Bahasan Kedua: Riba

Riba secara bahasa artinya: tambahan atau pertumbuhan. Allah berfirman, ,Artinya”Lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang seperti riba.” (Al-Haqqah: 10). Yakni siksa yang bertambah terus.

Allah juga berfirman: Artinya,”Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.”(Al-Hajj: 5). Yakni bertambah besar dan bertambah tinggi.

Menurut terminologi ilmu fiqih, artinya yaitu: Tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua pihak yang terlibat tanpa ada imbalan tertentu.

Yang Dimaksud dengan ‘tambahan’ secara definitive
Tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhal: Emas, perak, gandum, kurma, jewawut dan garam, serta segala komoditi yang disetarakan dengan ke enam komoditi tersebut.

Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kuantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kuantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, adalah riba yang diharamkan.

Tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga hutang.

Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan asset yang diharuskan adanya serah terima langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dolar misalnya, harus ada serahterima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.

Diharamkannya Riba
Diharamkannya riba berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma’ para ulama. Bahkan bisa dikatakan keharamannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam ini.

Di antara dalil haramnya riba dari Kitabullah yaitu:
Firman Allah ta’ala, artinya :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni nar; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 275-279).

Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat tentang riba yang terakhir diturunkan dalam al-Qur’an al-Karim.
Al-Qur’an telah membicarakan riba dalam empat tempat terpisah; salah satunya adalah ayat Makkiyah sementara tiga lainnya adalah ayat-ayat Madaniyah.
Dalam surat ar-Ruum Allah ta’ala berfirman, artinya :
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencari keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Ar-Rum: 39).

Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya riba. Karena kala itu riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan di masa Nabi di Madinah. Hanya saja ini mempersiapkan jiwa kaum muslimin agar mampu menerima hukum haramnya riba (yang terlanjur membudaya kala itu-pent)
Dalam surat an-Nisa’, Allah ta’ala berfirman:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa’: 160-161).

Ayat di atas menjelaskan diharamkannya riba terhadap orang-orang Yahudi. Ini merupakan pendahuluan yang amat gamblang untuk kemudian baru diharamkan terhadap kalangan kaum muslimin. Ayat tersebut turun di kota Madinah sebelum orang-orang Yahudi menjelaskannya.

Dalam surat Ali Imran, Allah ta’ala berfirman, artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130).

Baru kemudian turun beberapa ayat pada akhir surat al-Baqarah yang telah disebutkan sebelumnya.

Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari as-Sunnah
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya, “Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah, membunuh jiwa dengan cara yang haram, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh berzina wanita suci yang tidak ada memiliki pikiran untuk zina lagi mu’minah.”

Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdillah bahwa ia menceritakan,
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Samurah bin Jundub bahwa ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tadi malam aku melihat dua orang lelaki, lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kamipun berangkat sehingga sampai ke satu sungai yang berair darah. Di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri. Di tepi sungai terdapat seorang lelaki lain yang menaruh batu di hadapannya. Ia menghadap ke arah lelaki yang ada di sungai. Kalau lelaki di sungai itu mau keluar, ia melemparnya dengan batu sehingga terpaksa lelaki itu kembali ke dalam sungai darah. Demikianlah seterusnya setiap kali lelaki itu hendak keluar, lelaki yang di pinggir sungai melemparnya dengan batu sehingga ia terpaksa kembali lagi. Aku bertanya: ‘Apa ini?’ Salah seorang lelaki yang bersamaku menjawab, ‘Yang engkau lihat dalam sungai darah itu adalah pemakan riba’.”

Ijma’ yang Mengharamkan Riba
Kaum muslimin seluruhnya telah bersepakat bahwa asal dari riba adalah diharamkan, terutama sekali riba pinjaman atau hutang. Bahkan mereka telah berkonsensus dalam hal itu pada setiap masa dan tempat. Para ulama ahli fiqih seluruh madzhab telah menukil ijma’ tersebut. Memang ada perbedaan pendapat tentang sebagian bentuk aplikasinya, apakah termasuk riba atau tidak dari segi praktisnya, namun tidak bertentangan dengan asal ijma’ yang telah diputuskan dalam persoalan itu.

Beberapa Bentuk Aplikasi Riba di Masa Jahiliyah
Pada masa jahiliyah riba memiliki beberapa bentuk aplikatif:
Bentuk pertama: Riba pinjaman. Yakni yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyah: “Tangguhkanlah hutangku, aku akan menambahnya.”

Misalnya seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata, “Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan.” Yakni, perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.

Qatadah menyatakan, “Sesungguhnya riba di masa jahiliyah bentuknya sebagai berikut: Ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau sudah datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berhutang itu tidak mampu membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya.”

Atha menuturkan, “Dahulu Tsaqif pernah berhutang uang kepada Bani al-Mughirah pada masa jahiliyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata, “Kami akan tambahkan jumlah hutang yang akan kami bayar, tetap tolong ditangguhkan pembayarannya.” Maka turunlah firman Allah, artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba yang berlipat-lipat ganda.”

Ibnul Qayyim menyatakan dalam I’lamul Muwaqqi’in: “Adapun riba yang jelas adalah riba nasi’ah. Itulah riba yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa Jahiliyah, seperti menangguhkan pembayaran hutang namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah jumlahnya, sehingga hutang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham.”

Imam Ahmad pernah ditanya tentang riba yang tidak diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab, “Ada orang yang menghutangi seseorang, lalu ia berkata, ‘Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan lagi?’ Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya.”

Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.

Al-Jassash menyatakan, “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.” Di lain kesempatan, beliau menjelaskan: “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allah menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya.”

Bentuk ketiga: Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan Syarat Dibayar Perbulan (Secara Berkala)

Fakhruddin menyatakan, “Riba nasi’ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada seiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyah.”

Ibnu Hajar al-Haitsami menyatakan, “Riba nasi’ah adalah riba yang populer di masa jahiliyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari orang yang berhutang sementara jumlah piutangnya tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia hutangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.”

Diharamkannya Riba Dalam Semua Syariat yang Diturunkan Allah Kepada Para Nabi

Diharamkannya riba tidak hanya berlaku dalam syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Namun keharamannya sudah menjadi aksioma yang diterima secara umum dalam seluruh syariat yang diturunkan oleh Allah.

Disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama, “Apabila Anda meminjamkan uang kepada seseorang dari kalangan bangsaku, jangan bersikap seperti rentenir dan jangan mengambil keuntungan dari piutangmu.”

Dalam kitab yang sama disebutkan, “Kalau saudaramu memerlukan sesuatu, bantulah dia. Jangan engkau mengambil keuntungan dan manfaat apapun.”

Hanya saja orang-orang Yahudi tidak menganggap ada masalah melakukan riba terhadap non Yahudi, sesuai dengan kaidah mereka yang disebutkan dalam al-Qur’an, artinya :
“Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan, ‘Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi.’ Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.” (Ali Imran: 75).

Sementara dalam Safar ats-Tatsniah dalam ishah ke tiga belas dan dua puluh, disebutkan ucapan yang dinisbatkan kepada Musa, “Janganlah engkau meminjamkan uang kepada saudaramu dengan cara riba: riba perak, riba makanan, dan segala sesuatu yang bisa dipinjamkan dengan cara riba.” Dalam pasal yang sama disebutkan, “Kalau kepada orang asing, silakan engkau memberi pinjaman dengan bunga/riba. Namun jangan lakukan itu kepada saudaramu, agar Allah memberikan berkah kepadamu pada setiap uluran tanganmu.”
Bahkan mereka telah menganggap halal perbuatan riba itu dengan sesama mereka, namun dengan berbagai kamuflase. Al-Qur’an telah mengecam mereka dalam firman Allah, artinya :
“…dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.” (An-Nisa’: 161).

Yakni bahwa Allah telah melarang mereka melakuan perbuatan riba, namun mereka masih juga mengambil keuntungan dengan riba. Mereka sengaja menyamarkan perbuatan mereka tersebut, dengan berbagai cara untuk merancukannya, dan pada akhirnya mereka berhasil memakan uang orang lain dengan cara batil.

