Beriman Kepada Para Rasul

I.Definisi Nabi Dan Rasul

Menurut bahasa, nabi berasal dari kata “ نَبَّأَ وَأَنْبَأَ ” yang berarti
“ أَخْبَرَ ” (mengabarkan). Jadi nabi adalah yang memberitakan dari
Allah dan ia diberi kabar dari sisiNya. Atau juga berasal dari kata
“ نَبَا ” yang berarti “ عَلاَ وَارْتَفَعَ ” (tinggi dan naik). Maka nabi adalah makhluk yang termulia dan tertinggi derajat atau kedudukannya.

Sedangkan menurut istilah, nabi ialah seorang laki-laki yang di-beri kabar (wahyu) oleh Allah berupa syari’at yang dahulu (sebelum-nya), ia mengajarkan kepada orang-orang di sekitarnya dari umatnya (penganut syariat ini).

Adapun rasul secara bahasa ialah orang yang mengikuti berita-berita orang yang mengutusnya; diambil dari ungkapan جَاءَتْ اْلإِبِلُ رَسَلاً (unta itu datang secara beriringan). Rasul adalah nama bagi risalah atau bagi yang diutus. Sedangkan irsal adalah pengarahan.

Menurut istilah, rasul ialah seorang laki-laki merdeka yang diberi wahyu oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala dengan membawa syariat dan ia diperintahkan untuk menyampaikannya kepada umatnya, baik orang yang tidak ia kenal maupun yang memusuhinya.

Perbedaan Antara Nabi dan Rasul

a. Kenabian (nubuwah) adalah syarat kerasulan (risalah). Maka tidak bisa menjadi rasul orang yang bukan nabi. Kenabian lebih umum dari kerasulan. Setiap rasul pasti nabi, tetapi tidak setiap nabi adalah rasul.

b. Rasul membawa risalah kepada orang (kamu) yang tidak mengerti tentang agama dan syariat Allah ; atau kepada kaum yang telah mengubah syariat dan agama, untuk mengajari mereka atau mengem-balikan mereka ke dalam syariat Allah. Dia adalah hakim bagi me-reka. Sedangkan nabi diutus dengan dakwah kepada syariat nabi/rasul sebelumnya.

II. NUBUWAH ADALAH ANUGERAH ILAHI

Kenabian bukanlah suatu tujuan yang dapat diraih dengan cara-cara tertentu, sehingga bisa dicapai oleh orang yang bersungguh-sung-guh, juga bukanlah pangkat yang dapat ditempuh melalui perjuangan. Akan tetapi ia adalah kedudukan yang tinggi dan pangkat istimewa yang diberikan Allah Subhannahu wa Ta’ala karena karunianya kepada siapa saja dari makhlukNya yang Dia kehendaki. Maka Dia mempersiapkannya agar mampu memikulnya. Dia menjaganya dari pengaruh setan dan meme-liharanya dari kemusyrikan karena rahmat dan kasih sayangNya semata, tanpa ada upaya yang ia kerahkan untuk mendapatkan dan untuk mencapai derajat kenabian itu. Bahkan ia hanyalah karunia Allah Subhannahu wa Ta’ala dan nikmat Ilahi semata, sebagaimana firman Allah:
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih.” (Maryam: 58).

Allah berkata kepada Musa Alaihissalam :
“Allah berfirman, ‘Hai Musa, sesungguhnya aku memilih (mele-bihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara langsung denganKu, sebab itu ber-pegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hen-daklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Al-A’raf: 144).
Allah menceritakan ucapan Ya’kub kepada anaknya, Yusuf Alaihissalam , dengan firmanNya:
“Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi nabi) …” (Yusuf: 6).

