Edisi Th. XVIII No. 880/ Jum`at III/Dzulqa’dah 1433 H/ 21 September 2012 M.

Kesalahan adalah keburukan yang sering dilakukan oleh manusia. Rasulullah bersabda, “Setiap anak Adam (yakni: manusia-ed) pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman dan yang lainnya)

Mengenal kesalahan itu penting. Mengapa? Hal ini bisa menjadi sarana untuk menyadarkan pelaku sehingga bertaubat atas penyimpangannya. Juga sebagai peringatan agar tidak terjerumus ke dalam penyimpangan. Bukankah banyak kita saksikan orang yang bertaubat setelah tahu bahwa apa yang ia lakukan sebelumnya adalah suatu kesalahan?

Hudzaifah bin al-Yaman pernah bertanya tentang keburukan dengan tujuan mulia. Ia berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan sementara aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir hal tersebut akan menimpaku” (HR. al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra)

Kali ini kita ketengahkan 7 contoh kesalahan terkait masalah akidah yang boleh jadi kita atau saudara kita kaum muslimin di penjuru negeri Indonesia ada yang belum mengetahuinya. Harapannya adalah semoga Allah membuka pintu hati kita untuk menyadarinya dan kembali ke jalan yang benar.

1. Istighatsah (Meminta Bantuan) kepada Orang yang Sudah Mati.
Misalnya, ketika mengalami kesusahan, seseorang mengatakan, “Wahai syaikh Abdul Qadir Jaelani, bantulah aku.” Ini merupakan kesalahan karena istighatsah adalah ibadah yang tidak semestinya dilakukan kecuali kepada Allah. Allah berfirman, yang artinya, “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu” (QS. al-Anfal: 9). Ubadah bin Shamit berkata, “Abu Bakar berkata, ‘Bangkitlah kalian kita lakukan istighatsah kepada Rasulullah karena ulah si munafiq ini.’” (Mendengar hal ini) Maka Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya istighatsah itu bukan kepadaku, tapi istighatsah itu hanya dilakukan kepada Allah azza wajalla saja” (Majma’u az-Zawaid wa Manba’u al-Fawaid, al-Hafidz al-Haitsami)

2. Membenarkan Dukun
Ini adalah kesalahan. Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa datang kepada peramal atau dukun lalu membenarkan apa yang diucapkannya, maka ia telah kufur dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad.”(HR. Ahmad dan al-Hakim)

3. Menyembelih Karena Jin
Ada orang pergi ke dukun untuk berobat. Dukun itu meminta seekor hewan dengan sifat tertentu (seperti, ayam hitam mulus) dan sejenisnya untuk disembelih lalu darahnya dilumurkan pada orang yang sakit, untuk meminta keridhaan jin. Ini diharamkan, dan pelakunya dilaknat, Nabi bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ

“Allah melaknat siapa yang menyembelih karena selain Allah.”(HR.Muslim)

4. Meminta Syafa’at dari selain Allah
Misalnya, meminta syafa’at kepada nabi atau wali, dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, berilah syafa’at kepadaku”. Atau, “Wahai para wali Allah, berilah syafa’at kepadaku.” Ini kesalahan, karena syafa’at itu hanya milik Allah dan untuk siapa yang diberi ijin oleh-Nya. Allah berfirman, artinya, “Bahkan mereka mengambil pemberi syafa’at selain Allah. Katakanlah: “Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu pun dan tidak berakal?” (QS. az-Zumar: 43)

5. Keyakinan dalam ungkapan
Berikut ini contoh ungkapan yang dikatakan bertuah bila diucapkan sekian kali,

اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّم سَلاَماً تاَماً عَلَى سَيِدِناَ مُحَمَّدٍ الَّذِي تَنْحَلُ بِهِ العُقَدُ وَتَنفَرِجُ بِهِ الكُرَبُ وَتُقضَى بِهِ الحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَغَائِبُ وَحُسْنُ الخَوَاتِيمِ وَيُسْتَسقَى الغَمَامُ بِوَجهِهِ الكَرِيمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُومٍ لَكَ

Allahumma shalli shalatan kamilatan Wa sallim salaman taman ‘ala sayyidina Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdha bihil hawa-iju Wa tunalu bihir ragha-ibu wa husnul khawatimi wa yustasqal ghamamu bi wajhihil karimi, wa ‘ala alihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’lumin laka.

