Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya, “Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu); Allah dan RasulNya lebih dia cintai daripada selain keduanya; Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah; Benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya jika dicampakkan ke dalam api.” (Muttafaq ‘alaih)

Perawi Hadits

Abu Hamzah Anas bin Malik bin an-Nadlar an-Najjari al-Khazraji radhiyallahu ‘anhu. Seorang imam, qari’, mufti, muhaddits, riwayatul Islam dan sekaligus pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Dia mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan begitu sempurna, dan senantiasa menyertai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam semenjak hijrah ke Madinah. Berkali-kali dia mengikuti perang beserta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan merupakan salah seorang yang ikut berbai’at di bawah pohon (ba’iatul ‘aqabah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Aku melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama 10 tahun, beliau tidak pernah memukulku, tidak pernah mencelaku dan tidak pernah bermuka masam di hadapanku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar dikaruniai harta dan anak yang banyak dan doa beliau dikabulkan Allah Subhanahu waTa’ala. Disebutkan bahwa putra-putri Anas pada masa menjelang wafat mencapai lebih dari seratus orang. Beliau meninggal pada tahun 91 atau 92 H. Beliau adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling akhir meninggal dunia, dan ketika beliau wafat, maka bersedihlah semua orang sehingga dikatakan, “Separuh ilmu telah pergi”.

Makna Hadits

-Tiga hal, maksudnya adalah ada tiga sifat yang jika tiga sifat itu ada pada seseorang maka orang tersebut akan merasakan manisnya iman. Dan yang dimaksud dengan manisnya iman adalah rasa nikmat ketika melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu waTa’ala, ketenangan hati dan lapangnya dada.

Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Syaikh Abu Muhammad bin Abu Hamzah berkata, “Pengungkapan dengan lafal manis karena Allah Subhanahu waTa’ala mengumpamakan iman sebagaimana pohon, seperti di dalam firman-Nya, surat Ibrahim 24, artinya, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik.” Kalimat thayyibah (baik) adalah kalimatul ikhlash, kalimat tauhid, sedangkan pohon merupakan pokok dari keimanan, cabang-cabangnya adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan, daun-daunnya adalah segala amal kebaikan yang harus diperhatikan seorang mukmin, dan buahnya adalah segala macam bentuk ketaatan. Manisnya buah akan didapat ketika buah sudah matang, dan puncak dari rasa manis itu adalah bila buah telah masak total, maka ketika itulah akan terasa manisnya buah tersebut.

Allah Subhanahu waTa’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih dia cintai daripada selain keduanya, artinya mencintai Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi cintanya kepada orang lain seperti orang tua, anak, diri sendiri dan semua orang.

Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah Subhanahu waTa’ala. Maksudnya adalah hendaknya hubungan antara seorang muslim dengan saudaranya yang muslim dilandasi dengan iman kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan amal shalih. Bertambahnya kecintaan bukan karena mendapatkan keuntungan materi dan berkurangnya cinta bukan karena tiadanya manfaat dunia yang diperoleh, namun ukurannya adalah iman dan amal shalih.
Benci jika kembali kepada kekufuran, sebagaimana bencinya jika dilemparkan ke dalam api. Di dalam riwayat lain disebutkan, bahkan dilemparkan ke dalam api lebih dia sukai daripada kembali kepada kekufuran, setelah Allah Subhanahu waTa’ala menyelamatkan dia dari kekufuran itu. Ini maknanya lebih mendalam daripada riwayat di atas, karena riwayat di atas menunjukkan kesamaan tingkat di dalam membenci kekufuran dan membenci jika dibakar di dalam api.

Beberapa Faidah dan Hukum

* Iman kepada Allah Subhanahu waTa’ala memiliki rasa manis yang tidak mungkin dinikmati, kecuali oleh orang-orang yang beriman dengan sebenarnya, yang disifati dengan ciri-ciri yang mengindikasikan sebagai ahlinya. Oleh karena itu, tidak semua orang yang menyatakan dirinya mukmin otomatis dapat merasakan manisnya iman itu.

* Cinta Allah Subhanahu waTa’ala, kemudian disusul cinta RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan ciri terpenting yang harus dimiliki oleh siapa saja yang ingin merasakan lezatnya iman. Cinta Allah Subhanahu waTa’ala dan rasulNya tidak boleh diungguli oleh cinta kepada siapapun selain keduanya. Bahkan cinta Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan parameter bagi kecintaan terhadap diri sendiri, orang tua, anak, dan seluruh manusia.

Suatu ketika Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu apa pun, kecuali diriku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak demikian, demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sehingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya engkau sekarang lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Sekarang hai Umar, telah sempurna imanmu”. Anas radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian, sehingga aku lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia.” Dan konsekuensi dari cinta ini adalah melaksanakan perintah Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam serta menjauhi larangan keduanya dengan penuh rasa rela dan ketundukan yang utuh, sebagaimana firman Allah Subhanahu waTa’ala, artinya, “Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31)

* Di antara sebab-sebab yang dapat mengantarkan seseorang memperoleh kecintaan Allah Subhanahu waTa’ala setelah melakukan kewajiban adalah sebagaimana yang disampaikan al-Imam Ibnul Qayyim, yaitu :

– Membaca al-Qur’an dengan merenungkan dan memahami maknanya

– Mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah.

