Peribahasa -dalam bahasa Arab المثل – adalah ucapan pendek lagi spontan yang biasanya diucapkan pada peristiwa tertentu selanjutnya ucapan tersebut selalu diucapkan jika peristiwa lain yang mirip dengan peristiwa pertama terjadi. Terkadang sebuah peribahasa merupakan kata-kata bijak yang sarat dengan nasihat. Berikut ini penulis nukil dua peribahasa Arab.

1. الصيف ضيعت اللبن arti dari peribahasa ini pada musim panas kamu menyia-nyiakan susu.
Kisah peribahasa ini:
Seorang gadis menikah dengan seorang laki-laki yang telah berumur, suami gadis tersebut adalah seorang hartawan yang memiliki banyak ternak; unta dan domba. Gadis tersebut hidup bersama suaminya dengan berkecukupan, walaupun begitu gadis tersebut tidak kunjung menyintai suaminya akhirnya dia meminta talak. Suaminya mengabulkan. Setelah itu wanita tersebut menikah dengan seorang pemuda kere, tidak memiliki unta atau domba, hidup wanita tersebut sempit dan serba kekurangan. Suatu hari unta-unta mantan suami wanita tersebut melewati jalan dekat tempat tinggalnya. Wanita tersebut mencegat mantan suaminya meminta segelas susu tetapi apa jawab mantan suaminya? Mantan suaminya menjawab ucapan di atas. Maksudnya, dulu di musim panas kamu bersamaku, setiap hari kamu minum susu sepuasnya lalu kamu menyia-nyiakannya dengan meminta cerai. Lalu sekarang kamu meminta susu, tidak.
Peribahasa ini diucapkan ketika seseorang telah mendapatkan sesuatu yang baik tetapi dia tidak puas, dia ingin yang –menurutnya- lebih baik tetapi dia gagal meraih yang lebih baik, karenanya dia ingin kembali kepada yang baik yang dulu diemohinya, tetapi dia pun gagal meraihnya maka dikatakan peribahasa ini. Berharap murai yang terbang tinggi punai di tangan dilepaskan.
Pelajaran dari peribahasa ini adalah sikap nrimo atau qanaah. Berharap yang lebih baik adalah baik akan tetapi lebih baik lagi jika realistis, mungkinkah yang lebih baik tersebut diraih?

2. سبق السيف العذل (pedang mendahului celaan).
Apabila sesuatu telah terjadi maka ia terjadi, tidak mungkin dibatalkan, dalam kondisi tersebut peringatan dan celaan kurang bermanfaat, kalaupun ada manfaatnya maka ia hanya sebagai peringatan agar tidak terulang. Inilah makna yang terkandung di dalam peribahasa di atas, karena pedang telah berbicara dan peristiwa telah terjadi maka celaan tidak berarti.
Kisah peribahasa ini :
Kata sohibul hikayat, seorang bapak menyuruh anaknya seorang pemuda mencari untanya yang hilang, bapaknya menunggu tetapi anaknya tidak kunjung kembali. Suatu hari bapak melakukan sebuah perjalanan, di tengah jalan dia bertemu dengan seorang laki-laki yang kebetulan sejalan dengannya, maka keduanya setuju berjalan bersama. Lelahnya perjalanan memaksa keduanya beristirahat. Pada saat istirahat tersebut laki-laki itu berkata kepada bapak, “Beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengan seorang pemuda di tempat ini, aku membunuhnya dan mengambil pedangnya ini.” Kontan pikiran bapak tertuju kepada anaknya yang pergi dan belum pulang, jangan-jangan pemuda tersebut adalah anakku, pikir sang bapak. Bapak tersebut mengambil langkah pintar dengan meminta rekannya itu memperlihatkan pedang kepadanya, tanpa curiga orang tersebut memberikan pedang kepada bapak. Bapak yakin ini adalah pedang anaknya maka tanpa kata-kata pedang itu pun menebas leher orang tersebut.
Karena peristiwa ini terjadi di bulan Haram maka orang-orang menyalahkan dan mencela bapak yang tidak menghargai bulan Haram. Mereka berkata, “Mengapa Anda membunuh di bulan Haram?” Bapak menjawab, “ سبق السيف العذل (pedang telah mendahului celaan)?” Dan akhirnya ucapan tersebut dijadikan peribahasa. Peribahasa ini diucapkan kepada orang yang menyalahkan sesuatu yang telah terjadi. Orang Indonesia berkata, “Nasi telah menjadi bubur.”
Pelajaran dari peribahasa ini.
Hati-hatilah bertindak karena jika ia terjadi maka ia tidak bisa dibatalkan dan berilah peringatan sebelum ia terjadi.