Tanya :

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Apakah ziarah kubur disyari’atkan bagi wanita?

Jawab :

Telah diriwayatkan dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , bahwa beliau melaknat para wanita yang berziarah kubur, ini dari hadits Ibnu Abbas, hadits Abu Hurairah dan hadits Hassan bin Tsabit Al-Anshari. Berdasarkan ini para ulama menyatakan bahwa ziarah kubur bagi wanita adalah haram. Sebab tidak ada laknat kecuali untuk sesuatu yang diharamkan, bahkan ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut termasuk yang berdosa besar, sebab para ulama menyebutkan bahwa kemaksiatan yang mengandung laknat atau ancaman dianggap termasuk perbuatan yang berdosa besar.

Jadi yang benar, bahwa ziarah kubur bagi wanita adalah haram, tidak hanya sekadar makruh. Sebabnya -wallahu a’lam- bahwa kaum wanita bi-asanya kurang sabar, sehingga seringkali terjadi jeritan dan serupanya yang menunjukkan tidak terdapatnya kesabaran yang wajar. Lain dari itu, mereka juga bisa menjadi fitnah, sebab ziarah kuburnya mereka dan ikut sertanya mereka mengantar jenazah, bisa menimbulkan fitnah bagi kaum pria. Semen-tara syari’at Islam yang sempurna telah menyertakan penangkal unsur-unsur penyebab timbulnya kerusakan dan fitnah, dan ini merupakan rahmat dari Allah bagi para hambaNya. Hadits shahih dari Rasulullah menyebutkan:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِجَّالِ مِنَ النِّسَاءِ.

“Aku tidak meninggalkan fitnah setelah aku (tiada) yang lebih berba-haya terhadap kaum pria daripada (fitnah) kaum wanita.” (Muttafaq ‘ala shihhatih).

Dengan demikian haruslah ditangkal faktor-faktor yang dapat menimbul-kan fitnah tersebut. Di antaranya adalah yang ditetapkan oleh syari’at, yaitu berupa pengharaman tabarruj (bersolek) bagi wanita, berlemah lembut kepada pria, bersepi-sepian dengan laki-laki yang bukan mahramnya dan mengadakan safar tanpa disertai mahramnya. Semua ini termasuk penangkal faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya fitnah oleh mereka. Adapun pendapat sebagian fuqaha’, bahwa dalam hal ini dikecualikan berziarah ke kuburan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan kuburan kedua sahabat beliau Radhiallaahu anhum (Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab Al-Faruq), adalah pendapat yang tidak ada dalilnya. Yang benar, bahwa larangan itu mencakup semuanya, mencakup semua kuburan, bahkan kuburan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan kedua sahabatnya. Pendapat ini yang dapat dipegang berdasarkan dalil tersebut.

Adapun bagi kaum pria, disukai untuk berziarah kubur, juga ziarah kubur Nabi saw dan kedua sahabatnya, akan tetapi tanpa dipaksakan, hal ini berdasar-kan sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam :

زُوْرُوْا اْلقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ

“Berziarah kuburlah kalian, karena hal itu mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Muslim dalam kitab shahihnya)

Namun memaksakan berziarah kubur tidak boleh, yang disyari’atkan un-tuk diusahakan diziarahi adalah khusus tiga masjid saja, sebagaimana sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam :

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ: اْلمسْجِدِ اْلحرَامِ، وَمَسْجِدِي هذَا وَاْلمسْجِدِ اْلأَقْصَى.

“Tidaklah dikencangkan kendaraan kecuali kepada tiga masjid; Masjidil Haram, Masjidku dan Masjidil Aqsha.” (Muttafaq ‘ala shihhatih)

Jika seorang muslim berziarah ke masjid Nabi Shalallaahu alaihi wasalam , maka dalam ziarahnya itu termasuk pula berziarah ke kuburan beliau dan kuburan kedua sahabatnya serta kuburan para syuhada dan penduduk Baqi’. Sedangkan ziarah ke Masjid Kuba tidak harus ditekankan, jadi tidak pergi sekadar untuk ziarah, akan tetapi bila sedang di Madinah maka disyari’atkan untuk berziarah ke kubur Nabi SAWdan kedua sahabatnya, juga penduduk Al-Baqi’, para syuhada dan Masjid Kuba. Adapun mengusahakan datang dari jauh sekadar untuk berziarah saja adalah tidak boleh, demikian menurut pendapat yang benar di antara dua pendapat ulama, berdasarkan sabda Nabi Sha-lallaahu alaihi wasalam :

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ: اْلمسْجِدِ اْلحرَامِ، وَمَسْجِدِي هذَا وَاْلمسْجِدِ اْلأَقْصَى.

“Tidaklah dikencangkan kendaraan kecuali kepada tiga masjid; Masjidil Haram, masjidku dan Masjidil Aqsha.”