– Terus-menerus berdzikir kepada Allah Subhanahu waTa’ala dalam segala kondisi, baik dengan hati, lisan atau perbuatan.

– Mendahulukan apa yang dicintai Allah Subhanahu waTa’ala dibanding yang dicintai diri sendiri.

– Berteman dengan orang-orang yang jujur mencintai Allah Subhanahu waTa’ala dan sesama muslim.

– Menjauhi segala perkara yang dapat menghalangi antara hati dengan Allah Subhanahu waTa’ala.

* Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah merupakan tuntutan dari kecintaan terhadap Allah Subhanahu waTa’ala. Ia berada di atas kecintaan terhadap seluruh manusia. Di antara ciri-cirinya adalah:

– Beriman bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah Subhanahu waTa’ala, yang diutus kepada seluruh umat manusia, sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira, sebagai penyeru ke jalan Allah Subhanahu waTa’ala dengan membawa cahaya yang terang benderang.

– Bercita-cita untuk bertemu dengan beliau dan khawatir jika tidak dapat bertemu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam .

– Menjalankan perintah-perintah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjauhi larangan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, karena orang yang mencintai seseorang, maka akan menaatinya. Jangan sampai tertipu dengan klaim dusta mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjalankan perintahnya, bahkan menerjang larangannya.

– Menolong sunnahnya, mengamalkan, menyebarkan, membela dan memperjuangkannya.

– Banyak bershalawat dan bersalam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

– Berakhlaq dengan akhlaq beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan beradab dengan adab-adab beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
– Mencintai sahabat-sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan membela mereka.

– Mengkaji perjalanan hidup dan sirah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam serta mengetahui keadaan dan berita-berita yang menyangkut beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

* Selayaknya jalinan seorang muslim dengan muslim yang lain dibangun di atas landasan cinta kepada Allah Subhanahu waTa’ala. Karena jenis cinta seperti ini memiliki keutamaan yang amat besar, dan mendatangkan pahala yang banyak. Imam al-Bukhari dan imam Muslim meriwayatkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah Subhanahu waTa’ala pada hari tidak ada naungan kecuali naunganNya. Salah satu di antaranya adalah, “Dua orang yang saling menyintai karena Allah, berkumpul karenaNya dan berpisah karenaNya.”

* Saling mencintai karena Allah Subhanahu waTa’ala mempunyai hak-hak yang harus ditunaikan, di antaranya:
– Membantu memenuhi kebutuhan saudaranya dan mau melakukan itu, sebagaimana di dalam hadits, “Sebaik-baik orang adalah yang paling memberi manfaat kepada orang lain.”

– Tidak membicarakan aib, meminta maaf ketika melakukan kesalahan, sebagaimana diri kita juga senang jika aib kita tidak dibicarakan, maka mereka pun demikian.

– Tidak membenci, tidak iri dan dengki terhadap nikmat yang diberikan Allah Subhanahu waTa’ala kepada saudara kita.

– Mendoakan saudara kita tanpa sepengetahuannya baik ketika dia masih hidup atau setelah meninggal dunia. Karena doa yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakan adalah mustajab, begitu pula bagi yang berdoa.

– Bersegera mengucapkan salam jika bertemu, bertanya tentang kabar dan keadaannya, tidak bersikap sombong dan merasa tinggi.

– Kekufuran adalah hal yang dibenci Allah Subhanahu waTa’ala. Maka seorang mukmin wajib membencinya sebagaimana benci jika dilemparkan ke dalam api, bahkan lebih benci lagi. Orang kafir juga dibenci oleh Allah Subhanahu waTa’ala, maka orang mukmin juga harus membencinya disebabkan oleh kekufurannya yang akan menggiring masuk neraka. Atas dasar ini, maka bersikap loyal (berwala’) kepada orang kafir adalah merupakan sebab dari kemurkaan Allah Subhanahu waTa’ala dan kemarahanNya. Di antara bentuk-bentuk sikap loyal kepada orang kafir adalah mencintai mereka, menolong mereka dalam rangka memerangi orang mukmin, bermudahanah (berbasa-basi, tidak mengingkari kesesatan dan kekeliruan mereka sehingga terkesan membenarkan-red), bersahabat atau mengambil mereka sebagai teman akrab dan mengangkat mereka menjadi orang kepercayaan serta orang dekat (bithanah). Padahal Allah Subhanahu waTa’ala telah berfirman, artinya, “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali ‘Imran:28)

Sumber: Diterjemahkan oleh Abu Ahmad Taqiyuddin dari makalah Syaikh Nashir al-Syimali, “halawatul iman”