Sebagaimana halnya Allah mengingkari orang yang memandang bahwa salah satu dari dua orang besar di Makkah dan Tha’if, yaitu Al-Walid Ibnul Mughirah dan Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi, lebih berhak (pantas) untuk menjadi nabi. Hal itu terjadi ketika Allah mewahyukan kepada nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dan menjelaskan bahwa Dia adalah Rabb, Penguasa yang berhak melakukan apa saja serta yang mengurusi pembagian rizki bagi semua makhlukNya.
Jadi sangatlah tidak benar manakala ada seseorang yang ikut campur tangan dalam menentukan siapa yang berhak menerima rahmat kenabian dan kerasulan. Maka Allah bercerita tentang mereka:
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Tha’if) ini?’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhan-mu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia,…” (Az-Zukhruf: 31-32).

Allah telah mengancam orang-orang yang melampaui batas yang mengatakan: “Tidaklah kami beriman sebelum diberi seperti apa yang telah diberikan kepada rasul-rasul Allah”, dengan firmanNya:

“Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata, ‘Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada rasul-rasul
Allah’. Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.” (Al-An’am: 124).

Dalam ayat-ayat terdahulu terdapat petunjuk yang jelas bahwa kenabian itu tidak bisa diperoleh karena kebangsawanan atau karena jerih payahnya, akan tetapi ia adalah nikmat dari Allah serta rahmat yang dianugerahkan kepada sebagian makhlukNya berdasarkan ilmu dan hikmahNya dan tidak diberikan kepada orang yang mencari atau yang mengharapkannya.

III. Sifat-Sifat Dan Mu’jizat Rasul

Pertama: Sifat-sifat Para Rasul
Dari definisi terdahulu kita mengetahui bahwa rasul adalah seorang manusia. Laki-laki dan merdeka yang Allah memilihnya dari nasab pilihan. Dia menjadikannya orang yang paling sempurna akalnya, pa-ling suci jiwanya dan paling utama penciptaannya, supaya menunaikan pekerjaan-pekerjaan besar di antaranya menerima wahyu, menta’ati-nya, menyampaikannya serta memimpin umat.

Maka para rasul Shalallaahu alaihi wasalam adalah panutan dalam hal sifat dan akhlak mereka. Dan pembicaraan tentang sifat-sifat mereka panjang sekali, tetapi diantaranya yang terpenting adalah:

a. Shidq (jujur dan benar)
Allah Subhannahu wa Ta’ala memberitahukan tentang para rasulNya:
“Mereka berkata, ‘Aduhai celakalah kami! Siapakah yang mem-bangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?’ Inilah yang dijan-jikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah rasul-rasulNya.” (Yasin: 52).

Sebagaimana Dia telah menyifati sebagian mereka dengan sifat itu; tentang Nabi Ibrahim Alaihissalam . Dia berfirman:
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi.” (Maryam: 41).

Tentang Ismail Alaihissalam . Allah berfirman:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (Maryam: 54).

Tentang Idris Alaihissalam . Dia berfirman:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah se-orang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (Maryam: 56).

Tentang nabi kita Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam, Dia berfirman:
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membe-narkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zumar: 33).

Tidaklah diragukan bahwa sifat shidq adalah inti risalah dakwah; dengannya akan luruslah segala urusan dan berbuahlah amal perbuatan. Sedangkan kadzib (bohong, dusta) adalah sifat kekurangan yang musta-hil bagi manusia pilihan dan merupakan maksiat yang justru mereka peringatkan.

b. Sabar
Allah Subhannahu wa Ta’ala mengutus para rasulNya kepada manusia sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, mengajak mereka untuk taat kepada Allah serta memperingatkan agar tidak mendurhakaiNya. Ini adalah tugas berat dan sulit, tidak semua orang mampu memikulnya, akan tetapi orang-orang pilihanlah yang pantas dan mampu untuk itu. Karenanya para rasul Allah Subhannahu wa Ta’ala menemui bermacam-macam kesulitan dan beranekaragam gangguan, tetapi mereka tidak patah semangat karenanya, juga hal itu tidak membuat mereka melangkah surut ke belakang.

Allah telah mengisahkan kepada kita sebagian dari nabi-nabiNya, sekaligus berbagai rintangan yang menghadangnya di jalan dakwah, juga sikap sabar mereka untuk memenangkan yang hak dan meninggikan kalimat Allah. Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam untuk bersabar, sebagai bentuk peneladanan kepada para Ulul Azmi. Allah berfirman:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka, mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (Al-Ahqaf: 35).