Artinya, “Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, kepada pemimpin kami Muhammad, yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”

Syaikh Muhammad Jamil Zainu berkata,“Sesungguhnya akidah tauhid yang diserukan al-Qur’an al-Karim dan diajarkan Rasulullah kepada kita mewajibkan setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang diserunya adalah malaikat atau Nabi yang dekat (dengan Allah). Al-Qur’an ini telah mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah baik kepada para rasul ataupun para wali. Allahberfirman, artinya,“Bahkan sesembahan yang mereka seru (selain Allah) itu justru mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan menempuh ketaatan supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka pun berharap kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.”(QS. al-Isra’: 57). Para ulama Tafsir mengatakan ayat ini turun terkait dengan mereka yang berdoa kepada Isa al-Masih, memuja malaikat atau jin-jin yang shalih (sebagaimana diceritakan Ibnu Katsir).”
“Bagaimana Rasul bisa merasa ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang bisa melepaskan ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal al-Qur’an saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya, artinya, “Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib, maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Se- sungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-A’raf :188)

Ada seseorang yang datang menemui Rasulullah dan berkata, “Atas kehendak Allahdan kehendakmu wahai Rasul”, maka beliau menghardiknya sambil berkata, “Apakah kamu ingin menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Katakan: Atas kehendak Allah semata.” (HR. an-Nasa’i dengan sanad hasan)

Seandainya kita ganti kata bihi

(بِهِ)

(dengan sebab beliau) dengan biha

(بِهَا)

(dengan sebab shalawat) maka tentulah maknanya akan benar. Bacaannya menjadi seperti ini,

اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّم سَلاَماً تاَماً عَلَى سَيِدِناَ مُحَمَّدٍ الَّتي تُحِلُ بِهَا العُقَد

Allahumma shalli shalatan kamilatan wa sallim salaman tamman ‘ala sayyidina Muhammadin Allati tuhillu bihal ‘uqadu (yang ikatan-ikatan hati menjadi terlepas karena shalawat)

Ini benar, karena shalawat kepada Nabi adalah ibadah yang bisa dijadikan sarana untuk bertawassul memohon dilepaskan dari kesedihan dan kesusahan.

6. Meramalkan Sial Karena Mendengar Suara Burung
Sebagian orang, ketika mendengar suara burung hantu, mengatakan, “Semoga baik-baik saja, siapa yang mati pada hari ini? Apa yang bakal terjadi hari ini? Ini kesalahan, karena Rasulullah bersabda, “Thiyarah (meramalkan kesialan) adalah syirik.” (HR. Abu Dawud dan lainnya).

7. Mengusap Kuburan untuk Mencari Keberkahannya
Ada orang yang pergi ke kuburan para wali atau orang shalih untuk mengusapnya dan mencari keberkahannya. Ini adalah kesalahan. Abu Waqid al-Laitsi berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah ke Hunain dan kami masih baru masanya dengan kekafiran (baru masuk Islam-red), sedangkan kaum musyrik memiliki sebuah pohon bidara yang mereka biasa beri’tikaf di sisinya dan menggantungkan senjata mereka padanya sehingga disebut Dzatu Anwath. Kami berkata ketika melewati pohon itu, “Wahai Rasulullah, buatlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath. Mendengar itu beliau bersabda, “Allahu akbar! Inilah sunnah-sunnah (tradisi-tradisi itu). Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian telah mengatakan sebagaimana yang pernah dikatakan Bani Israil kepada Musa; Buatkanlah tuhan untuk kami sebagaimana mereka memiliki beberapa tuhan. “Musa menjawab, sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh.” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad).

Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’I berkata, “Dosa besar ke 93, 94, 95, 96, 97, dan 98 adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, menyalakan api (penerangan) di kuburan, menjadikan kuburan sebagai berhala, thawaf, mengusap-usap kuburan, dan shalat ke arah kuburan.” (Az-Zawajir ‘an iqtiraf al-Kabair, 1/154).

Imam an-Nawawi menukil kesepakatan ulama tentang dilarangnya mengusap kuburan Nabi dalam rangka mencari barakah. Beliau berkata, “Tidak boleh thawaf di kuburan Nabi, dan dibenci menempelkan perut dan punggung di dinding kuburan, hal ini telah dikatakan oleh al-Halimy dan yang selainnya. Dan dibenci mengusap kuburan dengan tangan dan dibenci mencium kuburan…”

“Sungguh yang mulia al-Fudhail bin ‘Iyadh telah berbuat baik dalam perkataannya,“Ikutilah jalan petunjuk dan tidak masalah jika jumlah pengikutnya yang sedikit…Barangsiapa yang terbetik di benaknya bahwa mengusap-usap kuburan dengan tangan dan perbuatan yang semisalnya lebih berkah, maka ini karena kebodohan dan kelalaiannya, karena keberkahan itu pada sikap mengikuti syariat dan perkataan para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan bisa diraih dengan menyelisihi kebenaran??” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 8/257) Wallahu a’lam. (Redaksi)

[Sumber: al-Kalimatu an-Nafi’ah Fil akhtha-i asy Sya-i’ah, Wahid Abdussalam Bali. Edisi Indonesia: 474 Kesalahan Umum dalam Akidah dan Ibadah Beserta Koreksinya,penerbit: Darul Haq, Jakarta dan sumber lainnya]