Sementara dalam Perjanjian Baru disebutkan, “Apabila kalian meminjamkan uang yang kalian harapkan akan mendapatkan imbalan, yakni bunga dari pinjaman itu, keutamaan apa yang dengannya kalian dikenal. Maka lakukanlah kebajikan dan berilah pinjaman tanpa menantikan imbalan. Dengan demikian, kalian akan memperoleh pahala besar.”

Kaum gerejawan bersepakat mengharamkan riba secara tegas berdasarkan nash-nash tersebut.

Sukbar menyatakan, “Sesungguhnya orang yang menyatakan bahwa riba bukanlah kemaksiatan, berarti ia termasuk atheis/kafir yang keluar dari agamanya.”

Pastur Buni menyatakan, “Sesungguhnya para pelaku riba itu kehilangan kehormatan di dunia, dan tidak berhak dikafani ketika mereka mati.”

Macam-macam Riba
Riba ada dua macam: Riba pinjaman, yakni yang dijelaskan keharamannya dengan diturunkannya ayat al-Qur’an. Yang kedua, riba jual beli. Yakni riba yang dijelaskan dalam as-Sunnah yang suci.

Riba Jual Beli

Yakni riba yang terdapat pada penjualan komoditi riba fadhal. Komoditi riba fadhal yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma, garam dan jewawut.

Mayoritas ahli fiqih menyetarakan dengan enam komoditi itu segala komoditi yang sama fungsinya. Namun kemudian mereka berbeda pendapat dalam membatasi fungsi tersebut.

Namun ada yang tidak termasuk perbedaan pendapat tersebut, yakni bahwa alasan fungsional yang jelas dari diharamkannya emas dan perak adalah pada nilai tukarnya. Apapun yang memiliki nilai tukar seperti emas dan perak, maka alasan fungsional sebagai riba fadhal juga terdapat padanya. Oleh sebab itu berbagai jenis mata uang modern disetarakan dengan emas dan perak, sehingga semua hukum riba fadhal diberlakukan pada uang-uang tersebut. Adapun alasan fungsional pada komoditi lainnya, maka pendapat kalangan Malikiyah dalam permasalahan ini adalah yang paling tepat. Itu adalah pendapat yang paling unggul dalam persoalan ini, yakni pada: keberadaannya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan. Setiap komoditi yang memiliki dua kriteria tersebut, berarti termasuk komoditi riba fadhal, dan diberlakukan segala hukum yang berkaitan dengannya. Alasan kebenaran pendapat ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Orang yang mengamati empat komoditi tersebut, pasti akan mendapatkan kedua kriteria ini padanya.

Kedua: Sesungguhnya tujuan dari diharamkannya riba adalah memelihara harta manusia dan menghilangkan unsur penipuan dalam jual beli mereka, maka hal itu harus dibatasi dengan hal-hal yang amat dibutuhkan oleh mereka, seperti makanan pokok yang bisa disimpan, karena keduanya adalah dasar pencarian nafkah dan tulang punggung kehidupan.

Demikianlah. Dan riba jual beli ini terbagi dua: Riba fadhal dan riba nasi’ah.

Pertama: Riba Fadhal
Yakni kelebihan pada salah satu dari dua komoditi yang ditukar dalam penjualan komodidi riba fadhal. Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, maka harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Demikian juga dengan segala kelebihan yang disertakan dalam jual beli komoditi riba fadhal. Dalam hadits Ubadah bin Shamit disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”

Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam banyak hadits dalam persoalan ini. Sebagian di antaranya disebutkan oleh as-Subki dalam Takmilatul Majmu’, yakni sejumlah dua puluh dua hadits dalam sebuah pasal tersendiri tentang riba fadhal. Ada yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Ada juga yang hanya diriwayatkan oleh Muslim. Namun ada juga yang ada di luar Shahih al-Bukhari dan Muslim. Ada yang shahih, namun ada juga yang masih diperdebatkan.

Kita tidak sedang meneliti semua nash-nash tersebut, karena asal hukum yang tercakup dalam pembahasan adalah hal yang tidak diperdebatkan di kalangan ulama hingga hari ini.

Hikmah Diharamkannya Riba Fadhal
Hikmah diharamkannya riba fadhal tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zhahir jual beli ini tidak mengandung manipulasi. Karena satu hal yang logis dan aksiomatik bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak sama dengan yang buruk.

Kalau satu shaa’ kurma bagus dibeli dengan dua shaa’ kurma jelek, secara logika tidak ada hal yang salah. Lalu dimana letak hikmah dari pengharaman tersebut?

Sebelum kita berupaya mencari hikmah tersebut melalui bebagai tulisan para ulama dalam persoalan ini, tidak lupa kita menyebutkan dasar fundamental yang bersifat permanen, yang tidak boleh kita lupakan dalam persoalan yang sudah rumit ini, yakni bahwa seorang muslim harus mengikuti perintah Allah, baik ia sudah mengetahui hikmah perintah itu maupun belum. Cukup bagi dirinya mengetahui bahwa perintah ini memang berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Mengetahui, yang rahmat dan ilmuNya meliputi segala sesuatu, yang segala firmanNya pasti benar dan penuh keadilan.
Allah berfirman,
Artinya,”Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65).

Setelah pendahuluan ini, baru kita tegaskan: Kemungkinan penjelasan hikmah yang paling jelas tentang keharaman riba fadhal ini adalah sebagai upaya menutup jalan menuju perbuatan haram. Karena riba fadhal ini seringkali menggiring kepada riba nasi’ah. Bahkan juga bisa menimbulkan bibit-bibit berkembangnya budaya riba di tengah masyarakat. Karena orang yang menjual sesuatu dengan sesuatu yang sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar, akan mendorongnya untuk suatu saat menjualnya dengan pembayaran tertunda, bersama bunganya.

Itulah yang disyaratkan dalam sabda Nabi:
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, hanya boleh dilakukan bila sama ukuran/beratnya. Jangan kalian pisahkan salah di antaranya, dan jangan kalian menjual yang belum ada dengan yang sudah ada. Karena aku khawatir kalian melakukan rama.Rama yaitu riba. Karena kalau Allah melarang kita mengambil kelebihan dalam jual beli komoditi riba fadhal secara langsung, padahal kelebihan itu karena kualitas, kriteria, bentuk dan sejenisnya, maka lebih layak dan lebih masuk akal lagi bila Allah melarang kelebihan yang tidak ada imbalannya tapi hanya semata-mata penangguhan waktu.

Kedua: Riba Nasi’ah
Yakni penerimaan salah satu dari barang yang dibarter atau dijual secara tertunda dalam jual beli komoditi riba fadhal. Kalau salah satu komoditi riba fadhal dijual dengan barang riba fadhal lain, seperti emas dijual dengan perak atau sebaliknya, atau satu mata uang dijual dengan mata uang lain, dibolehkan adanya ketidaksamaan, namun tetap diharamkan penangguhan penyerahannya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi: “Kalau berlainan jenis, silahkan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”

Berdasarkan hal itu, maka muncullah kaidah-kaidah berikut dalam jual beli komoditi riba fadhal:
1. Diharuskannya kesamaan ukuran/berat dan serah terima secara langsung, kalau jenisnya sama, dan alasan fungsionalnya sama, seperti emas dengan emas atau perak dengan perak.
2. Diharuskannya serah terima langsung, tetapi boleh ada perbedaan ukuran/berat, kalau jenis komoditinya berbeda, namun sama alasan fungsionalnya, seperti menjual emas dengan perak, atau gandum dengan kurma.
3. Tidak diharuskan sama dan tidak harus diserahterimakan secara langsung, kalau berbeda jenisnya dan juga berbeda alasan fungsionalnya, seperti menjual emas dengan gandum, perak dengan kurma, dan sejenisnya. Karena dalam kasus ini dibolehkan penjualan dengan pembayaran tertunda dan dengan perbedaan ukuran atau berat.

