Berkat ilmu orang yang rendah menjadi tinggi, orang yang hina menjadi mulia, orang yang lemah menjadi kuat, orang papa menjadi kaya. Berkat ilmu kerendahan berganti ketinggian, kehinaan berganti kemuliaan, kelemahan berganti kekuatan dan kepapaan berganti kekayaan.

Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Abu ath-Thufail Amir bin Watsilah bahwa Nafi’ bin Abdul Harits berjumpa dengan Umar bin al-Khattab di Usfan dan pada saat itu Umar menugaskannya sebagai gubernur Makkah, maka Umar berkata, “Siapa yang mewakili tugasmu?” Dia berkata, “Saya mewakilkannya kepada Ibnu Abza, seorang laki-laki dari kalangan mantan hamba sahaya kami.” Umar berkata, “Apa kamu melimpahkan tugasmu kepada seorang mantan hamba?” Dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, dia itu seorang qari` Kitabullah, pakar faraidh dan seorang hakim.” Umar pun berkata; “Ketahuilah bahwa Nabi kalian telah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kaum dan merendahkan yang lainnya dengan Kitab Suci ini.”

العِلْمُ يَرْفَعُ بَيْتًا لاَ عِمَادَ لَهُ
وَالجَهْلُ يَهْدِمُ بَيْتَ العِزِّ وَالشَّرَفِ

Ilmu mengangkat rumah yang tidak bertiang
Dan kebodohan menghancurkan rumah kemuliaan dan kehormatan

Fakta kehidupan adalah saksi terbaik dan terjujur, tidak terhitung berapa banyak orang yang berubah nasibnya dan berganti kehidupannya, dari yang melarat menjadi nikmat, dari yang sengsara menjadi bahagia, dari yang tidak dipandang walaupun hanya dengan sebelah mata menjadi yang dihargai dan dihormati.

Ini adalah salah satu bukti sejarah yang berbicara tentang seorang ulama besar yang berubah kehidupannya sehingga dia berhasil meraih kedudukan mulia dan tinggi, dan itu berkat ilmu.

Al-Khathib al-Baghdadi bercerita di dalam Tarikh Baghdad 14/244 tentang biografi Qadhi Abu Yusuf murid Abu Hanifah, wafat tahun 182, Abu Yusuf berkata, “Aku belajar fikih dan hadits ketika keadaanku miskin dan sengsara, suatu hari bapakku datang pada saat aku sedang berada di sisi Abu Hanifah, maka aku beranjak bersama bapakku, bapakku berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, janganlah kamu menjulurkan kakimu kepada Abu Hanifah, karena roti Abu Hanifah telah terpanggang, sedangkan kamu memerlukan hidup.’ Maka aku sering meninggalkan belajar dan aku memilih menaati bapakku.”

Abu Hanifah kehilanganku, dia bertanya tentangku, maka aku mulai hadir secara rutin di majlisnya, di hari pertama kehadiranku setelah aku tidak hadir beberapa waktu sebelumnya, dia bertanya, “Apa yang menyibukkanmu dari kami?” Aku menjawab, “Kesibukan mencari hidup dan menaati bapakku.” Maka aku duduk, ketika hadirin telah beranjak, dia menyerahkan sebuah kantong, dia berkata kepadaku, “Gunakan ini untukmu.” Aku memandangnya, ternyata isinya seratus dirham, dia berkata kepadaku, “Jangan membolos dari halaqah, jika ia habis maka beritahu aku.” Maka aku terus hadir di halaqahnya, tidak lama berselang setelah itu dia kembali menyerahkan uang dalam jumlah yang sama, kemudian dia selalu memperhatikanku, padahal aku tidak pernah mengatakan kebutuhanku kepadanya dan tidak pula mengabarkan habisnya sesuatu tertentu, seolah-olah ada yang memberitahunya tentang habisnya sesuatu padaku, sampai aku mampu dan berharta.

Ada riwayat kedua tentang pertumbuhan Abu Yusuf, Ali bin al-Jaad berkata, Abu Yusuf bercerita kepadaku, dia berkata, bapakku Ibrahim bin Habib wafat, beliau meninggalkanku yang masih kecil dalam perawatan ibuku, ibuku menyerahkanku kepada tukang celup kain untuk membantunya, aku meninggalkan tukang celup dan menghadiri halaqah Abu Hanifah, aku duduk dan mendengar, maka ibuku menyusulku ke halaqah, dia memegang tanganku dan membawaku ke tukang celup, Abu Hanifah sendiri memperhatikanku karena dia mengetahui kehadiranku dan kesungguhanku dalam belajar.

Karena hal itu sering terjadi pada ibuku dan aku sering kabur darinya ke Abu Hanifah, ibuku berkata kepada Abu Hanifah, “Tidak ada perusak bagi anak ini selainmu. Anak ini anak yatim, tidak mempunyai apa-apa, aku memberinya makan hanya dari hasil tenunanku, aku berharap dia mendapatkan satu daniq untuk dirinya sendiri.” Abu Hanifah berkata kepada ibuku, “Biarkan saja dia, wahai ibu yang kurang waras, dia sedang belajar makan faludaj dengan lemak fustuq.” –Makanan khusus para raja- Ibuku berlalu sambil bergumam, “Engkau adalah syaikh yang telah pikun dan hilang akal.”

Abu Yusuf berkata, kemudian aku terus menyertai Abu Hanifah, dia memperhatikanku dengan hartanya, dia tidak membiarkan kemiskinanku, maka Allah memberiku manfaat dengan ilmu dan Dia mengangkatku sampai aku menjabat sebagai hakim, aku bergaul dengan Harun al-Rasyid dan makan bersama di meja makannya, suatu kali faludaj di hidangkan kepada Harun al-Rasyid, maka Harun berkata kepadaku, “Wahai Ya’qub, makanlah ia, karena ia tidak dibuat setiap hari.” Aku bertanya, “Ini apa ya Amirul Mukminin?” Dia menjawab, “Faludaj dengan lemak fustuq.” Maka aku tersenyum. Dia bertanya kepadaku, “Mengapa kamu tersenyum?” Aku menjawab, “Baik, semoga Allah memberi umur panjang kepada Amirul Mukminin.” Dia berkata, “Kamu harus mengatakannya.” Dia mendesakku, maka aku menceritakan kisah dari awal sampai akhir, maka dia takjub, dia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ilmu mengangkat dan bermanfaat bagi agama dan dunia.” Dia mendoakan Abu Hanifah dengan rahmat, dia berkata, “Dia melihat dengan mata akalnya apa yang tidak dia lihat dengan mata kepalanya.”

Mahabenar Allah, “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang berilmu di antaramu.” (Al-Mujadilah: 11).
(Izzudin Karimi)