Tentu kita mendapat pelajaran dengan apa yang dikisahkan Allah tentang Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa Alaihissalam , dengan umatnya yang menentang dan mengganggu, namun demikian mereka tetap bersabar, teguh dan tegar sampai Allah menurunkan putusanNya.

Demikian pula dengan perjalanan hidup penutup para nabi yakni Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam, di dalamnya terdapat teladan agung dalam hal kesa-baran dan ketabahan. Kaumnya telah mendustakan, menghina, meng-ganggu dan mengisolirnya, tetapi beliau bersabar menghadapinya sampai Allah memenangkan agamaNya. Mengenai rincian kisah-kisah tersebut sangatlah panjang, tidak cukup dalam buku yang hanya bebe-rapa halaman dan di dalam Al-Qur’an hal itu juga telah dikisahkan.

Kedua: Mu’jizat Para Rasul Shalallaahu alaihi wasalam

Allah menciptakan manusia dan membekalinya dengan akal. Akal inilah yang menjadi syarat taklif. Karena akal ini manusia akan dihisab amalnya, dengan akal ini ia bisa membedakan barang-barang dan me-misahkan antara yang berguna dengan yang berbahaya. Jika datang seseorang yang mengatakan, ia adalah seorang rasul (utusan) Allah, guna memberi hidayah kepada manusia serta memimpin mereka menuju ke-damaian dan kebahagiaan dunia dan akhirat, maka hal ini berarti menyangkut keselamatan bagi manusia atau justeru kehancurannya. Karena itu setiap orang wajib melihat kondisi da’i, dan dakwahnya.

Allah telah mengistimewakan para rasul dari segenap makhluk bia-sa. Allah menjaganya dari tipu muslihat setan. Setan tidak bisa mengubah fitrah mereka. Maka mereka berbeda dengan kaum dan umatnya, karena sirah (perjalanan) hidup mereka yang harum dan fitrah mereka yang bersih.

Apabila hal itu digabungkan dengan ajaran mereka, maka akan menjadi bukti kuat tentang kebenaran mereka bagi orang-orang yang Allah telah menyinari mata hatinya. Allah telah mendukung mereka -sebagai tambahan atas hal tersebut- dengan sesuatu yang memaksa akal untuk mempercayainya. Maka para rasul itu datang dengan membawa mu’jizat-mu’jizatnya yang hebat; tidak mampu mendatangkannya kecuali Allah Subhannahu wa Ta’ala , karena seluruh makhluk adalah milikNya, Dialah yang mentaqdirkan sesuatu menurut takaranNya, Dia menjadikan setiap makhluk berjalan sesuai dengan aturan-aturan tertentu yang tidak seorang pun dapat mengubahnya. Jika Allah Subhannahu wa Ta’ala hendak mendukung seorang hamba sebagai bukti atas kenabiannya, maka Allah menganuge-rahkan padanya sesuatu yang tidak mungkin bisa melakukannya secara sempurna kecuali Allah Subhannahu wa Ta’ala , baik berupa ilmu, kekuatan atau kecukupan. Allah Subhannahu wa Ta’ala , Dialah yang mengetahui segalanya, berkuasa atas segalanya dan Dia Mahakaya, tidak membutuhkan kepada alam semesta.

Allah Subhannahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam agar berlepas diri dari mendakwahkan tiga hal:
“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbenda-haraan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku se-orang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al-An’am: 50).

Apabila terjadi melalui tangan seorang rasul sesuatu dari hal tersebut di atas maka ia adalah semata-mata perbuatan Allah, karena ia di luar kemampuan manusia. Maka ia adalah bukti nyata, manakala digabungkan dengan ihwal rasul tersebut dengan rasul-rasul sebelum-nya berikut dakwahnya. Maka wajib atas umatnya mengimani serta mengikutinya. Jika tidak maka wajiblah adzab Allah atas mereka. Tanda-tanda dan bukti-bukti kebenaran mereka sudah jelas; ada bukti yang utama dan ada yang menjadi penguat bagi bukti utama atas kebenarannya, serta memperkokoh keimanan orang-orang mukmin terhadapnya.