Disebutkan dalam al-Hidayah dalam Fiqih Hanafi, “Kalau dua kriteria itu tidak ada (kesamaan jenis dan fungsi), dibolehkan penjualan dengan penyerahan tertunda dan dengan kelebihan salah satu di antaranya, juga karena tidak alasan yang mengharamkan. Asalnya adalah dibolehkan. Kalau kedua kriteria itu ada, penyerahan atau pembayaran tertunda dan kelebihan pada salah satu komoditi diharamkan, karena ada alasan yang mengharamkannya. Kalau hanya salah satunya saja yang ada, yang haram hanya penyerahan tertunda, kelebihan salah satu komoditi tidak menjadi masalah.”

Sementara dalam Kifayatul Akhyar disebutkan, “Kalau sebuah transaksi meliputi dua hal, dilihat terlebih dahulu: kalau jenis dan alasan fungsionalnya sama, seperti emas dengan emas, perak dengan perak, dan kurma dengan kurma, untuk keluar dari kategori sebagai riba harus memenuhi tiga hal: Kesamaan, kontan, penyerahterimaan secara langsung dalam arti sesungguhnya di lokasi transaksi. Kalau salah satunya hilang, transaksi dianggap batal.

Riba Pinjaman:
Yakni riba terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungan, baik dalam wujud penjualan, pinjaman dan sejenisnya. Yaitu tambahan (bunga) dari hutang karena ditangguhkannya waktu pembayaran. Itu adalah riba yang jelas yang tersebar luas di tengah masyarakat di masa jahiliyah, lalu kembali dilestarikan oleh bank-bank modern di zaman sekarang ini. Padahal itu adalah bentuk aplikasi riba yang paling kentara dan paling jelek. Karena riba itulah diturunkan ayat-ayat al-Qur’an yang mengharamkannya. Dan terhadap riba semacam itulah terbentuk ijma’ kaum muslimin. Inti riba pada masa itu adalah: Bunga pada hutang karena penangguhan waktu pembayaran, apapun asal hutang tersebut, baik melalui pinjaman, jual beli atau yang lainnya.

Riba Fulgar Ala Jahiliyah yang Diharamkan dalam al-Qur’an
Jika terjadi perbedaan dalam penggabungan sebagian harta dengan keenam jenis yang disebutkan dalam hadits, maka ijma’ telah menyatakan keharaman riba pinjaman dan keharaman segala tambahan dalam pinjaman karena penangguhan waktu pembayaran. Sebab, ini adalah riba jahiliyah yang nyata yang karenanya nas-nas turun untuk mengharamkannya.

Ibnu Qudamah menegaskan: “Setiap pinjaman yang mengandung syarat harus dibayar dengan bunganya, maka hukumnya haram, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal itu.” Sementara Ibnul Mundzir menyatakan, “Para ulama telah bersepakat, bahwa apabila orang yang meminjamkan uang memberi persyaratan kepada peminjamnya untuk menambah pembayaran hutangnya atau untuk memberi hadiah, lalu hal itu dilakukan, maka tambahan yang dia ambil itu adalah riba.”

Al-Qurthubi menjelaskan, “Para ulama kaum muslimin telah bersepakat menukil dari Nabi mereka bahwa disyaratkannya tambahan dalam hutang adalah riba, meskipun hanya berupa segenggam makanan ternak, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud, “..atau hanya satu biji-bijian saja.”

Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menandaskan: “Orang yang meminjamkan tidak berhak memberi syarat tambahan pada seluruh harta, menurut kesepakatan para ulama.”

Bentuk riba pada masa jahiliyah hanya berkutat seputar pengertian ini (Pinjaman berjangka dengan syarat bunga). Itulah pengertian yang diindikasikan oleh ajaran syariat yang penuh perhatian terhadap umat, dan yang diindikasikan juga oleh ijma’ akan keharamannya. Bentuk riba inilah yang banyak diterapkan oleh bank-bank di era modern sekarang ini.

Apakah Boleh Menyegerakan Pembayaran Hutang Berjangka dengan Kompensasi Pemotongan Sebagian Jumlah Hutang?
Bentuk yang satu ini masih menjadi ajang perdebatan di kalangan ulama. Yakni persoalan: “Silahkan bayar cepat, saya kurangi hutang Anda.” Persoalan ini sudah cukup populer.

Di kalangan ulama ada yang melarangnya, dan alasannya adalah sebagai berikut:
Hutang yang dipotong adalah kompensasi dari hutang yang seharusnya ditangguhkan, dan itu tidak boleh. Pengurangan waktu dengan kompensasi pengurangan jumlah hutang, sama dengan penangguhan waktu dengan kompensasi penambahan jumlah hutang.

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Miqdad bin al-Aswad bahwa ia menceritakan, “Aku pernah meminjamkan seseorang seratus dinar, namun kemudian aku mendapatkan giliran pergi bersama pasukan yang diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akupun berkata kepadanya, “Bayar saja sekarang, aku kurangi menjadi sembilan puluh dinar. Saya potong sepuluh dinar.” Lelaki itu berkata: “Baik.” Aku menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda, “Anda telah memakan uang riba hai Miqdad, dan juga telah memberi makan riba kepada lelaki itu.”

Riwayat shahih dari Ibnu Umar bahwa beliau pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki piutang pada orang lain sampai waktu tertentu, kemudian pemilik uang itu menggugurkan sebagian jumlah hutang, dan ia meminta mempercepat pembayaran. Ibnu Umar tidak menyukai hal itu dan melarangnya. Pendapat yang sama diriwayatkan dari Umar dan Zaid bin Tsabit.

Ada juga ulama yang membolehkannya dalam hutang kitabah (penebusan diri untuk mencapai kemerdekaan), yakni hutang antara tuan dengan budak yang mau menebus dirinya. Karena makna kasih sayang antara mereka berdua lebih kental ketimbang pertukaran kompensasi. Ini adalah pendapat kalangan Hambaliyah dan Hanafiyah.

Ada juga para ulama yang membolehkannya secara mutlak. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
Riwayat yang dikeluarkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas bahwa ia menceritakan, “Ketika Nabi memerintahkan agar Bani Nadhir diusir keluar kota Madinah, tiba-tiba datang sebagian orang dan berkata: “Wahai Rasulullah! Anda mengusir mereka dari kota al-Madinah, padahal sebagian orang berhutang kepada mereka dan belum tiba waktu pembayarannya. Maka Rasulullah bersabda, “Kurangi saja hutangnya dan bayar segera.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Kaab bin Malik bahwa ia berkata, Kaab berselisih dengan Ibnu Abi Hadrad tentang pihutangnya terhadap Abi Hadrad pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Masjid. Suara mereka meninggi sehingga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang kala itu ada di rumah. Beliau keluar menemui mereka dan berkata dengan suara tinggi pula, “Hai Kaab!” Kaab menjawab, “Baik, wahai Rasulullah!” Beliau mengisyaratkan dengan tangannya: agar mengurangi jumlah piutang Kaab menjadi setengah dan berkata kepada Hadrad, “Bangkit dan bayar sisa hutangmu.”

Alasan lain, bahwa ini adalah kebalikan dari riba. Riba mengandung penambahan jumlah hutang dengan penangguhan, dan itu membahayakan orang yang berhutang. Sementara dalam kasus ini, justru membebaskan sebagian dari hutang orang yang berhutang, sementara pihak yang memberi hutang juga mengambil manfaat dengan cepatnya pembayaran. Jadi ini adalah lawan dari riba, baik dalam aplikasi maupun pengertian.

Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, juga dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim serta diunggulkan oleh asy-Syaukani. Pendapat ini juga diambil oleh Lembaga Pengkajian Fiqih Islam yang berasal dari Organisasi Muktamar Islam pada pertemuan ke tujuh yang diadakan di Jeddah. Lembaga Pengkajian itu memberikan keputusan sebagai berikut:

“Pemotongan jumlah hutang yang disegerakan, baik karena permintaan yang memberi hutang atau karena permintaan yang berhutang (bayar cepat, hutang dikurangi) hukumnya adalah mubah menurut syariat, tidak tergolong riba yang diharamkan, kalau bukan atas dasar kesepakatan sebelumnya, selama hubungannya hanya antara yang berhutang dengan yang memberi hutang. Kalau terlibat di dalamnya pihak ketiga, maka tidak dibolehkan, karena pada saat itu sudah termasuk hukum pengurangan nilai tukar.”