Adapun dalam menguasahakan berziarah ke Masjid Nabawi, maka akan tercakup pula berziarah ke kubur Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan kuburan-kuburan lainnya. Jika seseorang telah sampai ke masjid tersebut dan sha-lat di dalamnya, maka ia pun bisa langsung berziarah ke kuburan Nabi Sha-lallaahu alaihi wasalam dan kuburan kedua sahabatnya, di situ ia mengucap-kan shawalat dan salam kepada beliau dan berdoa untuknya, kemudian men-gucapkan salam kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiallaahu anhu dan ber-doa untuknya, kemudian mengucapkan salam kepada Umar Al-Faruq Radhiallaahu anhu dan berdoa untuknya.Demikianlah sunnahnya, dan demikian pula pada kuburan-kuburan lainnya bila -misalnya- berkunjung ke Damsyiq, Cairo, Riyadh atau negeri lainnya, maka disukai untuk sekalian berziarah kubur, karena dalam berziarah kubur itu terkandung nasihat dan kebaikan bagi yang telah meninggal, yaitu dengan memberikan do’a bagi mereka dan mengasihi mereka bila mereka itu kaum muslimin. Nabi SAW telah bersabda:

زُوْرُوْا اْلقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ

“Berziarah kuburlah kalian, karena hal itu mengingatkan kalian pada akhirat.”

Ini adalah sunnah yang tidak harus ditekankan. Akan tetapi, hendaknya tidak berziarah ke kuburan mereka untuk menyeru mereka selain Allah, karena yang demikian ini berarti mempersekutukan Allah Ta’ala dan berarti pula beri-badah kepada selainNya, padahal Allah telah mengharamkan itu, Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (Al-Jin: 18)
Dalam ayat lain disebutkan:

“Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabb-mu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. (Fathir: 13-14)

menyatakan seruan para hamba kepada orang-orangAllah Ta’ala yang telah mati dan serupanya adalah perbuatan syirik, yaitu mempersekutukanNya dengan itu dan menghamba kepada selainNya. Maka hendaknya seorang Muslim waspada terhadap hal ini. Dan hendaknya pula para ulama menjelaskan hal-hal ini kepada orang-orang agar mereka waspada terhadap perbua-tan yang mempersekutukan Allah. Sebab, banyak orang awam yang ketika melintas di kuburan orang yang dihormati, serta merta meminta pertolongan kepada yang telah meninggal itu, kadang dengan mengucapkan: “Wahai Fulan, bantulah aku, tolonglah aku, sembuhkan penyakitku”. Padahal ini per-buatan syirik besar. Kita berlindung kepada Allah dari hal ini. Hal-hal semacam itu seharusnya diminta kepada Allah, bukan kepada orang yang telah meninggal atau makhluk lainnya.

Adapun kepada orang yang masih hidup, dibolehkan meminta sesuatu yang ia mampu, demikian ini bila ia sedang ada dan dapat mendengar per-kataan Anda, baik itu melalui tulisan, telepon ataupun lainnya. Bisa dengan mengirimnya warkat, surat atau berbicara langsung via telapon, misalnya Anda mengatakan; “Tolonglah saya”, atau misalnya: “Tolonglah saya dalam membangun rumah saya”, atau merenovasi ladang. Karena dalam hal ini, antara dia dan Anda saling mengenal dan berarti bisa saling menolong, yang demikian ini boleh dilakukan. Allah Ta’ala berfirman :

“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya.” (Al-Qashash: 15)
Adapun meminta dari yang telah meninggal, orang yang sedang tidak ada (tidak hadir) atau benda, seperti patung, meminta kesembuhan atau pertolongan untuk mengalahkan musuh dan sebagainya, maka ini termasuk perbuatan syirik besar. Demikian juga meminta sesuatu kepada orang yang ma-sih hidup yang hadir yang tidak ada yang mampu melakukannya kecuali Allah, dianggap mempersekutukan Allah Subhannahu wa Ta’ala Karena menyeru orang yang sedang tidak ada (tidak hadir) tanpa alat-alat tertentu, berarti meyakini bahwa yang diseru itu mengetahui yang ghaib, atau bisa mendengar seruan Anda dari jauh, keyakinan seperti ini adalah batil, dan orang yang meyakininya berarti kafir. Allah berfirman:
“Katakanlah, ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang menge-tahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’.” (An-Naml: 65)

Atau meyakini bahwa orang yang diserunya itu mempunyai suatu rahasia yang dapat berlaku pada alam sehingga bisa memberi kepada yang dikehen-dakinya atau mencegah dari yang dikehendakinya, sebagaimana yang di-yakini oleh sebagian orang-orang bodoh terhadap orang-orang yang disebut wali. Perbuatan yang seperti ini pun merupakan perbuatan syirik, dan syirik ini lebih besar dari pada syirik menyembah berhala.
Jadi, berziarah kepada yang telah meninggal yang disyari’atkan adalah yang mengandung kebaikan dan belas kasihan terhadap mereka serta mengingatkan akan akhirat dan mempersiapkan diri untuk itu. Dengan ziarah itu Anda teringat bahwa Anda pun akan mati seperti mereka sehingga ber-siap-siap untuk kehidupan akhirat dan mendo’akan saudara-saudara Anda kaum muslimin yang telah meninggal, mengasihi mereka dan memohonkan ampunan untuk mereka. Itulah hikmah disyari’atkannya ziarah kubur.
(Majma’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah lisy-Syaikh Ibnu Baaz, 5/105 )