Ibadah haji adalah ibadah yang agung lagi mulia, pelaksanaan ibadah ini menuntut pengorbanan besar, tenaga, pikiran dan harta benda, ibadah yang mencakup segala sisi ubudiyah, ada sisi ubudiyah jasadiah(fisik-ed), ada sisi ubudiyah qalbiah(hati-ed) dan ada sisi ubudiyah maliah(harta-ed), sehingga ketika Allah mewajibkan ibadah ini Dia mematok sebuah syarat besar yaitu istitha’ah.

Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia untuk Allah bagi yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97).

Ibadah dengan manfaat-manfaat besar dan maslahat-maslahat mulia, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (Al-Hajj: 27-28).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan bahwa haji mabrur termasuk amal shalih paling utama dan balasan yang pantas baginya adalah surga, haji tanpa rafats dan fusuq membawa pelakunya pulang dalam keadaan bebas dari dosa-dosa seperti hari di mana ibunya melahirkannya.

Maka tidak mengherankan jika kaum muslimin dari segala belahan bumi datang berbondong-bondong menjawab seruan haji, jumlah mereka semakin tahun semakin meningkat, tanpa kecuali jamaah haji Indonesia, setiap tahunnya kuota haji Indonesia penuh sesak, kaum muslimin Indonesia yang hendak menunaikan ibadah ini harus ngantri menunggu giliran sampai kisaran tiga tahun sebelumnya, bahkan di sebagian daerah sampai lima tahun.

Haji sebagai ibadah dan rukun Islam yang kelima, posisinya sama dengan ibadah-ibadah lainnya, maksud saya Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam sebagai pihak yang dilimpahi wewenang untuk menjelaskan oleh Allah telah menjelaskannya baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan, dan dalam hal ini beliau telah menjelaskan kepada umat dengan sejelas-jelasnya sehingga tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menggugat karena ketidakjelasan.

Beliau menunaiakan ibadah haji, sekali pun hanya sekali yaitu haji wada’, namun haji tersebut diikuti oleh ribuan kaum muslimin yang selanjutnya mereka menukilnya kepada generasi sesudah mereka dan begitu seterusnya sampai kepada kita. Beliau juga telah bersabda, “Ambillah manasik kalian dariku.

Jamaah haji Indonesia terbagi menjadi dua gelombang, pertama dan kedua. Salah satu masalah kontroversial bagi haji Indonesia gelombang kedua adalah masalah miqat, sebagian jamaah mengambil miqat di Bandara Jeddah sehingga di bandara inilah mereka berihram dan sebagian yang lain mengambil miqat di timur, biasanya Yalamlam, dan resikonya mereka berihram di atas pesawat. Jammah haji Indonesia terbagi menjadi dua sikap di atas karena perbedaan dari para pembimbing mereka, penulis memperhatikan ada pembimbing yang mempersilakan jamaah untuk berihram di Jeddah, katanya Jeddah sudah sah dijadikan sebagai miqat dan sepertinya kubu ini adalah mayoritas, sementara itu di lain pihak ada pembimbing yang tetap berpegang untuk berihram di pesawat sebelum Jeddah.

Kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau sebagai hakam atau pengadil dalam segala persoalan yang diperselisihkan oleh kaum muslimin, kita membaca bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berihram di miqat sebagaimana dalam hadits Jabir yang panjang tentang haji beliau yang diriwayatkan oleh Muslim, beliau tidak berihram sebelum apalagi sesudahnya. Ini dari sisi perbuatan beliau yang didukung dengan sabda beliau, “Khudzuu anni manasikakum.” Dari sisi perkataan beliau sudah mematok miqat-miqat makani bagi jamaah haji dari seluruh penjuru dunia.

Ibnu Abbas berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan Dzul Hulaifah sebagai miqat untuk orang-orang Madinah, Juhfah sebagai miqat untuk orang-orang Syam, Qarnul Manazil sebagai miqat untuk orang-orang Nejed dan Yalamlam sebagai miqat untuk orang-orang Yaman, miqat-miqat tersebut untuk mereka dan untuk siapa pun yang melewatinya yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah yang tidak termasuk penduduknya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Dari dalil qauli(sabda rasul) dan fi’li Rasulullah(tindakan rasulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa peletakan miqat untuk berihram adalah otoritas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemegang lisensi dari pemilik agama ini yaitu Allah dan beliau sudah menetapkannya, dan Jeddah tidak masuk dalam ketetapan beliau di atas, kalau selanjutnya Jeddah masuk dan menjadi miqat untuk ihram maka ia bukan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari pertimbangan ini maka penulis berpendapat bahwa jamaah haji Indonesia gelombang kedua yang berihram di pesawat ketika posisinya di atas Yalamlam, apa yang mereka lakukan itu sejalan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari sisi sabda dan perbuatan beliau, yaitu ihram di miqat. Sebaliknya jamaah yang berihram di Jeddah, apa dasarnya dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?
Dari sisi letak geografis, seorang kawan memperlihatkan peta kepada penulis yang menjelaskan posisi Makkah, Jeddah dan posisi Indonesia, Indonesia di sebelah timur, jadi sebelum pesawat itu tiba di Jeddah ia telah melewati miqat di timur, ketentuannya siapa yang hendak menunaikan ibadah haji atau umrah, baik lewat jalan darat, laut maupun udara tidak diperkenankan melewati miqat kecuali dalam keadaan ihram. Ini satu. Kedua, dari peta diketahui bahwa letak Jeddah sudah masuk di area ba’da miqat(setelah miqat-ed), jadi siapa pun yang hendak haji atau umrah dan sudah di Jeddah maka dia telah meninggalkan miqat di belakangnya, dari sini maka pendapat yang kuat lagi rajih menyatakan bahwa siapa yang berihram di Jeddah maka dia wajib (membayar-ed) dam karena dia berihram di daerah yang terletak sesudah miqat.