Uang Sebagai Alat Tukar Modern dan Riba yang Bisa Terkandung di Dalamnya
Mungkin akan termasuk tambahan bermanfaat bila penulis tegaskan kembali bahwa riba itu juga berlaku pada berbagai jenis mata uang modern, dimana hukum-hukum yang berlaku pada emas dan perak juga diberlakukan padanya. Kesimpulan yang sama juga ditegaskan oleh berbagai Lembaga Fiqih Modern, di antaranya yang diputuskan oleh Lembaga Pengkajian Fiqih yang terikut dalam Organisasi Rabithah al-Alam al-Islami dalam pertemuan ke lima mereka yang diadakan pada tahun 1402 H. Mereka mendiskusikan persoalan ini dan memutuskan:
Pertama: Didasari bahwa asal dari uang adalah emas dan perak, meskipun yang menjadi dasar sebenarnya adalah logamnya, bukan alat tukarnya.

Sementara uang sekarang telah berubah menjadi nilai tukar, sehingga menggantikan posisi emas dan perak untuk digunakan sebagai alat tukar. Dengan uang itulah segala sesuatu diukur nilai jualnya pada zaman sekarang ini, karena penggunaan emas dan perak sudah tidak lazim lagi, bahkan orang lebih senang menyimpan uang dan menjadikannya sebagai harta mereka, segala perjanjian usaha dan hutang piutang dapat diselesaikan dengan uang. Padahal nilai uang itu bukanlah pada bendanya, namun pada hal lain; yakni kepercayaaan pada uang sebagai mediator perputaran dan pertukaran komoditi dagang. Itulah dasar dijadi-kannya uang sebagai nilai tukar.

Yang menjadi alasan fungsional terjadinya riba pada emas dan perak adalah keberadaannya sebagai nilai tukar. Alasan itu ada juga pada uang-uang modern sekarang ini. Dengan alasan itu semua, Majelis Lembaga Pengkajian Fiqih Islam memutuskan bahwa uang yang berlaku sekarang ini adalah nilai tukar asli, ia memiliki nilai tukar asal yakni emas dan perak, sehingga juga wajib dizakati. Riba dengan dua jenisnya juga bisa berlaku padanya, persis seperti yang berlaku pada emas dan perak, ditinjau dari keberadaannya sebagai nilai tukar, uang dikiaskan dengan emas dan perak. Oleh sebab itu, mata-mata uang itu menduduki posisi nilai tukar kontan dalam berbagai komitmen bisnis yang diwajibkan oleh syariat.

Kedua: Uang dianggap sebagai alat tukar yang berdiri sendiri sebagaimana halnya emas dan perak atau nilai tukar lainnya. Uang juga diakui bermacam-macam, jumlahnya sesuai dengan jumlah pihak yang mengeluarkan uang tersebut di berbagai negara. Artinya, uang Saudi adalah satu jenis mata uang. Dan uang Amerika juga jenis uang tersendiri. Demikianlah setiap mata uang termasuk jenis tersendiri, oleh sebab itu kedua jenis riba, fadhal atau nasi’ah bisa berlaku pada semua jenis mata uang itu, sebagaimana berlaku pada emas, perak dan jenis alat tukar lainnya.

Konsekuensinya adalah sebagai berikut: Tidak boleh menjual uang dengan jenis yang sama atau dengan jenis lain, baik yang berupa emas, perak atau yang lainnya dengan penyerahan tertunda, secara mutlak. Tidak boleh misalnya menjual riyal Saudi dengan mata uang lain dengan nilai yang tidak sama tanpa penye-rahterimaan secara langsung.

Tidak boleh menjual uang dengan jenis yang sama dengan nilai yang berbeda, baik secara kontan atau dengan penyerahan tertunda. Tidak boleh misalnya menjual sepuluh riyal Saudi berbentuk kertas dengan sebelas riyal, dengan penyerahan tertunda atau secara kontan.

Dibolehkan menjual uang dengan jenis lain secara mutlak, bila secara kontan. Dibolehkan menjual Lira Siria atau Libanon dengan riyal Saudi, kertas ataupun logam, lebih banyak atau lebih sedikit nilainya. Boleh juga menjual satu dolar Amerika dengan tiga riyal Saudi, lebih atau kurang nilainya, kalau dilakukan secara kontan. Atau misalnya menjual riyal Saudi kertas dengan riyal Saudi dari logam perak, lebih atau kurang dari itu, asalkan secara kontan. Karena sama artinya dengan menjual satu jenis uang dengan jenis lain. Semata-mata kesamaan nama saja tidak menjadi masalah, asalkan hakikatnya berbeda.

Diwajibkannya zakat uang-uang bila telah mencapai batas terendah nishab dari nishab emas dan perak, atau misalnya bila digabungkan dengan yang lain seperti emas perak atau barang dagangan, bisa mencapai nishab.

Dibolehkannya menjadikan uang sebagai modal dalam jual belias-Salm dan dalam syirkah.

Riba di Darul Harb
Kalau seorang muslim memasuki Darul Harb (negeri-negeri kafir harbi) dengan jaminan keamanan, seperti halnya berbagai komunitas Islam yang terdapat di berbagai masyarakat barat sekarang ini, bolehkah melakukan usaha berbasis riba dengan mereka, dan mengambil keuntungan dari uang mereka? Atau hukum itu tidak berubah di segala tempat?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum riba itu tidak berubah-rubah di segala tempat. Riba diharamkan di bumi manapun dan di kolong langit bagian manapun. Tidak halal seorang muslim melakukan transaksi riba dengan orang-orang kafir, baik dengan posisi mengambil atau memberikan riba.

Mereka beralasan sebagai berikut:
Kemutlakan nash-nash yang diriwayatkan berkaitan dengan pengharaman riba yang tidak memberikan kriteria khusus dengan hanya diberlakukan di tempat tertentu, dan tidak di tempat yang lain, atau hanya untuk sebagian orang, tidak untuk sebagian lain.

Diharamkannya riba sudah jelas sekali bagi kaum muslimin, dan juga berlaku secara jelas dengan orang-orang kafir menurut pendapat yang benar di kalangan ulama, karena Allah juga berbicara tentang perbuatan orang-orang kafir, artinya :“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.” (An-Nisa’: 161).

Kalau perbuatan haram itu hanya berlaku bagi kaum muslimin di negeri kaum muslimin saja, kalau mereka keluar atau dikeluarkan dari negeri mereka, mereka pasti akan melaksanakan perbuatan haram tersebut? Bukankah sikap ini mirip dengan sikap orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa kami tidak mempunyai urusan dengan orang-orang Arab. Maka mereka pun melakukan berbagai usaha yang haram dengan orang-orang Arab, yang tidak mereka lakukan dengan sesama mereka?

Diqiyaskannya riba antara muslim dengan orang kafir harbi di negeri kafir harbi terhadap mustamin (orang-orang kafir harbi yang meminta perlindungan keamanan kepada kaum muslimin di negeri Islam), karena riba itu bisa berlaku antara dia dengan seorang muslim secara ijma, maka begitu pula bila seorang muslim masuk ke negeri kafir harbi, riba juga tetap berlaku.

Pendapat itu ditentang oleh Abu Hanifah dan muridnya Muhammad bin al-Hasan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Mereka berpendapat, “Tidak ada riba antara seorang muslim dengan orang kafir harbi di negeri kafir harbi, karena harta mereka di negeri mereka pada asalnya halal. Dengan cara apapun seorang muslim mengambil hartanya itu, hartanya tetap halal, selama tidak mengandung penipuan terhadap diri mereka. Kalau ia masuk ke negeri kafir, lalu ia menjual satu dirham dengan dua dirham, tidak menjadi masalah. Karena hukum kaum muslimin tidak berlaku bagi mereka. Dengan cara apapun seorang mukmin mengambil hartanya dari orang kafir itu, asal dengan kerelaan, tidak menjadi masalah.”

