Juha dalam sastra Arab identik dengan kisah-kisah lucu sarat makna. Dia selalu saja berseberangan pendapat dengan anaknya dalam sebagian prilaku, setiap dia memerintahkan anaknya untuk melakukan sesuatu, sang anak selalu menyanggahnya dengan beralasan, “Apa kata orang nanti kepada kita, kalau kita melakukannya.?”

Suatu kali, dia ingin memberikan pelajaran kepada sang anak sehingga bermanfa’at baginya dan membuatnya tidak selalu berusaha untuk mendapatkan restu dan kerelaan semua orang, sebab kerelaan manusia itu sesuatu yang tidak diketahui batasnya. Maka, dia pun mengambil seekor keledai lalu menungganginya dan menyuruh sang anak berjalan di belakangnya. Baru berjalan beberapa langkah, lewatlah sebagian wanita yang lalu menyoraki Juha,
“Wah, ada apa dengan orang ini.! Tidakkah ada kasih sayang di hatimu? Kok, kamu yang naik sedangkan anakmu yang kecil itu kelelahan berjalan di belakang.?”

Maka, Juha pun turun dari keledainya dan menyuruh sang anak yang naik. Tak berapa lama berjalan, lewat pula segerombolan orang tua yang duduk-duduk di bawah terik matahari, maka masing-masing ayah dan anak ini saling menepukkan telapak tangan sehingga mengundang perhatian orang-orang lainnya ke arah orang dungu yang berjalan dan membiarkan anaknya berada di atas keledai tersebut. Mereka berkata,
“Wahai orang tua, kamu berjalan kaki padahal sudah tua sementara anakmu kau biarkan naik kendaraan. Bagaimana kamu bisa mendidiknya agar memiliki rasa malu dan beretika.?”

“Apakah kamu sudah mendengar apa omongan mereka barusan? Kalau begitu, mari kita naik bareng-bareng.” Kata Juha kepada anaknya

Lalu mereka berdua menaikinya bersama-sama dan berjalan, tetapi di tengah perjalanan, kebetulan bertemulah mereka dengan sekelompok orang yang dikenal sebagai kelompok pencinta binatang. Melihat pemandangan itu, mereka meneriaki sang ayah dan anak,
“Takutlah kepada Allah, kasihanilah binatang yang kurus-kering ini. Apakah kalian berdua menungganginya bersama-sama padahal timbangan masing-masing kalian lebih berat daripada keledai ini.?”

“Kamu dengar tadi,?” kata Juha kepada anaknya sambil ia turun dan menurunkan anaknya

“Kalau begitu, mari kita berjalan bersama-sama dan kita biarkan keledai ini berjalan di hadapan kita sehingga kita bisa terhindar dari ucapan miring orang laki-laki, wanita dan para pencinta binatang tersebut,” kata Juha lagi

Mereka berdua kemudian terus berlalu sementara keledai berjalan di depan mereka. Kebetulan mereka berpapasan lagi dengan segerombolan pemuda-pemuda berandalan. Melihat pemandangan tersebut, mereka menggunakan kesempatan untuk mengejek seraya berkata,
“Demi Allah, yang pantas adalah keledai ini yang menaiki kalian berdua sehingga kalian dapat membuatnya terhindar dari kendala-kendala di jalan.”

Cerita terus berkembang dan menyebutkan bahwa Juha rupanya mau mendengar ucapan pemuda-pemuda berandalan tersebut. Dia dan anaknya lalu pergi ke sebuah pohon di tepi jalan, kemudian memotong cabangnya yang kuat dan menambatkan keledai ke cabang tersebut, lantas Juha memikul satu sisi dan anaknya satu sisi yang lain.

Baru beberapa langkah mereka berlalu, rupanya ada beberapa orang di belakang mereka yang menertawakan pemandangan yang aneh tersebut, sehingga mereka berdua distop oleh polisi dan digiring ke rumah sakit jiwa. Ketika Juha sampai di rumah sakit tersebut, tibalah baginya saat yang tepat untuk menjelaskan ringkasan eksperimen mereka yang telah mencapai puncaknya itu. Dia menoleh ke arah anaknya, lalu berkata,
“Wahai anandaku, inilah akibatnya bagi orang yang selalu mendengar omongan-omongan orang; ini dan itu serta hanya ingin mendapatkan kerelaan semua mereka.”

Kejadian itu merupakan pelajaran yang amat berharga bagi anak si Juha yang akan selalu diingat-ingatnya dan didokumentasikan pula oleh sejarah.

(SUMBER: Mi`ah Qishshah Wa Qishshah karya Muhammad Amin al-Jundy, h.48-51)