al-Ahzab: 10-11)

    Coba bayangkan bagaimana keadaan Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam ketika itu, hamba yang paling mulia di sisi Allah Subhannahu wa Ta’ala , apakah dengan cobaan yang demikian nilai ketaatan mereka merosot? Apakah pupus iman mereka kepada Allah? Ma’adzallah sekali-kali tidak! namun kita ucapkan seba-gaimana yang diucapkan hamba-hamba yang beriman.

    “Dan tatkala orang-orang mu’min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata:”Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al-Ahzab: 22)

  • Terlalu Banyak Beban Kehidupan yang Dipikul dan Terlalu Berat Serta Panjang Perjalanan yang Dilalui

    Terus terang saya katakan bahwa sebagian orang ada yang membebankan dirinya di luar kapasitas normal, hingga ia sendiri tidak sanggup memikulnya. Kadang ia lupa bahwa perjalanannya masih panjang. Kita dapati ia mencampuri dan menggeluti hampir semua bidang. Sibuk mengurus ini dan itu. Sampai-sampai ia mengabai-kan perkara-perkara wajib.

    Tidakkah pernah engkau jumpai seorang yang punya ambisi besar, setiap celah yang bisa dimanfaatkan, pasti dimasukinya! Namun begitu selesai dari segala aktifitasnya itu, staminanya menurun, akhirnya terkapar tiada berdaya, tenggelam dalam tidur yang pulas. Terka-dang ia melalaikan kewajiban-kewajibannya. Padahal yang dituntut adalah menyucikan jiwa dengan berbuat taat. Lebih parah lagi, terkadang ia melalaikan shalat fajar, tentu saja ia juga melalaikan doa-doa sebelum tidur.

    Hendaklah kita beramal sesuai dengan kemampuan yang ada. Ikutilah petunjuk Rasulullah saw berikut ini:
    “Amal yang paling dicintai Allah adalah yang ber-kesinambungan meskipun sedikit.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)

  • Pengaruh Orang Tua

    Pengaruh orang tua sangat besar terhadap pertum-buhan anak-anaknya. Mereka dapat menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya nilai ketaatan. Apalagi jika si ayah jauh dari tuntunan agama. Kadangkala seorang anak tumbuh di atas bimbingan agama yang baik, ia menampik perkara-perkara yang dilarang agama. Namun sayangnya si ayah berusaha menghalanginya. Si ayah menyediakan segala fasilitas untuk memperdaya anaknya itu, tentu saja lambat laun si anak akan terpengaruh hingga melemahlah nilai ketaatannya.

  • Tidak Ada Kontrol dan Motivasi dari Orang Lain

    Sering kali kita keluhkan tidak adanya waskat (pengawasan melekat) antara sesama pemuda ketika gejala-gejala penyakit ini muncul (maksudnya penyakit melemahnya gairah beramal). Berapa banyak orang yang bertekad untuk bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala , namun sangat sedikit yang mau peduli dengan kesungguhannya itu. Kontrol dan suntikan motivasi ini sangat urgen, sebab seorang pemuda biasanya memiliki masa lalu yang selalu diingatnya. Jika terbayang kembali masa lalunya itu, setan akan segera menggodanya untuk kembali seperti yang dulu. Kemudian datanglah bala tentara setan yang diperankan manusia-manusia iblis, menakut-nakutinya dengan bayangan masa lalunya itu. Bahkan terkadang mengancamnya bila ia tidak seperti yang dulu, mereka akan membongkar boroknya di hadapan orang banyak! Pada saat-saat seperti itu, ia tidak menemukan orang shalih dan istiqamah yang memberikan motivasi kepadanya. Sehingga ia terpengaruh bisikan bala tentara iblis tadi, akhirnya ia kembali kepada masa lalunya yang kelam.

    Kadang kala mereka menyeretnya ke dalam kemu-nafikan, dengan membisikkan ke telinganya: “Tetaplah engkau seperti ini secara lahir. Dan secara batin engkau dengan perbuatanmu seperti itu sehingga engkau pasti bersama orang-orang jahat juga nantinya!”

    Seringkali kita temui cara yang kurang tepat, yaitu nasihat pertama yang kita sampaikan kepada mereka adalah: “Hati-hati dengan si ‘Fulan’, jangan sekali-kali kamu mendekatinya! Menurut pandangan saya, cara seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan secara tidak disadari kita telah membantu setan untuk menyesatkan si ‘Fulan’ itu. Jarang sekali kita temui nasihat yang berbunyi: “Wahai saudaraku, hendaklah engkau menemani si Fulan dan membimbingnya.”

