Dermawan, memberi siapa yang memerlukan, membantu siapa yang membutuhkan dan menolong siapa yang dalam kesulitan merupakan sikap terpuji, tabiat mulia dan akhlak luhur, terpatri dalam jiwa dan tertanam dalam hati sekali pun orangnya tidak mengenyam pendidikan tinggi atau menikmati pengajaran moral kelas atas.

Dalam kitab al-Kamil fil Adab I/81 al-Ashma’i menyatakan bahwa di daerah pedalaman terjadi peperangan, kemudian merembet ke Bashrah dan memuncak di sana. Kemudian orang-orang diajak untuk berdamai dan mereka berkumpul di masjid.

Al-Ashma’i berkata, aku yang masih bocah diutus kepada Dhirar bin Qa’qa’ dari Bani Darim. Aku meminta izin untuk bertemu dengannya, dia mengizinkan. Aku bertemu dengannya, ternyata dia hanya berselimut kain sedang mengaduk biji-bijian untuk domba susu miliknya, maka aku menyampaikan pesan kepadanya. Dia menunggu sebentar sehingga dombanya makan, kemudian dia mencuci nampannya dan memanggil, “Wahai pelayan mana makanannya?” Pelayannya datang dengan kurma dan minyak.

Al-Ashma’i berkata, dia mengajakku makan tetapi tetapi aku merasa jijik makan dengannya. Selesai makan dia mencuci tangannya di kubangan keruh di rumahnya, kemudian dia memanggil, “Pelayan mana minumnya?” Pelayannya datang dengan air. Dia minum dan sisanya dia gunakan untuk membasuh wajahnya.

Kemudian dia memanggil “Mana bajuku wahai pelayan?” Pelayan datang dengan bajunya dan memakainya di atas kain yang diselimutkannya.

Al-Ashma’i berkata, maka aku menjauhinya karena bajunya yang buruk. Dia masuk masjid, shalat dua rakaat, kemudian berjalan kepada kaum yang berselisih. Tidak ada seorang pun kecuali menghormatinya. Sampai orang-orang duduk ihtiba’ membuka ihtiba’-nya demi menghormatinya, kemudian dia duduk dan menanggung seluruh kerugian di antara orang-orang yang berperang. Setelah itu dia pulang.”

Dalam kitab al-Iqd al-Farid al-Ashma’i berkata, seorang wanita dari Hawazin berdiri di pintu Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq.

Dia berkata, “Aku datang dari negeri jauh, kesulitan hidup menimpaku, kesengsaraan menerpaku, dagingku menyusut, tulangku melemah dan kebingungan menaungiku. Negeriku menjadi sempit bagiku setelah anak dan keluarga pergi mendahului. Tidak ada kerabat yang menjagaku, tidak ada keluarga yang melindungiku. Lalu aku bertanya kepada kabilah-kabilah Arab, siapa orang yang bisa diharapkan bantuannya, yang dipercaya rahasianya, yang banyak dermanya dan yang memberi dengan lebih, maka aku ditunjukkan kepadamu. Aku wanita dari Hawazin, aku kehilangan anak dan orang tua. Lakukanlah untukku satu dari tiga hal: Bantulah aku dengan baik atau tunaikan kewajibanku atau pulangkan aku ke negeriku.”

Abdurrahman menjawab, “Semuanya aku lakukan untukmu.”
(Izzudin Karimi)