Abu Hanifah bersama para ulama yang sependapat dengan beliau beralasan sebagai berikut, “Riwayat Makhul dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Tidak ada riba antara seorang muslim dengan kafir harbi di negeri kafir harbi.”

Namun alasan ini dibantah, bahwa hadits tersebut ternyata mursal dan lemah, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Syafi’i menyatakan, “Hadits Makhul tidaklah shahih, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.”

Dan hadits itu, kalaupun dimisalkan shahih, masih mengandung kemungkinan adanya larangan, seperti firman Allah, artinya : “Mengerjakan haji, maka tidak ada rafats, tidak ada berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.”(Al-Baqarah: 197) (yakni bukan tidak ada, tetapi tidak boleh, pent.).

Kalau dalil mengandung kemungkinan, maka berdalil dengannya menjadi batal. Atau harus dipahami mengikuti alur pemahaman pada dalil-dalil tegas yang mengharamkan riba. Karena tidak boleh meninggalkan hadits-hadits tersebut hanya untuk mengamalkan hadits yang masih kabur, yang tidak diriwayatkan dalam kitab-kitab sunnah yang shahih.

Imam an-Nawawi menyatakan, “Kalaupun shahih hadits Makhul tersebut, pasti akan kami takwilkan bahwa artinya adalah tidak boleh melakukan riba (bukan tidak ada) di negeri kafir harbi, untuk mengkompromikan antara dalil-dalil yang ada.”

Riwayat shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda dalam Hajjatul Wada’,
“Segala riba Jahiliyah sudah dienyahkan. Riba yang pertama kali aku enyahkan adalah riba al-Abbas bin Abdul Muthathalib.”

Poin alasan dalam hadits ini adalah bahwa Makkah kala itu adalah negeri kafir harbi, dan di situ tinggal Abbas bin Abdul Muththalib sebagai muslim, mungkin sebelum perang Badar atau sebelum perang Khaibar, dan riba itu diharamkan pada waktu perang Khaibar. Namun Rasulullah tidak pernah menyanggah riba yang diperoleh Abbas setelah keislamannya, hingga berakhir masa jahiliyah dengan penaklukan kota Mekkah. Sementara segala aktivitas riba yang dilakukan oleh Abbas tidak samar lagi bagi Nabi di Mekah sebelum kota itu ditaklukkan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarangnya, itu menunjukkan riba tersebut dibolehkan.

Alasan tersebut dibantah bahwa tidak ada indikasi dalam hadits ini bahwa Abbas masih terus melakukan aktivitas ribanya setelah masuk Islam. Bisa saja hadits ini membicarakan riba yang pernah ia lakukan dahulu di masa jahiliyah sebelum ia masuk Islam. Kalaupun dimisalkan ia masih juga melakukan riba itu setelah masuk Islam, bisa jadi karena ia belum mengetahui hukumnya. Maka Nabi hendak menanamkan dan mengokohkan kaidah dasar ini pada saat itu. Kalau para sahabat memahami bahwa seorang muslim dibolehkan melakukan transaksi riba dengan orang kafir harbi, tentu mereka sudah mengamalkannya dengan orang-orang kafir harbi, itu. Namun tidak ada diriwayatkan demikian. Dengan demikian dalam hadits Abbas itu tidak ada indikasi dihalalkannya riba tersebut.

Bahwasanya harta orang-orang kafir itu dasarnya adalah halal, boleh saja dimiliki seorang muslim meski tanpa transaksi sekalipun, apalagi hanya dengan transaksi yang rusak, karena itu dilakukan dengan kerelaan mereka dan tidak mengandung unsur penipuan.

Alasan ini juga dibantah dengan alasan berikut:
Klaim tersebut tidak bisa diterima, karena orang kafir harbi bila telah masuk ke negeri Islam dengan aman, tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk melakukan transaksi riba dengannya berdasarkan kesepakatan ulama.

Dibolehkannya mengambil harta mereka sebagai harta rampasan perang, tidaklah berarti dibolehkan mengambil harta mereka melalui transaksi yang rusak. Karena kehormatan wanita-wanita kafir juga dihalalkan sebagai rampasan perang, namun tidak dihalalkan dengan transaksi yang rusak (pelacuran misalnya, pent).

Alasan ini –bila benar- hanya berlaku bagi muslim yang mengambil keuntungan dari orang kafir, tidak pantas dilakukan sebaliknya. Padahal kenyataannya justru orang kafir yang mengambil keuntungan dari si muslim tadi.

Melalui pemaparan sebelumnya semakin jelasnya bagaimana rancunya alasan-alasan tersebut sehingga tidak bisa menegakkan hujjah untuk membantah dalil-dalil yang mengharamkan riba secara mutlak.

Membeli Rumah Melalui Pendanaan Bank
Di tengah masyarakat barat berkembang satu trend pembelian rumah melalui dana dari bank. Caranya, pihak yang hendak membeli rumah mengajukan proposal kepada salah satu bank untuk meminjaminya sejumlah uang seharga rumah. Lalu pihak bank membayarkan biaya rumah tersebut bagi si pembeli dan bank menarik pembayarannya secara kredit bulanan dari si pembeli dengan bunganya, yang jumlahnya pada akhirnya nanti bisa mencapai tiga kali lipat atau lebih sesuai dengan lamanya pembayaran.

Semenjak dulu para ulama ahli fatwa telah menyimpulkan bahwa bentuk perjanjian usaha semacam itu hukumnya haram, karena perjanjian itu dianggap pinjaman berbunga yang jelas sekali.

Para ulama juga telah bersepakat mengharamkan riba pinjaman. Namun himpitan dan beban hidup telah menggoncangkan pendirian orang-orang penjaga-penjaga agama tersebut sehingga menyimpang dari prinsip mereka. Mereka mulai memberi keringanan kepada masyarakat untuk melakukan perjanjian tersebut, dengan dalih bersandar pada pendapat Abu Hanifah yang membolehkan mengambil riba dari orang kafir harbi di Darul Harb.

Menghadapi kejanggalan tersebut, kita memiliki beberapa sikap yang bisa penulis ringkas sebagai berikut:
Sikap pertama: Bahwa pendapat Abu Hanifah yang membolehkan mengambil riba dari orang kafir harbi di negeri kafir yang didasari oleh keberadaan asal harta orang kafir adalah halal, sama sekali tidak berkaitan dengan persoalan ini, karena justru kaum musliminlah yang menyerahkan uang mereka kepada orang-orang kafir. Dalam kasus ini justru orang kafir yang mengambil bunga atau keuntungan, bukan orang muslimnya. Jadi berkebalikan dengan pendapat Abu Hanifah dalam kasus yang beliau sebutkan. Mengambil alasan dari pendapat beliau dalam kasus ini menunjukkan bahwa cara membaca mereka terhadap pendapat beliau amat tergesa-gesa.

Sikap kedua: Orang yang membuat konsep pendapat tersebut akan kesulitan menyusun pendapat bahwa masyarakat-masyarakat barat yang dimana di sana ada komunitas Islam adalah negeri kafir harbi yang boleh diperangi. Kalaupun ia mengakui itu dalam hatinya, ia juga tidak akan mampu mengusung pendapatnya itu dalam realitas yang ada dimana permusuhan terhadap Islam sedang gencar-gencarnya di timur dan barat, serta menuduh para dai Islam dengan tujuan yang keji dan mungkar.

