Larangan-Larangan Ihram

Yang dimaksud dengan larangan-larangan ihram yaitu hal-hal yang dilarang melakukan-nya disebabkan karena berada dalam keadaan ihram, dengan bahasa lain yaitu hal-hal yang di-haramkan karena ihram.
Dalam penjelasannya tentang larangan-larangan ihram, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullaah berkata: “Di antara larangan-larangan ihram adalah:

  • Mengadakan hubungan intim (jima’) antara suami dan isteri, ini adalah larangan ihram yang paling besar dosanya, dan paling berpengaruh (pada ibadah haji atau umrah yang sedang dilaksanakannya,-Pent). Dalil-nya firman Allah Subhannahu wa Ta’ala :
    “…Barangsiapa yang telah menetapkan niatnya akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan ber-bantah-bantahan didalam masa menger-jakan haji… (QS. Al-Baqarah: 197).

    Yang dimaksud rafats ialah melaksanakan jima’ dan hal-hal yang mengarah kepada jima’.
    Dan jika terjadi jima’ sebelum tahallul yang pertama (sebelum melempar Jumratul ‘Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah,-Pent), maka perbuatan tersebut mengakibatkan lima hal:

    • Dosa.
    • Ibadah hajinya rusak.
    • Harus menyelesaikan/menyempurnakan ibadah hajinya hingga selesai.
    • Wajib baginya membayar fidyah be-rupa seekor unta yang disembelih dan dibagi-bagikan dagingnya kepada para fuqara’.
    • Wajib mengqadha’ hajinya ditahun berikutnya.

    Syaikh Rahimahullaah berkata: “Ini merupakan pengaruh-pengaruhnya yang besar, cukuplah bagi seorang mukmin untuk merasa takut dan menjauhinya.

  • Bercumbu rayu, mencium dan meman-dang dengan penuh syahwat serta segala sesuatu yang merupakan penyebab terjadinya hubungan intim, sebab perbuatan-perbuatan itu dapat menjerumuskan ke-pada jima’.
  • Mencukur rambut kepala berdasarkan pada firman Allah Subhannahu wa Ta’ala :
    “…Dan janganlah kamu mencukur ke-palamu sebelum binatang hadyu (kurban) sampai ditempat penyembelihannya… (QS. Al-Baqarah: 196)
    Selanjutnya para ulama mengkiaskan mencukur rambut dengan mencukur ram-but anggota tubuh lainnya, termasuk me-motong kuku.
  • Akad nikah, berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :

    لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ

    “Seseorang yang sedang dalam keadaan ihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahkan dan tidak boleh memi-nang.”

  • Meminang seorang wanita, berdasarkan hadits diatas.
  • Membunuh binatang buruan, berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala :
    “Hai orang-orang yang beriman jangan-lah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram…” (QS. Al-Maa-idah: 95)
  • Memakai wangi-wangian, baik dibadan, pakaian atau pada makanan dan minuman, berdasarkan hadits Rasulullah perihal se-orang yang meninggal karena terjatuh dan diinjak oleh untanya ketika sedang wukuf di ‘Arafah “لاَ تُحَنِّطُوْهُ” (“janganlah kamu kenakan wangi-wangian padanya”).

    Adapun bekas wangi-wangian yang dipakai sebelum berihram, maka tidak-lah mengapa dan tidak wajib baginya untuk menghilangkannya setelah berihram, hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiallaahu anha :

    كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ  لإِحْرَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ

    “Aku pernah memakaikan minyak wangi kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam untuk ihramnya sebelum beliau berihram.”
    Beliau juga mengatakan:

    كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصِ الطِّيْبِ فِيْ مَفَارِقِ رَسُوْلِ اللَّهِ  وَهُوَ مُحْرِمٌ

    “Sepertinya aku melihat kilauan minyak wangi Rasulullah dibelahan rambut-nya, sedang beliau dalam keadaan ber-ihram.”

  • Memakai pakaian berjahit yang membentuk tubuh, seperti kemeja (gamis), celana, jubah yang dijahit sambung dengan penutup kepala, sorban dan khuf, berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ketika ditanya tentang pakaian seorang yang berihram, beliau menjawab:

    لاَ يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ الْبُرْنُسَ وَلاَ السَّرَاوِيْلَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلاَ زَعْفَرَانٌ وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ نَعْلَينِ فَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُوْنَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ

    “Seorang yang berihram tidak boleh memakai baju, sorban, jubah yang disambung dengan penutup kepala, dan tidak pula pakaian yang dicelup dengan wars dan za’faran, tidak pula khuf, kecuali jika tidak mendapat sandal, dan hendaklah ia memotong-nya hingga kelihatan kedua mata kaki nya.”

  • Menutup kepala dengan sesuatu yang me-nempel padanya secara langsung, seperti peci, topi dan sorban.
  • Khusus untuk wanita dilarang memakai niqab (sejenis penutup wajah), karena Nabi  telah melarang seorang wanita memakai niqab ketika sedang ihram.
  • Dan memakai kaos tangan, dua hal ter-akhir (No. 10 dan 11) berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar h, Nabi  bersabda:

    لاَ تَنْتَقِبِِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقَفَّازَيْنِ

    “Janganlah seorang wanita yang ber-ihram mengenakan niqab (sejenis pe-nutup wajah,-Pent) dan jangan pula kaos tangan.”

  • Mendekati perbuatan maksiat.
  • Permusuhan dan berbantah-bantahan dalam kebathilan. Kedua point terakhir ini ber-dasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 197 yang telah termaktub pada point pertama diatas.
  • Makan sebagian dari daging binatang buruan yang ia ikut andil dalam perburuan-nya, seperti dengan memberi isyarat ke-pada para pemburu ke arah binatang ter-sebut.
    Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , ketika beliau ditanya oleh para Sahabat yang sedang berihram perihal seekor keledai betina yang ditangkap dan disembelih oleh Abu Qatadah yang tidak ikut berihram, maka beliau menjawab:

    أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمْرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا, قَالُوْ: لاَ، قَالَ: فَكُلُوْا!

    “Adakah salah seorang di antara kamu yang menyuruhnya untuk menyerang (memburunya) atau memberi isyarat ke tempat binatang itu? Mereka berkata: ‘Tidak’. Beliaupun bersabda: ‘Maka, makanlah!'”

    Dari kasus ini, dapat difahami bahwa seorang yang sedang ihram yang mempunyai andil dalam membantu si pemburu, tidak dibolehkan baginya memakan daging binantang buruan tersebut. Walaahu Ta’ala a’lam.