Mu’jizat rasul didefinisikan sebagai segala sesuatu yang luar biasa yang terjadi melalui tangan-tangan para nabi Allah dan rasulNya dalam bentuk sesuatu yang membuat manusia tidak bisa mendatangkan semisal-nya.

Melalui tangan para nabi dan rasul telah terjadi mu’jizat-mu’jizat yang memaksa akal sehat untuk tunduk dan mempercayai apa yang di-bawa oleh para rasul, baik itu karena diminta oleh kaumnya maupun tidak. Mu’jizat-mu’jizat tersebut tidak lepas dari bentuk:

a. Ilmu, seperti pemberitahuan tentang hal-hal ghaib yang sudah terjadi ataupun yang akan terjadi; umpamanya pengabaran Nabi Isa Alaihissalam kepada kaumnya tentang apa yang mereka makan dan apa yang mereka simpan di rumah-rumah mereka. Sebagaimana juga penga-baran Nabi Muhammad  tentang fitnah-fitnah atau tanda-tanda hari Kiamat yang bakal terjadi, sebagaimana yang banyak dijelaskan dalam hadits-hadits.

b. Kemampuan dan kekuatan, seperti mengubah tongkat menjadi ular besar, yakni mu’jizat Nabi Musa Alaihissalam yang diutus kepada Fir’aun dan kaumnya. Kemudian penyembuhan penyakit buta, kulit belang-belang putih (sopak) serta menghidupkan orang-orang yang sudah mati, yang kesemuanya adalah mu’jizat Nabi Isa Alaihissalam. Juga terbelahnya rembulan menjadi dua yang merupakan salah satu tanda kebenaran Rasul kita Shalallaahu alaihi wasalam .

c. Kecukupan, misalnya perlindungan bagi Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dari orang-orang yang menginginkan kejahatan kepadanya. Hal ini sering terjadi, ketika di Makkah sewaktu malam hijrah, ketika di dalam gua, lalu dalam perjalanan ke Madinah ketika bertemu dengan Suraqah bin Malik, lalu di Madinah ketika orang-orang Yahudi ingin men-culiknya dll. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa Allah mencukupi RasulNya dengan perlindungan, sehingga tidak membutuhkan lagi kepada perlindungan makhluk lain.

IV. Beriman Kepada Segenap Rasul

Beriman kepada segenap rasul artinya membenarkan dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Subhannahu wa Ta’ala mengutus seorang rasul pada setiap umat untuk mengajak mereka beribadah kepada Allah semata, tanpa menyekutukanNya dan untuk kufur kepada sesembahan selainNya. Serta kepercayaan bahwa semua rasul adalah benar, mulia, luhur, mendapat petunjuk serta menunjuki orang lain. Mereka telah me-nyampaikan apa yang karenanya mereka diutus oleh Allah, tanpa menyembunyikan atau mengubahnya. Allah berfirman:
“…maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyam-paikan (amanat Allah) dengan terang. Dan sesungguhnya Kami te-lah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sem-bahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka ber-jalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesu-dahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 35-36).

Dan mempercayainya bahwa sebagian mereka lebih utama dari sebagian yang lain, Allah berfirman:
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas seba-gian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meningikannya beberapa derajat. Dan kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mu’jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus.” (Al-Baqarah: 253).

Juga percaya bahwa Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad sebagai dua orang Khalil (kekasih) Allah. Dan Allah telah berbicara langsung dengan Musa Alaihissalam serta telah mengangkat Nabi Idris pada tempat yang tinggi.

Iman kepada mereka semua adalah wajib. Siapa yang menging-kari seorang dari mereka maka ia telah kufur kepada semuanya, dan berarti pula telah kufur kepada Tuhan yang mengutus mereka, yaitu Allah. Allah berfirman:
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepada-nya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Se-muanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak mem-beda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya’ dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat’. (Mereka berdo’a), ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Al-Baqarah: 285).