Bisakah kalangan intelek yang meringan-ringankan perbuatan tersebut untuk bersikap konsekuen menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat barat adalah negeri kafir yang wajib diperangi? Bahwa harta para penduduknya halal bagi kaum muslimin, lalu dengan dasar itu mereka menyatakan bahwa seorang muslim berhak mengambil harta mereka sekehendak hati melalui berbagai transaksi yang rusak, selama itu dengan kerelaan hati mereka dan dilakukan secara sadar. Seorang muslim boleh saja melakukan transaksi riba dengan mereka, selama keuntungannya untuk dia. Namun mereka tidak boleh melakukan transaksi riba dengan orang-orang kafir itu, kalau keuntungannya kembali kepada orang-orang kafir tersebut, sementara mereka mengalami kerugian?

Sikap ketiga: Kenapa kalangan intelektual yang membolehkan riba itu tidak khawatir bahwa kaum muslimin itu secara bertahap dari sekedar menghalalkan harta orang-orang kafir melalui transaksi rusak, sampai akhirnya menghalalkan kehormatan para wanita mereka juga dengan transaksi yang rusak. Karena kecenderungan manusia kepada wanita lebih besar daripada kecenderungan kepada harta?

Sikap keempat: Kalau benar pendapat dibolehkannya bentuk transaksi semacam itu dalam kondisi mendesak dan keterpaksaan, ketika seorang muslim tidak memiliki jalan selain itu karena banyak anak dan karena tidak mampu akan ekonomi, tidak ada kesempatan bekerja dan tidak mungkin memperoleh pinjaman rumah untuk membeli rumah segera, maka pinjaman berbunga itu dibolehkan oleh kondisi darurat tersebut. Harus dibedakan antara pendapat ini dengan pendapat yang membolehkan riba tersebut secara mendasar karena dibolehkannya riba di negeri kafir harbi, sehingga diharapkan perjanjian itu termasuk dalam hal yang secara asal disyariatkan, tidak ada bedanya antara kondisi lapang dan dengan tidak terpaksa dengan kondisi mendesak dan dalam keterpaksaan!

Sikap kelima: Semakin tingginya tingkat kebutuhan untuk memiliki rumah di negera-negara barat, tidaklah menghalalkan yang haram. Namun mengharuskan adanya sikap bahu membahu antar sesama muslim untuk mendirikan yayasan atau lembaga-lembaga yang mampu mengatasi kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam bingkai ajaran Islam, atau paling tidak memberi alasan yang memuaskan kepada pihak bank-bank berbasis riba untuk mengoreksi kembali berbagai transaksi riba yang biasa mereka lakukan agar selaras dengan ketetapan ajaran syariat Islam. Dan hal itu tidaklah mustahil, karena bank-bank itu akan bergantung pada usaha dan berusaha terus untuk mendekatinya. Kalau mereka menyadari bahwa tuntutan itu dimotori oleh berbagai komunitas Islam yang berjumlah banyak sekali, pihak-pihak bank itu tidak akan merasa rugi jika harus merubah bentuk usaha yang dengan itu mereka juga akan bisa mengeruk keuntungan dari dana kaum muslimin tersebut.

Pada pertengahan awal abad ini telah terlihat adanya berbagai upaya untuk melegalisasi bunga-bunga bank dengan sistem pengkajian fiqih yang kacau. Kalau masyarakat Islam sempat menerima legalisasi tersebut, pasti mereka merasa tidak akan mendapatkan alternatif lain di dunia bisnis dan perbankkan ini. Akan tetapi orang-orang penjaga agama tetap berusaha menjaga agama mereka dan menolak berbagai upaya legalisasi riba tersebut. Kebutuhan kaum muslimin akhirnya dapat membuka jalan keluar dari kesulitan. Negara-negara Islam mulai memperkenalkan berbagai perusahaan perbankan yang bekerja dalam bingkai ajaran Islam untuk menggantikan posisi berbagai bank berbasis riba yang telah membius banyak negeri-negeri Islam dengan berbagai konsep manajemen mereka yang haram. Semakin hari semakin terbongkar di hadapan mata dunia kekeliruan slogan klasik dan penuh takhayul yang mengatakan: “Tidak ada perekonomian tanpa bank dan tidak ada bank tanpa riba!!”

Bolehkah Mengganti Rugi Mata Uang yang Terkena Inflasi dalam Berbagai Komitmen Peminjaman?
Kalau keuangan mengalami kasad (inflasi) atau bahkan mengalami inqitha’ (pailit), nilainya tetap diakui menurut pendapat para ulama yang paling benar.

Yang dimaksudkan dengan inflasi mata uang ini adalah tidak lakunya mata uang tersebut di pasaran, yakni peredaran mata uang tersebut dan penggunaannya di seluruh negeri. Yang dimaksudkan pailit di sini adalah hilangnya mata uang tersebut di pasaran atau di tangan pelaku usaha, meskipun ada di beberapa Money Changer.

Orang yang meminjam uang, kemudian mata uang itu hilang alias tidak digunakan lagi dalam berbagai transaksi, atau tidak ada lagi di pasaran, sehingga tidak bisa didapatkan lagi di tangan masyarakat, maka pada saat itu yang harus ditetapkan adalah nilai tukar dari uang tersebut.

Karena menyerahkan uang yang sudah tidak berlaku adalah sikap zhalim terhadap orang yang memberi hutang. Sementara mengharuskan membayar dengan uang yang sudah tidak ada di pasaran juga kezhaliman terhadap orang yang berhutang dan akan menyulitkannya. Syariat Allah tentu saja tidak mengakui kasus pertama atau yang kedua.

Apakah diharuskan menetapkan nilai tukar dari uang ketika ada peminjaman, ketika hilang dari pasaran atau terjadi inflasi? Ada perbedaan pendapat ahli fiqih. Namun kemungkinan yang benar adalah diharuskannya menetapkan harga atau nilai ketika terjadi inflasi atau karena uang tersebut hilang dari pasaran, karena pada saat itulah uang itu dikembalikan kepada nilai tukar atau harganya untuk tetap menjadi harta milik.

Namun kalau uang itu berubah dalam arti berkurang atau bertambah, namun yang sering dibicarakan di sini adalah bila nilai uang itu berkurang. Karena itulah yang sering menjadi bencana dalam perekonomian di zaman sekarang ini dan disebut di kalangan ekonom dengan istilah “inflasi”, bagaimana hukumnya mengganti mata uang itu dengan “nilai tukar” nya dalam kondisi demikian?

Pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama terdahulu dan juga ulama kontemporer adalah bahwa hutang itu harus dikembalikan dengan yang sama. Tidak ada kaitannya dengan kekuatan nilai pasaran uang tersebut bila berkurang misalnya, kecuali bila kekurangan itu terlalu drastis yang sampai menyebabkan tidak mungkin lagi menggunakan mata uang tersebut atau hampir tidak bisa digunakan lagi, maka menurut sebagian ulama harus dibayar dengan nilai yang sama untuk menghindari kerugian salah satu pihak, dan pada sisi lain juga untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya musibah.

Hikmah tidak diwajibkannya orang berhutang untuk menanggung beban inflasi mata uang atau pengurangan nilai mata uang, amatlah jelas sekali.

Karena orang tersebut tidak pernah menyebabkan terjadinya inflasi tersebut secara langsung. Maka bagaimana mungkin kita melimpahkan tanggungjawab kepada orang yang tidak memiliki pengaruh terhadap inflasi itu dan tidak pernah ikut campur menciptakan inflasi tersebut?

Inflasi yang menimpa uang yang berada di tangan orang yang berhutang, bisa juga terjadi bila berada di tangan orang yang memberi hutang.

Kedua belah pihak yang terlibat dalam hutang piutang saat perjanjian peminjaman telah menyepakati jumlah uang tertentu. Kalau situasi dan kondisi berubah, lalu nilai uang itu bertambah atau berkurang, itu adalah faktor keberuntungan atau kesialan, masing-masing pihak bisa saja mengalaminya.

Pemaksaan penanggungan inflasi itu dapat membuka jalan menuju riba dan dapat menutup jalan menghindari keharaman.