Penulis melihat bahwa pihak yang membolehkan ihram di Jeddah hanya bersandar kepada kemudahan, “Lebih mudah.” Begitu seorang pembimbing haji mengatakan. Penulis sepakat dengan alasan lebih mudah ini, namun tidak dalam masalah ini, karena dalam masalah ini alasan tersebut menabrak sebuah sunnah mulia dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan termasuk pelanggaran yang menetapkan kewajiban (membayar-ed)dam. Penulis menilai bukan lebih mudah namun mencari-cari kemudahan yang dipaksakan, tasaahul.

Orang mungkin bekilah, tetapi depag sebagai pihak yang berwenang menyelenggarakan haji tetap mendiamkan ihram di Jeddah dan lisanu halihim(tindakan-ed) bahkan maqalihim(pendapat mereka-ed) membolehkan. Penulis katakan, depag bukan rujukan beragama kaum muslimin, akan tetapi al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, biarkan depag bertanggung jawab dan kita pun sebagai muslim juga bertanggung jawab kepada Allah, “Madza ajabtumul mursalin“.
( “Apakah jawabanmu kepada para rasul?” -ed)

Penetapan Jeddah sebagai miqat tidak mendapatkan restu dan pengakuan dari MUI Arab Saudi, dalam fatwa Lajnah Da`imah no. 2279, sebuah pertanyaan berkata, Apakah Jeddah sah sebagai miqat sebagai ganti Yalamlam sekalipun sebagian ulama membolehkannya?

Lajnah menjawab, dasar dalam penetapan miqat adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan Dzul Hulaifah sebagai miqat untuk orang-orang Madinah, Juhfah sebagai miqat untuk orang-orang Syam, Qarnul Manazil sebagai miqat untuk orang-orang Nejed dan Yalamlam sebagai miqat untuk orang-orang Yaman, miqat-miqat tersebut untuk mereka dan untuk siapa pun yang melewatinya yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah yang tidak termasuk penduduknya, barangsiapa tempat tinggal di dalam miqat maka miqatnya adalah tempat tinggalnya, termasuk orang-orang Makkah, miqatnya di Makkah.

Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan Dzati Irq untuk orang-orang Irak. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa`i, Abu Dawud dan al-Mundziri mendiamkannya, Ibnu Hajar dalam at-Talkhis berkata, “Hadits ini dari riwayat al-Qasim darinya, al-Muafa bin Imran meriwayatkannya secara sendiri dari Aflah darinya, al-Muafa adalah tsiqah.”

Miqat-miqat ini untuk penduduk kota-kota tersebut, untuk siapa yang melewatinya sekali pun bukan termasuk penduduknya selama dia hendak haji atau umrah, namun siapa yang rumahnya setelah miqat maka ihramnya di tempat dia berangkat termasuk orang-orang Makkah yang bermiqat di Makkah….

Di antara miqat-miqat tersebut adalah Yalamlam, siapa yang melewatinya baik dia berasal dari Yaman atau bukan, selama dia hendak menunaikan haji atau umrah maka dia berihram darinya, siapa yang berada di angkasa wajib berihram jika melewatinya, sebagaimana orang yang melewati jalur laut, dia wajib berihram di tempat yang berdekatan dengannya.

Adapun Jeddah maka ia adalah miqat penduduk Jeddah dan orang-orang yang tinggal di sana jika dia hendak haji atau umrah. Adapun menjadikan Jeddah sebagai miqat sebagai ganti Yalamlam maka ia tidak berdasar, siapa yang melewati Yalamlam dan tidak berihram lalu dia berihram di Jeddah maka dia wajib (membayar-ed) dam, seperti orang yang melewati miqat yang ingin haji atau umrah, karena miqatnya adalah Yalamlam, di samping itu jarak antara Makkah dengan Yalamlam lebih jauh daripada jarak Makkah ke Jeddah.

Allah pemberi taufik dan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Ketua, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil ketua, Abdurrazzaq Afifi.