Tanya :

Apabila seseorang tidak mampu menyem-purnakan salah satu manasik haji, apa yang harus ia lakukan?

Jawab :

Apabila seorang jama’ah tidak mampu menyem-purnakan salah satu amalan manasik, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: Pertama, ketidakmampuannya karena terhalang oleh musuh hingga tidak dapat tiba di Baitullah, sebagaimana terjadi pada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dalam tahun (peristiwa) Hudaibiyah. Dalam keadaan seperti itu ia mencukur rambut sesudah menyembelih hady (korban) dan bertahallul dari ihramnya. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman,
“Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum sebelum korban sampai di tempat penyembelihan-nya.” (Al-Baqarah: 196).

Dan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pun telah memerintah para shahabatnya pada peristiwa Hudaibiyah agar mencukur kepala mereka, setelah sebe-lumnya mereka menunda pencukuran tersebut karena mereka berharap adanya penghapusan hukum (perintah mencukur) atau karena ada sebab lain yang membuat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tak kuasa akan hal tersebut, hingga salah satu istri beliau memberi isyarat supaya Rasulullah sendiri datang kepada para shahabatnya lalu mencukur rambut. Isyarat itu pun dilakukan beliau dan para shahabat pun silih berganti mencukur rambut mereka dan bertahallul dari ihramnya. Nah, dalam keadaan seperti ini seseorang tidak harus mengganti (mengqadha) haji atau umrahnya yang terkepung itu, kecuali jika belum menunaikan faridhah (kewajiban haji atau umrah) sebelumnya, maka ia wajib menunaikan ibadah tersebut dengan landasan perintah pertama, bukan karena dalam rangka meng-ganti perjalanan haji atau umrahnya yang terkepung tersebut kalau memang terkepung oleh musuh. Adapun apabila tidak terlaksananya haji (tertahannya di perjalanan) bukan karena kepungan musuh, melainkan karena kehabisan perbekalan atau sakit yang tak kunjung sembuh, maka dalam keadaan seperti itu ia menanggalkan diri dari ihramnya setelah terlebih dahulu menyembelih hewan korban (hady) dan mencukur rambutnya. Hal itu dilakukan boleh jadi karena dikiaskan kepada “terkepung oleh musuh” atau karena dimasukkan ke dalam luasnya cakupan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat”. (Al-Baqarah: 196), sebab makna ihshar (terkepung, terham-bat) di dalam ayat tersebut bersifat umum, adapun terkepung yang terjadi di masa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam itu adalah terkepung (terhambat) oleh musuh itu tidak berarti bahwa ayat tersebut tidak mencakup makna terhambat yang lebih umum.

Yang jelas, apabila terhambat (terkepung) bukan karena musuh, seperti karena sakit, kehabisan perbekalan perjalanan haji atau lainnya, maka menurut pendapat yang kuat adalah boleh bertahallul sesudah terlebih dahulu menyembelih hewan korban serta mencukur rambut dan tidak harus mengqadha (mengganti) haji atau umrah yang dibatalkan karena terhambat tadi, kecuali kalau ibadah haji atau umrah yang terhambat tersebut adalah haji atau umrah wajib, seperti kalau orang itu belum pernah melakukan ibadah haji wajib. Maka dalam kondisi seperti itu ia wajib melakukan kewajiban haji berdasarkan perintah wajib haji pertama bukan karena untuk mengqadha (menggati haji yang terham-bat). Semua yang diterangkan tadi berlaku apabila di saat berihram ia tidak bersyarat dengan mengatakan: ”Jika nanti (di perjalananku) aku tertahan oleh sesuatu, maka tempat tahallulku adalah di mana aku tertahan itu”. Jika orang itu bersyarat seperti itu pada awal ia berihram, maka ia boleh melepas dari ihramnya (di waktu tertahan) secara gratis dan ia tidak mempunyai kewajiban apa pun, karena Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda kepada seorang wanita yang bernama Dhiba’ah binti Zubair yang sudah bermaksud akan menunaikan ibadah haji sedangkan ia sakit:

حُجِّي وَاشْتَرَطِي أَنَّ مَحَلِّي حَيْثُ حَبَسَتْنِيْ.

“Berhajilah anda dan bersyaratlah: bahwa tempat tahallulku adalah di mana aku tertahan”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 5089) dalam kitab An-Nikah, Muslim (no. 104-106) dalam kitab Al-Hajj.).

( Fatwa-Fatwa Haji oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin )