PERTAMA : PENOMENA PENGKAFIRAN

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umat radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya (yang muslim). ‘Hai kafir!’ maka salah satunya dinyatakan kafir.” (Dikeluarkan Bukhari no. 6103, 6104 dan Muslim no. 158) Imam Bukhari meriwayatkan juga dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَرْمِيْ رَجُلٌ رَجُلاً بِفُسُوْقٍ وَ لاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ , إِلاَّ اِرْتَدَّتْ عَلَيْهِ , إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan dan pengkafiran, kecuali kata-kata tersebut (tuduhan tersebut) kembali kepadanya apabila temanya (yang dituduh) itu tidak terbukti demikian.” (Dikeluarkan Bukhari no. 6045.)

Hadits-hadits ini dan juga yang lainnya masih banyak, memperingatkan untuk tidak mengkafirkan atau melontarkan kata “Kafir” terhadap orang muslim secara lepas. Dikarenakan tidak dibolehkan mengkafirkan orang Muslim, kecuali apabila orang Muslim tersebut terjerumus pada sesuatu yang menjadikannya kafir. Karena orang yang telah memasuki Islam dengan yakin tidak boleh dikatakan fasik atau kafir, atau dikatakan keluar dari agama Islam kecuali ada bukti yang menuntutnya untuk dikatakan fasik atau kafir.

Sesungguhnya kita berada pada zaman yang di dalamnya banyak ungkapan-ungkapan mengkafirkan seorang Muslim, menisbatkan laknat Allah kepadanya, menyatakan orang Muslim tersebut kekal di dalam neraka. Karena itu, kita harus merujuk atau melihat kepada kalimat yang haq. Kita harus memposisikan manusia pada posisinya masing-masing yang telah diposisikan oleh syari’at. Kita tidak membenarkan penghinaan terhadap urusan agama, dan kita tidak berlebihan dalam hukum-hukum dengan berlebihan yang bisa menjauhkan kita dari kebenaran. Kita tidak mendidik orang-orang yang menganggap sepele atau menganggap remeh (dalam urusan agama), dan tidak mendorong seseorang untuk putus harapan atau putus asa. Juga, kita berpartisipasi dalam membangun manusia yang tidak melihat orang lain kecuali dengan pandangan bahwa orang-orang tersebut kafir, terlaknat atau buron, dan kita juga tidak menumbuhkan pada seseorang suatu gambaran yang dengannya akan melihat semua manusia itu salih, dan urusan mereka diserahkan kepada Tuhannya. ( Ahkaamu ‘Ushat al-Mukminin karya Ibnu Taimiyah ditulis ulang oleh Marwan Kajakistan hal 7. )

Sesungguhnya pengkafiran terhadap seorang Muslim harus berdasarkan pada batasan-batasan syari’at, pemahaman, dan kehatihatian. Hal tersebut tidak dapat dilakukan kecuali oleh para ulama yang kuat ilmunya dan para hakim syari’at. Merekalah yang menghukumi atas seseorang bahwa ia adalah kafir dikarenakan pengetahuan mereka atas dalil-dalil syari’at, syarat-syarat, serta penghalang-penghalang untuk permasalahan ini. Tidak boleh mengkafirkan seorang Muslim hanya karena ia melakukan kesalahan atau kemaksiatan, walaupun kemaksiatan tersebut termasuk kategori dosa besar selama tidak menghalalkannya (kemaksiatan tersebut), maka apabila mengahalalkan kemaksiatan tersebut sesungguhnya ia dihukumi kafir. Apabila seseorang berbuat zina, mencuri, atau minum arak janganlah dikatakan bahwa ia kafir, melainkan katakanlah bahwa ia bermaksiat atau fasiq. Tetapi apabila orang tersebut mengatakan bahwasanya arak, zina, mencuri, atau yang lainnya itu adalah halal dan tidak diharamkan Allah Ta’ala, kemudian ia menentang terhadap pengharaman Allah Ta’ala untuk kemaksiatan tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwasanya ia kafir dengan kekufuran yang besar, dan ia dikeluarkan dari agama Islam.

Sesungguhnya masalah pengkafiran merupakan problem utama yang menimpa kaum muda sekarang, dikarenakan penglihatan yang tidak jelas dan penilaian yang tidak selamat atau bersih dari cacat. Di sini kita harus menempatkan permasalahan pada pangkalnya dan kejelasannya yang sempurna di hadapan para pencari hakikat. (Maqalat Islamiyin juz 1 hal 167,168)

Karena itu, para ulama baik dahulu ataupun sekarang selalu terjun dalam permasalahan ini untuk menerangkan dan menjelaskan syarat-syarat serta penghalang-penghalangnya. Diantara ulama kontemporer yang banyak menyinggung permasalahan ini dalam pelajaran-pelajarannya, pertemuan-pertemuan dan fatwa-fatwanya adalah seorang ulama ahli hadits, Muhamad Nashirudin al-Bani. Beliau telah mengungkapkan kata-kata yang lurus sebagai jawaban atas pertanyanaan-pertanyan seputar masalah pengkafiran. Dalam perkataannya tersebut beliau telah menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan (dalam masalah pengkafiran), dan dalam perkataannya pula beliau menempuh jalan orang-orang yang beriman.

Perkataan beliau ini telah dipublikasikan dalam berbagai majalah dan surat kabar. Karena pentingnya perkataan beliau ini, Syekh Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Baz telah memujinya, sebagaimana Syekh Muhamad bin Sholeh al-Ustaimin juga telah memberikan komentar terhadap ucapannya, dalam salah satu pelajaranya pada sebuah mesjid besar yang ada di kota Unaizah di kawasan al-Qashim.

Dikarenakan pentingnya permasalahan ini, juga termasuk dari fenomena-fenomena al-ghuluw (berlebihan) dan at-tatharruf (ekstrim), maka di sini saya akan mengedepankan perkataan al-alBani dikarenakan pentingnya, setelah saya memperhatikannya dengan menerangkan hadits-haditsnya, dan menetapkan komentar Ibnu Utsaimin juga pujian yang mulia Ibnul Baz terhadap beliau. Allah-lah tempat memohon pertolongan dalam mencapai maksud atau tujuan.