Jika kita berbicara tentang sebuah pernikahan, pasti akan banyak cerita yang tercipta. Baik dari proses menuju pernikahan, ketika akad, atau bahkan setelah pernikahan itu sendiri. Setiap orang pasti punya cerita tersendiri yang akan mengisahkan hidupnya menuju sebuah istana rumah tangga yang tercipta dari rajutan-rajutan mahligai cinta sepasang insan manusia. Bahagia, sedih, gundah selalu mewarnai pemuda-pemudi yang ingin melangkahkan kakinya menuju kesempurnaan agama. Lalu bagaimana jika yang tercipta sebelum pernikahan itu adalah sebuah kekecewaan?

Para pembaca yang kami hormati, mungkin timbul dalam benak kita sebuah pertanyaan, ada apa? Apa yang terjadi? dan banyak lagi pertanyaan yang timbul akibat sebuah kalimat pertanyaan yang ‘aneh’ itu bagi kita, tapi tak akan ‘aneh’ bagi mereka yang tahu sebab kekecewaan dari sang pemuda dan pemudi tersebut, padahal mereka belum menikah. Ternyata kekecewaan itu timbul karena ada faktor-faktor yang berdiri menghadang menghalangi niat suci mereka untuk membangun sebuah mahligai cinta yang diridhai Allah.

Sang pemuda sering membayangkan betapa nikmatnya memiliki istri yang shalihah, yang menyenangkannya ketika ia menatapnya, mentaatinya ketika ia memerintahkannya dan selalu menjaga kehormatan dirinya dan hartanya ketika ia tak ada di sisinya. Ia mengangankan betapa indahnya memiliki anak yang selalu menyedapkan pandangan matanya dan menyegarkan kembali pikiran akibat kepenatan sehari dengan bermain bersamanya, begitu pun sang pemudi yang memiliki pemikiran yang sama dengan sang pemuda. Tapi apatah mau dikata, jika gerbang pernikahan sulit baginya untuk terbuka. Berbagai macam faktor penghambat untuk menikah tak urung reda menerpa seiring perkembangan zaman yang katanya memudahkan setiap sendi kehidupan manusia saat ini. Apa sajakah itu?

Permasalahan seperti ini kerap melanda para pemuda-pemudi zaman ini yang telah siap atau yang telah berazam (bertekad kuat) untuk menjaga kehormatan dirinya dengan cara menikah, akan tetapi terbentur oleh faktor-faktor penghambat yang seharusnya tak ada. Sehingga jika kita mau melirik sedikit saja, banyak pemuda-pemudi zaman sekarang yang berubah pola pikirnya tentang pernikahan dan akhirnya timbullah permasalahan-permasalahan yang melanda akibat sulitnya untuk menikah, seperti munculnya sejumlah gangguan kejiwaan, tindakan asusila, freeseks (pergaulan bebas), penyakit yang menyerang tubuh dan akal, serta sejumlah dampak negatif lainnya yang berkaitan dengan aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, tulisan ini kami alamatkan kepada siapa saja yang mungkin memiliki potensi menjadi faktor penghambat pernikahan bagi sepasang manusia yang ingin melengkapi setengah agamanya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dan ibrah dari setiap kejadian yang terjadi. Dan inilah beberapa faktor penghambat yang banyak berkembang di masyarakat.
1. Faktor penghambat yang pertama ialah mahalnya mahar (maskawin). Tingginya “tarif” maskawin yang ditentukan oleh pihak perempuan sungguhlah memberatkan banyak pemuda yang ingin menikah. Seakan menjadi ajang adu gengsi atau mungkin banyak dipengaruhi oleh adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam, membuat “bursa” pernikahan menjadi lesu dan akhirnya timbullah banyak perzinaan yang tidak diharapkan.

Betapa indah dan mudahnya Islam, ketika Rasulullah menikahkan sahabatnya yang miskin hanya dengan hafalan bacaan al-Qur’an yang dimilikinya, atau hanya dengan 4 uqiyah (1 uqiyah= 40 dirham perak). Oleh karena itu, tak heran jika imam Ahmad menyebutkan dalam kitab Sunannya bahwasanya Umar bin Khatab pernah berkata, “Janganlah kalian berlebihan dalam memberikan mahar kepada kaum wanita, sebab jika pemberian mahar itu adalah kehormatan di dunia atau ketakwaan di sisi Allah, niscaya Rasulullah adalah orang yang paling unggul dalam memberikan mahar tersebut. Akan tetapi Rasulullah tak pernah memberikan mahar kepada salah seorang pun dari istrinya atau putri-putrinya lebih dari dua belas uqiyah.”