Dan Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud membedakan antara Allah dan rasul-rasulNya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang se-bagian (dari rasul-rasul itu), dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (lain) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyedia-kan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasulNya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa’: 150-152).

Sebagaimana kita wajib beriman kepada mereka secara umum, nabi yang kita ketahui maupun yang tidak, maka begitu pula kita wajib mengimani secara khusus kepada para rasul yang disebutkan namanya oleh Allah. Telah disebutkan di dalam Al-Qur’an lebih dari 20 nama rasul yaitu: Nuh, Idris, Shalih, Ibrahim, Hud, Luth, Yunus, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Ayyub, Syu’aib, Musa, Harun, Ilyasa’, Dzulkifli, Daud, Zakariya, Sulaiman, Ilyas, Yahya, Isa dan Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam . Dengan meyakini bahwa Allah juga mempunyai rasul-rasul selain mereka. Sebagaimana firmanNya:
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebe-lum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan ke-padamu…” (Ghafir: 78).

Inti dari iman kepada mereka adalah taat, patuh dan tunduk kepada mereka dengan mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya, dan mengarungi kehidupan ini berdasarkan manhaj mereka; karena mereka adalah para penyampai wahyu Allah, dan mereka adalah suri teladan bagi umatnya. Allah memelihara mereka dari kesalahan, Allah berfirman kepada NabiNya Shalallaahu alaihi wasalam :
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’ Katakanlah, “Taatilah Allah dan RasulNya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali Imran: 31-32).

Maka taat kepada Allah dan beribadah kepadaNya adalah dengan mengikuti mereka serta berteladan kepada mereka.
Bukanlah termasuk iman kepada mereka jika pengangkatan dan pengagungan mereka melebihi batas kedudukan yang telah Allah berikan kepada mereka. Mereka adalah hamba dari jenis manusia yang Allah pilih dan siapkan untuk memikul risalahNya. Tabiat mereka adalah tabiat manusia. Mereka tidak memiliki hak uluhiyah (Ketuhanan). Mereka tidak mengetahui yang ghaib kecuali apa yang telah Allah beritahukan kepada mereka. Allah berfirman, memerintah Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam untuk menyampaikan kepada umatnya:
Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia se-perti kamu, yang diwahyukan kepadaku’…” (Al-Kahfi: 110).
“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perben-daharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al-An’am: 50).

Allah telah mengisahkan ucapan Nabi Nuh kepada kaumnya:
“Dan aku tidak mengatakan kepada kaum (bahwa), ‘Aku mempu-nyai gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui yang ghaib, dan tidak (pula) aku mengatakan, ‘Bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat’, dan tidak juga aku menga-takan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatan-mu, ‘Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka’. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka; sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zhalim.” (Huud: 31).

Maka rasul pertama sampai rasul terakhir semuanya menafikan hak-hak istimewa ketuhanan dari diri mereka. Semuanya menjelaskan bahwa mereka bukanlah malaikat, tidak mengetahui yang ghaib dan tidak memiliki perbendaharaan Allah. Akan tetapi mereka adalah manusia yang diistimewakan oleh Allah dengan menerima wahyu, dan mencapai puncak derajat kemanusian yaitu ubudiyah (penghambaan) yang murni kepada Allah Rabbul ‘Alamin.

V. Beriman Kepada Muhammad Shalallaahu Alaihi Wasalam Sebagai Nabi Dan Rasul

Allah telah menyempurnakan agama ini untuk kita, dan telah menyempurnakan nikmat bagi kita, juga telah ridha Islam sebagai agama kita; melalui tangan Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, penutup para nabi dan rasul, Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam Beliau adalah Rasul Allah untuk bangsa jin dan manusia, sebagai pemberi kabar gembira dan ancaman, yang menyeru kepada Allah dengan seizinNya dan sebagai lampu yang menerangi.

Maka setiap orang yang mengetahui kerasulannya Shalallaahu alaihi wasalam, tetapi tidak mengimaninya, ia berhak menerima siksa Allah seperti orang-orang kafir lainnya. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3).
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40).

