Bila tauhid mempunyai kedudukan mulia, maka secara otomatis ia memiliki keutamaan-keutamaan tinggi, di antaranya:

Jaminan Keamanan bagi Ahlinya

Keamanan di kehidupan dunia ini dan yang lebih penting adalah keamanan di kehidupan akhirat, sebagaimana Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman, mereka itu orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82).

Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Yakni mereka yang mengikhlaskan ibadah hanya kepadaNya semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu, merekalah orang-orang yang aman pada Hari Kiamat, yang mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.”

Yang dimaksud dengan kezhaliman dalam ayat di atas adalah kesyirikan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud berkata, ketika turun firman Allah, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman.” Kami berkata, “Ya Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, siapa dari kami yang tidak menzhalimi dirinya?” Beliau menjawab, “Tidak seperti yang kalian katakan, mereka tidak mencampuraduk keimanan dengan kezhaliman, yakni syirik, apakah kalian tidak mendengar ucapan Luqman kepada anaknya, ‘Wahai anakku, jangan kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” Luqman: 13.

Al-Hasan dan al-Kalbi berkata, “Mereka mendapatkan rasa aman di akhirat dan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk di dunia.”

Ibnul Qayyim berkata, “Mereka belum mengerti apa yang dimaksud dengan kezhaliman, mereka mengira bahwa menzhalimi diri termasuk ke dalamnya. Bahwa siapa yang menzhalimi dirinya sendiri –apa pun kezahaliman itu- maka dia bukan orang yang meraih keamanan dan petunjuk, maka Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab bahwa kezhaliman yang menghanguskan rasa aman dan petunjuk secara mutlak adalah syirik.”

Lanjut Ibnul Qayyim, “Inilah –demi Allah- jawaban yang menyembuhkan orang sakit dan menghilangkan haus orang yang dahaga. Kezhaliman sempurna lagi mutlak adalah syirik, yaitu meletakkan ibadah bukan pada tempatnya. Rasa aman dan hidayah yang mutlak adalah rasa aman di dunia dan akhirat dan hidayah ke jalan yang lurus. Kezhaliman yang mutlak lagi sempurna menghanguskan rasa aman dan petunjuk yang mutlak lagi sempurna, dan tidak tertutup kemungkinan sekedar kezhaliman menghalangi dasar rasa aman dan dasar petunjuk. Renungkanlah. Yang mutlak untuk yang mutlak. Yang terpecah untuk yang terpecah.”

Tauhid Menjamin Masuk Surga

Karena orang yang bertauhid, sekalipun sempat singgah di neraka, namun di sana dia tidak kekal selamanya, ada saatnya di mana dia dientaskan darinya karena tauhid dalam dadanya dan hal ini hanya untuk ahli tahudi saja.

Dari Ubadah bin ash-Shamit Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah semata tiada sekutu bagiNya, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah, kalimatNya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dariNya, surga adalah haq dan neraka adalah haq, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga sesuai dengan amal yang dia lakukan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Makna ucapannya, ‘Sesuai dengan amal yang dia lakukan’ yakni yang baik atau yang tidak baik, karena ahli tauhid pasti masuk surga. Ada kemungkinan makna ucapannya, ‘Sesuai dengan amal yang dia lakukan’ yakni penduduk surga masuk menurut amal masing-masing sesuai dengan derajat mereka.”

Tauhid Tameng dari Neraka

Sebagaimana dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim dari hadits Itban bin Malik bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan la ilaha illallah yang dengannya dia berharap wajah Allah.

Hal ini ditunjang oleh hadits Muadz di al-Bukhari bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada seseorang yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dengan benar dari dalam hatinya kecuali Allah mengharamkannya atas neraka.

Tauhid Lebih Berat dalam Timbangan daripada Langit dan isinya, bumi dan isinya kecuali Allah

Sebagaimana dalam hadits Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda, “Musa berkata, ‘Ya Rabbi, ajarkanlah kepadaku sesuatu, dengannya aku mengingatMu dan berdoa kepadaMu.’ Allah menjawab, ‘ Wahai Musa, ucapkanlah la ilaha illallah.’ Musa berkata, ‘Ya Rabbi, semua hambaMu mengucapkannya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Musa, seandainya langit yang tujuh dan penghuninya selain Aku dan bumi yang tujuh diletakkan di satu daun timbangan sedangkan la ilaha illallah di daun yang lain niscaya la ilaha illallah lebih berat.” Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dia menshahihkannya.

Kartu Tauhid Lebih Berat dalam Mizan daripada Buku-buku Catatan Amal

Dari Abu bin Amru secara marfu’ “Seorang laki-laki dari umatku dipanggil di hadapan seluruh manusia pada Hari Kiamat, lalu sembilan puluh sembilan buku catatan disebar di depannya, setiap buku catatan sepanjang mata memandang, kemudian dikatakan kepadanya, ‘Apakah kamu mengingkari apa yang tercatat? Apakah para malaikatKu yang menulis menzhalimimu?’ Dia menjawab, ‘Tidak ya Rabbi’. Maka dikatakan kepadanya, ‘Apakah kamu mempunyai alasan atau kebaikan?’ Laki-laki ini ketakutan, dia menjawab, ‘Tidak’ Maka dikatakan kepadanya, ‘Ada, di sisi kami kamu mempunyai kebaikan, bahwa pada hari ini tidak ada kezhaliman atasmu.’ Maka dikeluarkanlah sebuah kartu untuknya yang berisi ‘saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya’ Dia berkata, ‘Ya Rabbi, apa bandingan kartu ini di depan buku-buku catatan ini?’ Maka dijawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak dizhalimi.’ Maka buku-buku catatan itu diletakkan di daun timbangan sementara kartu itu diletakkan di daun yang lain, buku-buku catatan itu terangkat kalah berat oleh kartu tersebut.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dia menghasankannya, diriwayatkan pula oleh an-Nasa`i dan al-Hakim, dia berkata, “Shahih di atas syarat Muslim.” Adz-Dzahabi di dalam at-Talkhis berkata, “Shahih.”

Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan alu asy-Syaikh.