Salah satu kunci keberhasilan sebuah usaha atau gerakan atau perjuangan atau dakwah adalah tersedianya sumber daya manusia yang berbobot dan berkualitas. Sedikit namun berkualitas lebih menjamin daripada banyak namun seperti buih di tengah banjir. Ironinya justru inilah yang terjadi pada kaum muslimin dewasa ini. Kuantitas cukup besar, namun kualitas cukup kecil, sehingga mereka kurang diperhitungkan, terombang-ambing di antara tarik ulur umat lain, terpengaruh dengan arus deras yang menerpa mereka. Padahal Nabi mereka saw telah mengisyaratkan pentingnya menjadi seorang mukmin yang berkualitas pada saat beliau menyatakan dengan al-mu`min al-qawiy, mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah. Kuat berarti berkualitas. Dan salaf shalih pernah meraih puncak kemuliaan Islam, hal itu tidak lain karena mereka memiliki manusia-manusia handal dan unggulan. Sebaliknya pada saat kadar karat pada kaum muslimin menyusut tajam, pada saat itu keadaan berubah drastis, menujik tajam ke tingkat terendah. Semoga Allah memberi pertolongan.

Dalam perhatian terhadap kwalitas ini, sebuah teladan telah ditunjukkan oleh seorang nabi. Dia adalah salah seorang nabi Bani Israil penerus Musa alaihis salam, penakluk tanah suci untuk umatnya, Yusya’ alaihis salam. Pada saat para pemimpin berusaha mengumpulkan bala tentara sebanyak yang mereka mampu untuk menghadapi musuh, mereka mengira bahwa salah satu sebab kemenangan adalah jumlah yang besar. Lain halnya dengan Nabiyullah Yusya’, dia tidak mementingkan jumlah besar, dia lebih memperhatikan kualitas, oleh karena itu dia menyortir bala tentaranya dari prajurit-prajurit yang mana hati mereka tertambat dengan urusan dunia yang memenjarakan.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata Rasulullah bersabda, “Salah seorang nabi berperang, dia berkata kepada kaumnya, ‘Jangan mengikutiku orang yang menikahi wanita sementara dia hendak membangun rumah tangga dengannya dan dia belum membangunnya dengannya, tidak juga seorang yang membangun rumah tetapi belum melengkapi atapnya, tidak pula orang yang telah membeli kambing atau unta betina yang bunting sementara dia menunggu kelahirannya.

Dalam hadits ini kita membaca bahwa Nabiyullah Yusya’ berusaha pada saat persiapannya menuju kota yang hendak ditaklukkan dia berusaha agar supaya pasukannya menjadi pasukan yang kuat dan tangguh, oleh karenannya dia menyortir prajurit-prajurit yang bisa menjadi biang kekalahan karena hati mereka lebih disibukkan oleh perkara dunia di mana mereka tidak bisa melepaskan hati dan pikiran mereka darinya. Yusya’ mengeluarkan tiga kelompok prajurit, mereka itu tidak diizinkan untuk pergi berperang.
Kelompok pertama adalah orang yang telah berakad nikah tetapi belum menyentuh istrinya. Kelompok ini tidak diragukan pasti sangat tergantung hatinya dengan istrinya, lebih-lebih jika dia masih muda.
Kelompok kedua adalah orang yang sibuk membangun rumah dan merampungkan bangunannya.
Kelompok ketiga adalah orang yang membeli unta atau domba bunting sementara dia menantikan kelahirannya.

Prinsip yang dipegang oleh nabi ini menunjukkan bahwa dia adalah panglima yang unggul, pemilik taktik jitu dalam memimpin dan menyiapkan bala tentara yang dengannya kemenangan bisa diwujudkan. Prajurit tidak menang dengan jumlah besarnya akan tetapi dengan kualitas, ini lebih penting daripada jumlah dan kuantitas.

Oleh karenanya Yusya’ mengeluarkan orang-orang yang berhati sibuk dari pasukannya, orang-orang yang badannya di medan perang tetapi pikirannya bersama istri yang belum disentuhnya atau rumah yang belum diselesaikannya atau ternak yang ditunggu kelahirannya.

Apa yang dilakukan oleh Yusya’ ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Thalut yang melarang pasukannya untuk minum dari sungai kecuali orang yang menciduk air dengan tangannya, maka mereka minum kecuali sedikit dari mereka, dengan itu Thalut telah membersihkan pasukannya dari unsur-unsur pelemah yang menjadi titik kekalahan.

Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Siapa di antara kamu meminum airnya berarti dia bukan pengikutku. Dan barangsiapa tidak meminumnya, kecuali menciduk dengan tangannya, maka dia adalah pengikutku.’ Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersamanya telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: ‘Tidak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.’ Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Hal tidak berbeda terjadi pada Rasulullah saw di perang Uhud dengan mundurnya hampir sepertiga pasukan untuk selanjutnya kembali pulang ke Madinah. Allah telah menyampaikan kepada Rasul-Nya bahwa mundurnya orang-orang munafik itu dari perang Uhud mengandung kebaikan bagi orang-orang mukmin, “Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu.” (QS. At-Taubah: 47).

Perkara sebaliknya terjadi pada kaum muslimin di perang Hunain. Dengan jumlah pasukan yang besar, sebagian kaum muslimin merasa seolah-olah kemenangan sudah berada di dalam genggaman, sehingga di antara mereka ada yang berkata, “Pada hari ini kita tidak dikalahkan oleh jumlah yang sedikit.” Namun apa yang terjadi? Mereka kocar-kocir di awal peperangan, walaupun akhirnya Allah memberikan pertolonganNya kepada mereka.

“Sesungguhnya Allah telah menolongmu di medan peperangan yang banyak. Dan ingatlah peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.”

Pelajaran, jangan terkecoh dengan angka besar karena kadar, nilai dan kualitas lebih menentukan. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)