Sedangkan hadits yang menunjukkan khatmun nubuwwah (penutup kenabian) maka banyak sekali, di antaranya adalah sabda beliau:

(( إِنَّ لِيْ أَسْمَاءً أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَنَا أَحْمَدُ، وَأَنَا الْمَاحِيْ يَمْحُواللهُ بِيَ اْلكُفْرَ وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِيْ يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمَيَّ، وَأَنَا العَاقِبُ وَالعَاقِبُ الَّذِيْ لَيْسَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ ))

“Sesungguhnya aku mempunyai banyak nama, aku adalah Muhammad, aku adalah Ahmad, aku adalah Al-Mahi (penghapus) yang mana Allah menghapus kekufuran dengan diriku, aku adalah Al-Hasyir (yang mengumpulkan) di mana manusia nanti akan dikum-pulkan dihadapanku, aku adalah Al-‘Aqib; Aqib adalah yang sesudahnya tidak ada nabi.” (HR. Muslim IV/1828, lihat juga Al-Bukhari VI/188).

Juga Sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :

(( فُضِّلْتُ عَلَى الأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ، أُعْطِيْتُ جَوَامِعَ اْلكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ اْلغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ طَهُوْرًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّوْنَ ))

“Aku diistimewakan di atas para nabi dengan enam pekara: aku diberi jawami’ul-kalim (ungkapan yang mencakup makna yang luas), aku dimenangkan dengan rasa ketakutan (di hati musuh-musuhku), untukku dihalalkan ghanimah (rampasan perang), bagiku dijadikan bumi sebagai alat bersuci dan tempat sujud, dan aku diutus kepada makhluk semuanya, dan denganku para nabi ditutup.” (HR. Muslim I/371, lihat Musnad Ahmad II/412).

Dalam beberapa ayat dan hadits di atas terdapat dalil yang nyata dan jelas bahwa Allah Subhannahu wa Ta’ala telah menyempurnakan nikmatNya untuk kita dengan menunjukkan kepada jalan yang lurus, dan telah menyempurnakan agama kita sehingga kita tidak perlu lagi kepada yang lainnya, juga tidak kepada nabi lain selain nabi kita Shalallaahu alaihi wasalam , karena Allah telah menjadikannya sebagai penutup para nabi, tidak ada yang halal kecuali yang sudah dihalalkannya, dan tidak ada yang haram melainkan yang sudah diharamkannya, serta tidak ada agama kecuali apa yang telah disyariat-kannya. Beliau adalah utusan Allah kepada makhluk semuanya. Allah berfirman, memerintahkan RasulNya untuk menyampaikannya:
“Katakanlah, ‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua…” (Al-A’raf: 158).
“Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya).” (Al-An’am: 19).
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…” (Saba’: 28).

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda sebagaimana dalam hadits di atas,
“Dan aku diutus kepada makhluk secara keseluruhan.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Dan bersabda:

(( وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ))

“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tanganNya! Tidak seorang pun mendengar tentang aku dari umat (manusia) ini, seorang Yahudi ataupun Nasrani, kemudian meninggal dunia dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus karenanya, kecuali termasuk para penduduk Neraka.” (HR. Muslim I/134).

Jadi syahadah atau persaksian atas keesaan Allah dan kerasulan Muhammad adalah rukun pertama dari rukun Islam, yang Allah tidak menerima agama selainnya. Sebagaimana Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

(( بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ اْلبَيْتِ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ ))

“Islam itu dibangun di atas lima rukun: Menyaksikan bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasulNya, mendirikan shalat, membayar zakat dan haji ke Baitullah serta puasa Ramadhan.” (HR. Muslim I/45, lihat Al-Bukhari I/13).

Untuk menegakkan hujjah bagi segenap manusia sampai hari Kiamat, Allah menjadikan Al-Qur’anul Karim sebagai dalil dan bukti terkuat atas kenabian Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam Ia adalah mu’jizat abadi, Allah menjamin untuk menjaga dan melindunginya dari tangan-tangan jahil dan kotor agar tetap manjadi bukti kebenaran Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dan hujjah bagi Allah atas makhlukNya sampai hari Kiamat.