    Seorang teman saya pada suatu hari mengadu bahwa ia baru saja keluar dari penjara, dan ia telah bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala. Dengan tegas ia katakan: “Apakah ada seorang teman yang shalih yang sudi membimbingku? Apakah ada pendamping yang shalih yang bersedia duduk bersamaku? Saya menjawab: “Tentu saja ada!” Namun dengan memelas ia berkata: “Akan tetapi mereka semuanya menjauh dariku!”

    Jika kita biarkan dia begitu saja, berarti kita mem-biarkan dia menjadi mangsa setan dan menjadi bala tentaranya. Jika Allah Subhannahu wa Ta’ala menyukai orang-orang yang bertaubat, mengapakah kita tidak menyukai mereka? Bukankah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda:

    “Demi Allah, sesungguhnya Allah sangat senang dengan taubat hamba-Nya melebihi senangnya sese-orang di antara kamu yang menemukan kembali ontanya yang hilang di padang luas.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud dan Anas bin Malik Radhiallaahu anhu )

    Jika kita memang menyukai orang-orang yang bertau-bat, mengapakah kita tidak membimbing mereka kepada jalan kebenaran dan hidayah serta ketaatan? Sudah selayaknya kita menuntun mereka untuk berbuat taat.
    Tentunya kita semua pernah mendengar kisah seorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa, kemudian bertanya di manakah orang yang paling alim di muka bumi? Ia pun ditunjukkan kepada seorang rahib (pendeta). Ia pun bertanya kepada pendeta itu, apakah masih terbuka pintu taubat baginya, sementara ia telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa? Pendeta itu menjawab: “Tidak!” Maka ia pun membunuh pendeta itu sehingga genaplah seratus jiwa yang telah dibunuhnya. Lalu ia bertanya lagi, di manakah orang yang paling alim di muka bumi? Ia pun ditunjukkan kepada seorang ulama. Ia bertanya kepada ulama itu, apakah masih terbuka pintu taubat baginya, sementara ia telah membunuh seratus jiwa? Ulama itu menjawab: “Ya, siapakah yang menghalangimu dari pintu taubat?” Ulama itu telah memberikan lampu hijau kepadanya untuk menorehkan lembaran baru dalam hidupnya. Ulama itu berkata: “Pergilah engkau ke negeri A, di sana terdapat orang-orang shalih yang senantiasa mengesakan Allah Subhannahu wa Ta’ala dalam beribadah, ikutilah mereka!” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

    Sekiranya orang itu menolak pergi ke negeri A tersebut, maka tidak ada pilihan baginya kecuali kembali kepada lingkungannya yang rusak. Namun takdir Allah Subhannahu wa Ta’ala menentukan lain, orang itu mati di tengah perjalanan menuju ke sana.

    Oleh sebab itu wahai saudaraku, apabila datang seorang yang benar-benar ingin bertaubat, hendaklah kita bergembira dengan taubatnya itu. Namun masih saja ada yang mencibir: “Taubatnya belum seratus persen!” Kepada mereka saya katakan: “Wahai saudara-ku, barangkali ia masih khawatir atau takut kepada sebagian orang!” Atau masih saja ada yang mencemooh: “Ia baru kemarin meninggalkan alam maksiat, aku khawatir ia masih menyimpan sesuatu!” Dan masih ba-nyak lagi komentar-komentar lainnya, seperti: “Jangan-jangan ia nanti mengambil hartaku lalu minggat!” Apakah ini yang kau inginkan?!

    Sikap seperti itu bersumber dari piciknya pandangan. Yaitu ketika pertama kali engkau berkenalan dengan seseorang langsung saja engkau tumpahkan segala uneg-unegmu kepadanya. Tahan dulu, jangan terburu-buru! Sebab bukan seperti itu caranya, akan tetapi hendaklah engkau teguhkan ia di atas ketaatan terlebih dulu, engkau luruskan dan engkau tuntun tangannya hingga timbul kepercayaan dirinya dan setelah itu ia dapat kembali ke daerahnya sebagai da’i kepada agama Allah Subhannahu wa Ta’ala.