Yang berlaku pada perjanjian peminjaman juga terjadi pada semua jenis perjanjian berjangka, seperti pembayaran barang yang tertunda, penyewaan, mahar yang ditangguhkan penyerahannya dan sejenisnya. Kenapa harus perjanjian peminjaman saja yang dikenakan sehingga orang yang berhutang harus menanggung semua belenggu kesulitan tersebut?

Harta itu selalu mengalami pasang surut sepanjang sejarah, namun tak seorang ulamapun yang berpendapat diharuskannya memberikan kompensasi terhadap kekurangan nilai mata uang dalam perjanjian peminjaman atau perjanjian-perjanjian lain secara umum!

Inilah perbedaan antara hilangnya fungsi mata uang sehingga harus diganti dengan nilai tukar uang itu, dengan berkurangnya nilai mata uang yang tidak harus menyebabkan uang itu diganti dengan nilai tukar yang seimbang, kecuali bila inflasi itu terlalu drastis sehingga menyebabkan mata uang itu tidak dapat dimanfaatkan atau hampir kehilangan fungsinya.
Seorang ahli syair menyatakan:
“Ketetapan penggantian nilai mata uang dengan nilainya adalah ketika mata uang itu tidak lagi digunakan, bukan karena bertambah atau berkurang nilainya di pasaran. Kalau mata uang itu meninggi nilainya, sebaiknya tetap dibayar dengan uang yang sama, seperti orang yang memberikan uang dua puluh dinar lalu kembali menjadi sepuluh dinar saja.”

Lembaga Pengkajian Fiqih yang terikut dalam Organisasi Muktamar Islam telah membahas persoalan ini dalam pertemuannya yang kelima tahun 1409 H, bertepatan dengan tahun 1988 M, yang akhirnya menyimpulkan bahwa hutang itu dibayar dengan uang atau barang yang sama. Tidak perlu dilihat terjadinya ketidakstabilan harga yang pasang surut. Berikut ini teks keputusan mereka:
“Yang ditetapkan untuk membayar hutang dengan menggunakan mata uang apapun adalah harus dibayar dengan uang yang sama, bukan dengan nilai tukar uang itu. Karena asal hutang itu dibayar dengan uang yang sama. Maka tidak boleh menetapkan hutang yang harus dibayar –darimanapun sumbernya– untuk dibayar dengan harganya.” Wallahu a’lam.

Namun kalau inflasi itu terjadi secara amat drastis sekali sampai menyebabkan mata uang tersebut tidak berguna lagi atau hampir tidak berguna lagi. Pada saat itu, hutang tersebut harus dikembalikan dengan nilainya. Karena orang yang menghutangkan telah memberikan sesuai yang berguna untuk suatu saat dikembalikan lagi kepadanya dalam bentuk sesuatu yang bermanfaat pula. Kalau kekurangan yang terjadi amat drastis, sehingga bila dikembalikan dengan serupa sudah tidak bermanfaat lagi, harus dikembalikan dengan nilainya sehingga pihak yang memberi hutang tidak dizhalimi dengan menerima sesuatu yang sudah tidak berguna buat dirinya.

Ar-Rahuni setelah menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan Malikiyah berkenaan dengan tidak berlakunya mata uang karena keputusan pemerintah atau karena terjadinya krisis mata uang, beliau menandaskan:
“Dari zhahir ucapan sebagian ulama madzhab dan juga pernyataan tegas dari sebagian ulama lain menunjukkan bahwa perbedaan pendapat itu letaknya pada kondisi dimana tidak diberlakukannya lagi mata uang lama secara total. Tetapi kalau hanya terjadi penambahan atau pengurangan nilai, tidak menjadi masalah. Di antara pendapat yang menyatakan demikian adalah pendapat dari Abu Said bin Lubb.

Saya (Ar-Rahuni) tegaskan: “Hal itu harus dibatasi juga dengan kondisi dimana terjadi pengurangan atau inflasi drastis sekali sehingga pihak yang menerimanya seolah-olah tidak menerima hal yang cukup berarti, karena adanya alasan yang bisa dipertangggungjawabkan.”

Alasan tersebut adalah karena pemilik hutang telah memberikan sesuatu yang berguna untuk kemudian akan diambilnya kembali dengan manfaat yang sama. Maka jangan sampai ia dizhalimi karena ia menerima sesuatu yang tidak berguna baginya.”

Namun apa ukuran inflasi yang dianggap drastis sehingga mata uang itu harus dikembalikan dengan nilainya? Itu dikembalikan kepada kebiasaan. Karena tidak ada batasannya dalam syariat yang tidak dapat diubah-ubah. Sementara menetapkan batasan dengan akal itu dilarang. Maka bila terjadi perbedaan pendapat, harus dikembalikan kepada mahkamah pengadilan.

Bolehkah Dilakukan Kesepakatan Terlebih Dahulu Untuk Memberi Kompensasi Terhadap Inflasi Berat?
Tidak boleh dilakukan kesepakatan semenjak dini untuk memperhatikan nilai mata uang saat pembayaran. Karena kalau itu dilakukan dalam substansi transaksi sementara nilai mata uangnya masih belum diketahui nantinya dan harga pemba-yarannya juga tidak jelas, akan menjadi penipuan dalam transaksi jual beli atau menjadi semacam riba dalam transaksi peminjaman. Itu jelas menimbulkan refleksi batalnya transaksi tersebut.

Bolehkah Memaksa Orang Kaya Yang Mampu Membayar Hutang Untuk Ganti Rugi Kepada Pihak yang Memberi Hutang?

Mathl secara bahasa artinya adalah pemalakan dan meng-undur-undur dalam pembayaran hutang.

Menurut istilah ilmu fiqih artinya adalah menunda-nunda pembayaran hutang yang seharusnya dibayar pada waktu jatuh tempo.

Orang yang berhutang dianggap kaya bila ia mampu memenuhi kebutuhan primernya dan memiliki sisa harta untuk membayar hutangnya secara kontan atau dalam bentuk barang. Seseorang tidak dianggap orang yang kesulitan orang yang mampu membayar hutang meski uangnya tidak cukup untuk membayar hutangnya, tetapi ia masih memiliki harta benda lain yang kalau dijual dapat menutupi hutangnya.

Orang kaya yang enggan membayar hutang terhitung berbuat zhalim dan pantas mendapatkan ancaman siksa, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Orang kaya yang mangkir membayar hutang adalah orang yang zhalim. “

Dalam hadits lain disebutkan:
“Penundaan orang kaya dari hutangnya, menyebabkan ia pantas disebutkan aibnya dan layak diberi sanksi hukuman.”

Para ulama menganggap tindakan menunda-nunda orang kaya dari hutangnya itu sebagai dosa besar sehingga pelakunya disebut fasik. Namun masih ada perbedaan pendapat, apakah ia bisa disebut fasik dan tidak diterima persaksiannya bila melakukan perbuatan itu sekali saja, atau hanya bila melakukan berulang-ulang kali?

Yang dimaksudkan dengan boleh disebutkan aibnya, yakni boleh dicela dan dikecam dengan dikatakan misalnya: “Si Fulan itu tidak mau membayar hutangnya, ia merampas hak orang lain,’ dan sejenisnya, asal tidak berupa fitnah atau kata-kata keji. Karena orang yang dizhalimi hanya boleh menyebutkan kejahatan yang dialamatkan orang yang menzhaliminya kepadanya, tidak boleh menyebutkan kesalahan-kesalahan lainnya. Hal itu bisa dilakukan dengan mengumumkannya di surat-surat kabar atau dengan mencantumkan nama pelakukan dalam daftar hitam, sehingga ia tidak lagi mendapatkan fasilitas kemudahan birokratif di masa-masa mendatang.

Yang dimaksudkan sanksi yang dimaksudkan dalam hadits adalah hukuman penjara. al-Jashshash menyatakan, “Seluruh ulama bersepakat bahwa pihak orang kaya yang mangkir membayar hutang itu tidak harus dihukum dengan pukulan, namun hanya dipenjara, karena para ulama juga bersepakat bahwa segala bentuk hukuman selain itu tidak bisa diberlakukan kepadanya di dunia ini.”

