Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarokatuh, wa ba’du:
Saya mohon kesediaan Fadhilatusy Syaikh untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:
Beberapa hari ini ramai dipublikasikan di berbagai mass media acara “Tutup Buku” yang akan dilakukan oleh ‘Riyadh Bank’, apakah boleh hukumnya ikut menanamkan saham di dalamnya? Apa peran para ulama, da’i dan para penceramah terhadap hal ini? Apa pendapat Fadhilatusy Syaikh mengenai hukum bekerja di ‘Riyadh Bank’ dan bank-bank sejenisnya yang bertransaksi de-ngan bunga bank?

Jawaban:

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarokatuh, wa ba’du
Sebagaimana telah diketahui bahwa bank terbangun atas pondasi riba. Misalnya, dengan cara memberi seribu lalu meng-ambil seribu dua ratus, atau mengambil seribu lalu memberi seribu dua ratus; dengan begitu berarti ia telah memakan riba dan mem-beri makan dengannya, sekalipun terkadang bank tersebut memi-liki transaksi-transaksi lain tanpa riba akan tetapi pondasi asalnya adalah terbangun di atas riba tersebut. Inilah realitas yang telah dikenal darinya. Berdasarkan hal ini, maka tidak halal hukumnya menanamkan saham di dalamnya sesuai dengan firman Allah,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah:275-276).

Dalam ayat yang mulia di atas terdapat pernyataan tegas bahwa riba adalah haram, yang diharamkan oleh Allah Yang memiliki seluruh kerajaan, Yang hanya bagiNya semata putusan hu-kum dan kepada syari’atNya tempat berhukum.

Dalam ayat yang lain setelah ayat tersebut, Allah Ta’ala juga telah menjelaskan bahwa mengambil riba berarti memaklumatkan perang terhadap Allah dan RasulNya, sebagaimana firmanNya,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan meme-rangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279).

Sedangkan di dalam kitab Shahih Muslim dari hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah , dia berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan, “Mereka itu sama saja’.”

Makna “Laknat” adalah terusir dan jauh dari rahmat Allah, demikian ditafsirkan oleh para ulama. Jadi, dalam kedua ayat yang mulia dan hadits di atas terdapat petunjuk yang amat jelas dan tegas bahwa riba termasuk dosa besar. Di dalam hadits, khu-susnya, terdapat petunjuk bahwa orang yang membantu melakukan riba, baik dengan cara mencatatkan atau bersaksi tercakup ke dalam laknat tersebut, sama seperti laknat yang ditujukan kepada pemakan dan pemberi makannya. Dengan demikian, jelaslah apa hukum bekerja di bidang apapun yang dapat dinyatakan sebagai pengukuhan terhadap riba, baik dengan mencatatkan ataupun sebagai saksi.

Sedangkan peran para ulama dan para dai terhadap hal semacam ini dan selainnya yang tidak asing lagi bagi kaum mus-limin dan amat mendesak hajat kepada penjelasan tentangnya dan peringatan terhadapnya adalah merupakan kewajiban yang besar dan tanggung jawab yang demikian berat karena Allah mengemban-kan ilmu ke pundak mereka agar menjelaskannya kepada manusia. Kita memohon kepada Allah agar menolong kita dan saudara-saudara kita untuk melakukan hal yang bermaslahat bagi para hambaNya, baik di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat kelak.

Ditulis oleh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, pada tanggal 9-7-1412 H.