Peristiwa yang untuk kedua kalinya kembali terulang dalam jarak waktu yang tidak berapa lama. Kemarin, ratusan etnis Qibthi Mesir, penganut Kristen Ortodoks berdemo di salah satu gereja di kota Alfayyum, 90 km sebelah barat daya Cairo. Mereka berdemo untuk mempermasalahkan masuk Islamnya dua orang wanita muda dari warga mereka sehubungan dengan sikap aparat keamanan yang melindungi mereka.

Berdasarkan laporan yang disampaikan saluran televisi “AL-JAZEERA”, Qatar, para pendemo tersebut menuntut aparat keamanan Mesir agar menyerahkan kedua wanita muda yang sekarang sedang berkuliah di tingkat terakhir fakultas kedokteran dan baru beberapa lama mengumumkan keislamannya itu kepada pihak gereja, untuk selanjutnya akan disidangkan dalam apa yang mereka sebut sebagai “Sidang nasehat dan penyuluhan.”

Sementara tu, aparat setempat menolak permintaan tersebut dan mensyaratkan -bila memang akan diadakan sidang seperti itu- agar sepengetahuan pihak aparat, jauh dari campur tangan gereja.

Seperti biasanya, para pendemo tersebut mengklaim bahwa kedua mahasiswi tersebut memeluk Islam karena mendapatkan tekanan namun aparat kembali menegaskan bahwa hal itu tidak benar. Mereka berdua masuk Islam benar-benar atas keinginan dan kepuasan hati mereka sendiri.

Saat laporan ini diturunkan, perundingan sedang berlangsung antara pemerintah dan perwakilan para pendemo di kantor pusat Partai Nasional, partai berkuasa saat ini, di kawasan Alfayyum untuk menentukan lokasi netral di mana kedua mahasiswi tersebut dapat diinterogasi lebih lanjut mengenai kondisi psikologis mereka yang sebenarnya soal kenapa mereka memeluk Islam. Saat pihak pendemo tetap ngotot untuk melangsungkan hal itu di gereja Marjesjes di Alfayyum juga, maka pemerintah malah berkeinginan melangsungkannya di kantor direktorat keamanan Alfayyum.

Seperti diketahui, beberapa minggu lalu peristiwa serupa juga terjadi di mana ada seorang warga etnis Qibthi bernama Wafa’ Konstantine, isteri seorang pendeta, masuk Islam di kabupaten Buhaera, sebelah barat laut kota Cairo.

Ketika itu, ratusan etnis Qibthi melakukan demonstrasi di Cairo yang buntutnya, wanita yang sudah muslimah tersebut akhirnya diserahkan ke pihak gereja. Tindakan ini mengundang kemarahan dan penolakan meluas dari kalangan Islam yang menganggapnya telah menyalahi hukum syari’at Islam yang mengharamkan diserahkannya orang yang sudah mengumumkan keislamannya dengan secara sepihak seperti itu. Sebelumnya, kardinal Iskandaria, Paus Syanudah menyatakan dukungannya kepada para pendemo. Sikap memihak ini hampir saja menimbulkan kerusuhan antar etnis di negeri tersebut setelah sebagian tokoh mengungkapkan rasa kekhawatiran mereka akan terjadinya penyiksaan fisik terhadap wanita yang sudah masuk Islam tersebut di tempat pengasingannya, di salah satu biara yang punya citra jelek di Buhaera.

Dr. Muhammad Salim al-‘Awa, sekjen Persatuan Ulama Islam Internasional menegaskan bahwa secara syari’at tidak boleh hukumnya menyerahkan seorang Muslim kepada keluarganya sebelumnya yang beragama lain, baik itu Qibhti atau pun selain mereka. Pernyataan ini dikeluarkan sebagai tanggapan atas sikap aparat Mesir yang menyerahkan nyonya Wafa’ Konstantine tersebut ke pihak gereja ortodoks setelah ia mengumumkan keislamannya.

Dalam pada itu, Syaikh Yusuf al-Badry, seorang Da’i terkenal di Mesir, yang juga anggota Majlis tertinggi urusan keislaman mengajukan gugatan secara hukum terhadap keputusan diserahkannya nyonya Wafa’ kepada pimpinan gereja ortodoks Mesir setelah ia masuk Islam. Di dalam gugatan yang diajukannya di hadapan majlis negara itu, al-Badry menyebut keputusan tersebut sebagai penyimpangan besar terhadap prinsip dasar negara dan undang-undangnya yang bahkan sampai kepada taraf pelanggaran terhadap kebebasan seorang wanita Mesir dan haknya untuk merubah agamanya sesuai dengan keingian hatinya. Beliau juga mengatakan bahwa keputusan tersebut jelas merusak wibawa negara dan merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap pilar-pilar stabilitas dan keamanannya. (istod/AH)