Maka ingatlah sabda Rasulullah yang menyatakan banyaknya harta bukanlah patokan dalam memberikan mahar, “Jika datang kepada kalian seorang peminang yang kalian merasa ridha dengan agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah (putri kalian) dengannya.”, dan juga sabda Rasulullah yang menyatakan, “Sesungguhnya wanita yang terbaik adalah wanita yang paling mudah (ringan) maharnya.”(HR.Ibnu Hibban).

2. Faktor yang kedua ialah sikap berlebihan dalam menentukan biaya pernikahan. Biaya pernikahan tersebut ibarat mahar lain yang harus ditanggung oleh sang peminang. Hal itu merupakan salah satu adat yang ada dalam masyarakat kita, padahal Allah sama sekali tidak pernah menentukan ketentuan seperti itu. Dan tak jarang pula terjadi pemborosan besar-besaran dari acara walimah atau resepsi yang diselenggarakan tersebut. Jika sudah begitu, apakah Allah ridha akan sesuatu yang diawali dengan yang mungkar?. Ketahuilah, yang terpenting dalam kehidupan pernikahan bukanlah pada saat di awal acara atau resepsi saja, akan tetapi kehidupan setelah pernikahan, itulah yang terpenting.
3. Kemudian yang ketiga adalah faktor studi. Faktor ini sering dijadikan sebagai alasan untuk tidak menikah oleh kebanyakan pemuda-pemudi terpelajar. Mereka berdiri lemah tak berdaya, bingung dan tak tahu harus berbuat apa ketika dihadapkan dengan faktor ini, sedangkan pergaulan bebas terus merajalela dimana-mana, merayu para pemuda untuk bergabung di dalamnya. Padahal Allah telah berfirman yang artinya, “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS.an-Nur: 32).
Disinilah tanggung jawab orangtua yang berperan membawa anaknya kepada kebaikan dengan menikahkannya dan memudahkan segala urusan anaknya. Dan sang mempelai pria pun harus menyadari tanggung jawabnya di dalam rumah tangga nantinya, yaitu bahwa ia wajib berusaha untuk menghidupi keluarganya. Simaklah perkataan Imam Syafi’i,
Sungguh, memindahkan bebatuan dari puncak gunung lebih aku sukai daripada aku harus menunggu pemberian orang lain.
Orang-orang mengatakan bahwa pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang memalukan,
sementara aku mengatakan bahwa yang memalukan itu adalah perbuatan meminta-minta.

4. Faktor yang keempat ialah merebaknya sarana pemuasan hasrat seksual dengan cara yang tidak dibenarkan dan lemahnya kontrol agama. Dalam kehidupan yang penuh dengan tindak penyimpangan dan gaya hidup bebas sekarang ini, seorang pemuda sudah tidak lagi merasakan keinginan untuk menikah dan sudah tidak lagi membutuhkan pernikahan, kecuali jika pintu-pintu yang memudahkannya untuk melakukan perbuatan keji dan jalan-jalan yang mengantarkannya ke gerbang perzinaan ditutup. Sebab dalam kondisi seperti itu, seorang pemuda yang dihadapkan kepada dinding besar menuju gerbang pernikahan sulit dilalui, akhirnya menempuh jalan lain yang lebih instan, dan hasilnya terciptalah pemikiran yang merendahkan hakikat dari pernikahan itu sendiri. “Toh, di kanan kiri sudah tersedia sarana yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, untuk apa lagi menikah? untuk apa harus bersusah payah membebani diri dengan tanggung jawab anak dan istri?.” pikir mereka. Na’udzu billahi min dzallik.
Seharusnya pemikiran seperti itu tak akan muncul jika setiap individu baik pendidik atau selaku orangtua dan para pemuda memiliki kesadaran muraqabatullah (pengawasan Allah). Merasa dirinya selalu diawasi oleh sang Maha Melihat dan Mendengar serta memahami agamanya dengan benar.
Oleh karena itu, wahai para orangtua, tanamkanlah pendidikan agama yang benar dan mendalam kepada putra-putri kita sejak dini agar tak menyesal nantinya. Permudahlah urusan mereka selama tidak keluar dari syariat yang telah ditetapkan Allah, seperti kesiapan mereka untuk menikah, agar tak terjadi kemudharatan yang lebih besar daripada Anda mengekangnya menjadi bujangan dengan berbagai alasan yang tidak dibenarkan syariat.
Wahai para pemuda-pemudi, jagalah diri kalian dari perbuatan keji. Perdalamlah agama kalian dengan sebenar-benarnya, karena itu yang akan menghalangi kalian dari tipu dayanya setan yang mengajak kalian “bermain” di Neraka. Dan yakinlah dengan apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya, karena janji Allah adalah sebuah kepastian dan ada hikmah di dalamnya. Allahu ta’ala a’lam. (Ibnu Ruslan)