Kemudian beliau juga menandaskan, “Orang yang berbuat zhalim, tidak syak lagi, berhak mendapatkan sanksi, yakni hukum kurungan, karena para ulama bersepakat bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan adanya hukuman baginya selain itu.” Ali dan Syuraih serta Sya’bi pernah menerapkan hukuman kurungan terhadap kasus hutang tersebut.

Akan tetapi pertanyaan yang muncul dalam konteks ini adalah: “Bolehkah sanksi itu diperluas aplikasinya sehingga mencakup berbagai bentuk sanksi lain seperti denda finansial yang diberikan kepada si pemberi hutang karena kerugian yang dideritanya atau karena ia kehilangan kesempatan mendapatkan satu manfaat karena kemangkirannya membayar hutang?

Ada di antara ulama yang membolehkan sanksi tersebut, berdasarkan alasan berikut ini:
Karena kemangkiran orang kaya membayar hutang itu adalah kezhaliman yang harus diberi sanksi, dan tidak ada ijma’ ulama yang melarang memberikan sanksi hukuman berupa denda finansial sebagaimana yang diyakini oleh para ulama yang melarangnya. Persoalan ini adalah masalah yang diperdebatkan di kalangan ulama, ada yang melarang dan ada juga yang membolehkannya. Kemungkinan yang paling benar adalah yang diungkapkan oleh Ibnul Qayyim bahwa hukumnya bisa berbeda-beda tergantung perbedaan kemaslahatan dan itu dikembalikan kepada ijtihad para imam.

Imam Ibnul Qayyim menyatakan, “Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah hukumnya sudah terhapus atau masih tetap berlaku. Yang benar adalah bahwa hukumnya berbeda-beda tergantung kemaslahatan, dan itu dikembalikan kepada ijtihad para imam ijtihad di segala zaman dan tempat. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hukumnya telah dihapus. Hal itu telah dilakukan oleh para Khulafa’ ar-Rasyidin dan para imam sesudah mereka.”

Di antara contoh yang disebutkan dalam Sunnah berkaitan dengan sanksi finansial misalnya: Melipatgandakan denda kepada pencuri buah-buahan yang tidak sampai pada tingkat harus dipotong tangannya, atau melipatgandakan denda bagi orang yang menyembunyikan barang hilang, mengambil sebagian harta orang-orang yang menolak membayar zakat, dan sejenisnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan juga perbedaan pendapat ulama tersebut tentang sanksi finansial dan bantahan terhadap orang yang menyatakan bahwa hukuman tersebut telah dihapus. Beliau menandaskan bahwa hukuman itu sama saja dengan hukuman fisik yang terbagi menjadi hukuman terhadap perusakan, terhadap pengubahan atau terhadap pemindahan kepemilikan. Berkaitan dengan yang terakhir (pemindahan kepemilikan) beliau menambahkan sebagai berikut:
“Adapun pemindahan kepemilikan, maka contohnya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ashabus Sunan lainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa barangsiapa yang mencuri buah-buahan yang masih tergantung di pohonnya sebelum dibawa ke tempat penjemuran, maka ia dikenai hukuman beberapa kali cambukan dan terkena denda dua kali lipat harga buah yang diambil.

Demikian juga keputusan yang diambil oleh Umar bin al-Khaththab dalam kasus penyembunyian barang hilang bahwa si pelaku dikenai denda dua kali lipat harga barang yang disembunyikan. Demikian juga pendapat segolongan ulama seperti Imam Ahmad dan yang lainnya. Umar pernah memutuskan denda dalam kasus seekor unta hilang orang Badui yang diambil oleh para budak yang kelaparan. Beliau memerintahkan tuan budak-budak itu untuk membayar dua kali lipat harga unta tersebut dan tidak memberlakukan hukum potong tangan kepada semua budak itu. Utsman bin Affan juga pernah memberikan keputusan dalam kasus seorang muslim yang dengan sengaja membunuh orang kafir dzimmi bahwa denda yang dikenakan kepadanya dilipatgandakan. Karena pada asalnya denda membunuh orang kafir dzimmi adalah setengah dari denda biasa. Pendapat itu diambil juga oleh Ahmad bin Hambal.”

Penunda-nundaan orang kaya dari hutangnya merupakan salah satu bentuk perampasan yang menyebabkan pihak yang memberi hutang tidak dapat memanfaatkan hartanya yang tertahan akibat kezhaliman orang yang berhutang, baik dalam posisi sebagai konsumen atau pengembang modal, persis seperti yang dialami oleh orang yang terampas uangnya. Orang yang merampas harus bertanggungjawab terhadap uang yang dirampasnya. Demikian juga dengan orang kaya yang mangkir dari hutangnya karena ia telah menghilangkan kesempatan si pemberi hutang untuk memanfaatkan hartanya akibat kemangkirannya.

Sanksi itu adalah balasan dari penunda-nundaan mereka tanpa alasan yang jelas, dan sebagai kompensasi dari manfaat barang pinjaman yang pasti atau berkemungkinan diperoleh orang yang memberi hutang akibat kemangkiran mereka. Sanksi itu tentu saja berbeda dibandingkan dengan bunga riba yang diwajibkan bila terjadi keterlambatan pembayaran hutang yang dilakukan secara suka rela oleh kedua belah pihak tanpa membedakan orang yang berhutang antara yang kaya dengan yang miskin.

Kebanyakan ulama yang membolehkan bentuk sanksi sema-cam itu memberikan persyaratan sebagai berikut:

Tidak boleh ditetapkan semenjak dini dengan kesepakatan antara pihak yang memberi hutang dan yang memberi hutang, untuk membedakannya dari riba jahiliyah.

Hanya dikhususkan kepada mereka yang terbagi sebagai orang kaya. Adapun bila mereka orang yang kesulitan, tidak ada hak bagi mereka untuk memaksakan sanksi tersebut:
‘Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 280).

Namun mereka yang membolehkan kompensasi finansial untuk orang yang memberi hutang, juga masih berbeda pendapat tentang metoda penentuan jumlahnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa kompensasi itu harus ditentukan berdasarkan kemungkinan keuntungan yang hilang dari pihak yang memberi hutang selama orang yang berhutang mangkir untuk membayar hutangnya dalam batas minimal, dan keputusannya diserahkan kepada pengadilan.

Sebagian di antara ulama berpendapat bahwa kompensasi itu ditentukan berdasarkan kerugian yang dialami oleh orang yang memberi hutang selama hutang belum dibayar (setelah jatuh tempo), atau atas dasar kerugian yang diluar kewajaran. Namun semua itu akhirnya juga diputuskan oleh pengadilan. Di antara mereka yang mengambil cara sanksi finansial terhadap orang kaya yang mangkir dari hutangnya adalah Lembaga Penelitian dan Fatwa di Darul Mal al-Islami.

Ada juga ulama yang melarang sanksi tersebut berdasarkan hal-hal berikut:
Karena mirip dengan riba jahiliyah yang diharamkan menurut ayat al-Qur’an. Dan telah dijelaskan sebelumnya bahwa bentuknya adalah orang yang berhutang kepada orang lain, bila telah jatuh tempo pembayarannya, orang yang menghutangi berkata, “Kamu bisa membayarnya sekarang atau ditangguhkan tetapi ditambahkan jumlahnya.” Bunga atau tambahan itu adalah imbalan dari penangguhan. Itu termasuk bentuk riba jahiliyah meskipun namanya berbeda-bedanya. Tak ada bedanya antara keberadaan orang yang berhutang, kaya atau miskin.

Pembolehan denda finansial itu seringkali mengakibatkan dibolehkannya bunga pinjaman. Dimulai dari mengenakan denda bagi peminjam sebagai ganti rugi atas keuntungan pemberi pinjaman yang luput. Kalau dibolehkan denda finansial akibat Penunda-nundaan orang kaya membayar hutangnya, maka boleh juga mengambil denda dari orang kaya yang terlambat membayar hutang. Karena orang yang memberi pinjaman –tanpa b