Manhaj adalah metode, cara dan jalan, sedang talaqqi adalah menerima, mengambil dan belajar dari suatu sumber, jadi yang dimaksud dengan manhaj talaqqi adalah cara atau jalan mengambil agama dari sebuah sumber yang selanjutnya dijadikan sebagaimana pegangan.

Manhaj yang haq yang dipegang oleh Ahlus Sunnah adalah bertalaqqi (mengambil) agama dari al-Qur`an dan sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman salaf shalih, dengan manhaj ini maka hasil yang dipetik adalah kebenaran.

Hal ini berbeda dengan Ahli Bid’ah yang mengambil manhaj berbeda sehingga hasilnya pun berbeda, mana mungkin sumber berbeda bisa menghasilkan sesuatu yang sama. Dasar manhaj talaqqi yang utama yang dipegang oleh Ahli Bid’ah mengambil agama bukan dari al-Qur`an dan sunnah sesuai dengan manhaj salaf, akan tetapi dari, misalnya, akal semata dengan mendahulukannya di atas al-Qur`an dan sunnah, hawa nafsu dengan mendahulukannya di atas al-Qur`an dan sunnah, mimpi dan kasyaf sekalipun menyelisihi al-Qur`an dan sunnah, ajaran agama lain seperti Majusi, Nasrani Yahudi, filsafat Yunani dan lain-lainnya.

Berikut ini adalah manhaj talaqqi Ahli bid’ah:

1- Berpijak kepada akal melebihi syara’

Hal ini pada umumnya dilakukan oleh ahli kalam dan aliran-aliran rasionalis, dalil-dalil aqli merupakan sandaran mereka, sampai-sampai dalam perkara-perkara yang sudah menjadi aksioma, perkara-perkara besar yang sangat mendasar kejelasannya mereka ubah menjadi masalah-masalah rumit karena terdorong oleh nafsu akal yang menggebu.

Mereka misalnya masih mempersoalkan keesaan Allah dan rububiyahNya, padahal masalah ini dan yang sepertinya termasuk masalah-masalah di mana wahyu telah menetapkannya dengan sangat jelas, di samping akal mendasar pun sudah mengakuinya dengan pengakuan yang tidak menyisakan kebimbangan sedikit pun.

2- Berpijak kepada mimpi dan hikayat

Hikayat yang tidak bersanad, tidak berdasar, palsu lagi maudhu’ serta israiliyat termasuk pijakan agama Ahli bid’ah. Imam Ibnu Taimiyah berkata tentang sumber-sember kebenaran, “Al-Qur`an dan sunnah, ditambah oleh sebagian orang dengan mimpi, hikayat dan israiliyat.”

Sebagian dari mereka ada yang mengamalkan suatu ibadah kepada mimpi, dia berkata, “Kami melihat syaikh fulan dan fulan dalam mimpi, dia berkata kepada kami, ‘Lakukan amal ini dan itu.” Lebih dari itu ada yang berkata, “Aku bermimpi melihat Nabi saw, beliau berkata kepadaku, “Lakukan amal ini dan itu.” Lalu yang bersangkutan mengamalkan du meninggalkan sekalipun hal itu tidak sejalan dengan batasan-batasan al-Qur`an dan sunnah yang shahih.

3- Berpijak kepada buku-buku sastra, ahli kalam, filsafat dan sebagainya

Padahal buku-buku tersebut bukan merupakan sumber untuk menetapkan akidah secara khusus dan agama secara umum, ia hanya sebatas hasil pemikiran atau otak-atik akal orang yang tidak dipayungi oleh cahaya syariat.

Ibnu Taimiyah berkata, “Anda akan melihat Mu’tazilah, Murji’ah, Rafidhah dan ahli bid’ah lainya menafsirkan al-Qur`an dengan akal mereka dan takwil mereka, mereka tidak berpijak kepada hadits-hadits Nabi saw, atsar-atsar sahabat dan tabiin serta para imam kaum muslimin, mereka tidak berpijak kepada sunnah, tidak kepada ijma’ salaf dan atsarnya, mereka tidak mengambil dari buku-buku tafsir yang ma`tsur, akan tetapi berpijak kepada buku-buku sastra, buku-buku filsafat yang ditulis oleh imam-imam mereka, dan ini adalah manhaj orang-orang mulhid.”

4- Mengaku mengambil dari Allah secara langsung

Ahli bid’ah membuka kran selain al-Qur`an dan sunnah dengan pemahaman salaf shalih, di antara mereka ada yang melebihi batas dengan berani mengklaim bahwa dia mengambil agama ini langsung dari Allah seperti para nabi dan rasul.

Maka tidak heran jika di antara mereka ada yang berkata, “Hatiku menyampaikan kepadaku dari tuhanku.” Ada yang berkata, “Kami mempunyai jalur khusus dengan Allah sehingga kami tidak memerlukan perantara malaikat atau nabi atau rasul.” Ada yang berkata, “Kami mengambil dari sumber yang sama dengan malaikat.” Dan ungkapan-ungkapan lain yang senada.

Semua itu palsu, karena Allah Ta’ala tidak meletakkan jalan dari dan kepadaNya kecuali melalui rasul-rasulNya dan kitab-kitabNya, tidak ada yang lain.

5- Ishmah untuk selain Rasulullah saw

Hal ini seperti yang dipegang oleh orang-orang Rafhidah dan orang-orang kebatinan yang ekstrim, mereka meyakini bahwa imam-imam mereka terjaga dari salah dan dosa layaknya nabi dan rasul, mereka menerima apa pun yang diucapkan dan dilakukan oleh para imam tersebut sekalipun tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Ibnu Taimiyah berkata, “Rafidhah menyakini bahwa imam mereka yang dua belas adalah orang-orang ma’shum dari salah dan dosa, mereka memegang hal ini sebagai sebuah prinsip agama. Orang-orang sufi yang mengkultuskan sebagian syaikh mengatakan bahwa wali mahfuzh (terjaga) sedangkan nabi ma’shum… Sebagian dari mereka ada yang menganggap bahwa orang-orang yang mereka kultuskan itu setara dengan Nabi saw atau bahkan lebih utama daripada Nabi saw, lebih berat lagi manakala mereka memberikan sebagian dari sifat uluhiyah kepadanya.”

6- Mengambil ajaran agama lain dan filsafat asing

Dasar-dasar ahli kalam dalam mengingkari dan menafikan sifat-sifat Allah berasal dari agama-agama dan filsafat-filsafat sesat di luar Islam. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa pijakan mereka dalam menafikan sifat mahabbah dan khullah diambil dari orang-orang musyrikin dan shabi`in dari kalangan Brahman, ahli filsafat dan pelaku bid’ah ahli kitab yang berkata ahwa ar-Rabb (Tuhan) sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat tsubutiyah.”

Dari Manahij Ahlil Ahwa` wal Iftiraq wal Bida’, Dr. Nashir bin Abdul Karim al-‘Aql.