Hukum Mengamalkan Hisab

Allah Ta’ala berfirman, artinya “…Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa…” (QS. al-Baqarah: 185)

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits ” Berpuasalah kalian kearena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari…” (HR. al-Bukhari dan Muslim, Lihat Shahih al-Bukhari, III/24 dan Shahih Muslim, III/122).

Kedua Nash di atas dan juga yang lainnya menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa titik fokus masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ada pada ru’yah atau penyempurnaan hitungan bulan Sya’ban atau Ramadhan menjadi tiga puluh hari. Keduanya merupakan tanda yang jelas yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Pada keduanya tidak terkandung kesulitan, kepayahan dan kesusahan. Demikian itulah yang berlaku pada semua taklif (beban) syari’at, dimana Allah menghilangkan kesulitan darinya. Maha benar Allah Yang Maha Agung.

Allah Ta’ala berfirman, “…Dan sekali-kali Dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. al-Hajj: 78)

Orang-orang yang memfokuskan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan dengan hisab, pasti akan memberikan kesulitan dan keberatan kepada orang banyak. Hisab cenderung mempunyai tingkat kesalahan yang lebih besar. Yang demikian merupakan suatu hal yang tersembunyi, yang tidak diketahui oleh setiap orang. Tidaklah mungkin Allah Ta’ala memberatkan para hamba-Nya. Maha Tinggi Allah dari hal tersebut.

Para ulama telah menarik kesimpulan dari as-Sunnah, ijma’ maupun logika dalam hal tersebut.
1. Hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian tidak berpuasa sehingga kalian melihatnya. Dan jika awan menyelimuti kalian, maka perkirakanlah untuknya.” (HR. al-Bukhari, III/24 dan Muslim, III/122)

2. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ” Sesungguhnya kami ini ummat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak pernah menghisab ( tidak mengetahui ilmu perbintangan), jumlah hari-hari dalam sebulan adalah begini dan begini (sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya).” Yakni terkadang 29 dan terkadang 30 hari. (HR. al-Bukhari, III/25 dan Muslim, III/124)

Sedangkan dalil dari Ijma’ adalah sebagai berikut:
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, …Kita telah mengetahui dari ajaran Islam bahwa mengamalkan ru’yah al-Hilal puasa, haji, iddah, atau hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan hilal berdasarkan berita dari orang yang melakukan hisab dengan pernyataan bahwa dia telah melihat atau tidak melihat adalah tidak boleh. Cukup banyak nash dari Nabi mengenai hal tersebut. Kaum Muslimin telah sepakat mengenai hal tersebut dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu, dari sejak dulu kala…” (Majmu’ al-Fatawa,Ibnu Taimiyah, XXV/132)

Adapun dalil logika, Ketahuilah bahwa para muhaqqiq (peneliti) dari orang-orang yang melakukan hisab secara keseluruhan telah sepakat bahwa tidak mungkin melihat hilal itu dengan hisab secara tepat, dimana di dalamnya diputuskan bahwa dia melihat dengan pasti atau tidak melihat sama sekali secara umum. Bisa saja terkadang terjadi kesepakatan mengenai hal itu atau tidak, yang terjadi secara bertepatan pada beberapa tahun. (Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, XXV/183)