Kebersamaan adalah sebuah keindahan dan kebahagiaan yang tak terbatas. Banyak orang yang terampas kebersamaannya, padahal keinginan hati begitu menjulang tinggi, menggebu, kerap batin bergejolak, menginginkan, tapi faktanya tidak semudah mewujudkan.

 

HANYUT TANPA PERNAH KEMBALI

Tidak sedikit orang kaya yang melewatkan kebersamaan dengan anak istrinya, demi mengumpulkan pundi-pundi tabungan, demi eksis perusahaan, demi mendapat laba bisnis yang besar.

Berapa ayah yang mau menggadaikan kebersamaan, cengkrama bersama anak-anak yang masih mungil dan lucu, yang masa-masa ini tidaklah lama, dan tidak akan terulang. Namun ayah rela semua itu disisihkan, hanya demi mengejar pekerjaan, promosi jabatan, dan sebagainya.

Berderet kasus kebersamaan yang indah hanyut tanpa pernah kembali. Namun yang lebih memilukan, kebersamaan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di surga. Keindahan satu ini, yang tidak ada bandingnya di dunia, kebersamaan yang dijanjikan, banyak dari kaum muslimin yang tidak terlalu peduli.

 

MENCINTAI DAN DICINTAI

Cinta Nabi, menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam idola, langkah awal menuju kebersamaan bersama beliau di surga. Namun faktanya ternyata bukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diidolakan, justru aktor film, artis, bintang bola, dan yang lainnya. Mereka lebih dikenal, jauh dan jauh lebih mengenal mereka daripada mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sendiri.

Mengidolakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, butuh bukti, selain kecintaan hati, harus ada pengimplementasian apa yang menjadi sunnah-sunnahnya. Karena kelak di akhirat, manusia akan dikumpulkan bersama yang dicintainya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي ، وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِيَ فِي الْجَنَّةِ

“Siapa yang menghidupkan sunnahku berarti ia mencintaiku, dan siapa yang mencintaiku maka ia akan bersamaku kelak di surga.” (HR. at-Tirmidzi no. 2678, hadits dhaif).

Seorang laki-laki menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakan seputar hari kiamat. Ia berkata, “Kapan kiamat terjadi?” “Apa yang sudah engkau siapkan untuk menghadapi hari kiamat?” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Laki-laki itu berkata, “Tidak ada, kecuali aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

 “Engkau akan dikumpulkan bersama orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari no. 3688).

Ketika itu para sahabat yang mendengarkan ucapan beliau ini sangatlah bergembira. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Kami tidak pernah bergembira dengan sesuatu seperti kegembiraan kami ketika mendengar ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Engkau akan dikumpulkan bersama orang yang engkau cintai.’” (Lihat Shahih al-Bukhari, 3/1349).

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sendiri sampai mengungkapkan, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar. Aku berharap bisa berkumpul bersama mereka kelak di surga karena kecintaanku kepada mereka, sekalipun aku belum bisa beramal seperti amalan mereka.” (Lihat Shahih al-Bukhari, 3/1349).

 

TELADAN CINTA

Cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas segala-galanya setelah cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah menerangkan kepada kita jalan kebaikan dari jalan keburukan, dialah yang telah mengenalkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang menjadi sebab kita mendapatkan hidayah Islam.

Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandeng tangan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah! sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu selain diriku sendiri.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ

 “Tidak, demi jiwaku yang berada dalam gengaman tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”

 Setelah itu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalau begitu sekarang, demi Allah! engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” “Sekarang wahai Umar (imanmu telah sempurna),” tegas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Shahih al-Bukhari, 6/2445).

Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah.”

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya, “Bagaimana kecintaan kalian kepada Rasulullah?” Ali menjawab, “Demi Allah! beliau lebih kami cintai daripada harta kami, anak-anak kami, bapak-bapak kami, ibu-ibu kami, dan air dingin di saat haus.”

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada Nabi, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, islamnya Abu Thalib lebih menyenangkan hatiku daripada islamnya Abu Qahafah (Bapaknya Abu Bakar), karena islamnya Abu Thalib lebih menyenangkan hatimu.” (Lihat Kitab asy-Syifa bita’rif Huquq al-Musthafa, al-Qadhi Iyadh, hal 385).

Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada al-Abbas, “Masuklah ke dalam Islam, demi Allah jika engkau masuk Islam, itu lebih aku cintai daripada islamnya al-Khaththab (Bapaknya Umar), hal itu tidak lain karena keislamanmu lebih dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat Musnad al-Bazar, 2/178).

‘Abdah bin Khalid bin Ma’dan radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah Khalid (ayahku) beranjak ke tempat tidurnya melainkan ia menyebutkan kerinduannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dari kaum Muhajirin maupun Anshar, lalu ia menyebutkan nama-nama mereka. Setelah itu ia berkata, ‘Mereka adalah asal usul nasabku, kepada mereka hatiku merindu, kerinduan yang semakin lama, wahai Tuhanku jadikanlah kematianku yang diterima oleh-Mu,’ hingga akhirnya ia pun tertidur.” (Lihat Hilyatul Auliya, Abu Nu’aim, no. 7072).

Dari Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu, “Umar radhiyallahu ‘anhu keluar rumah pada suatu malam untuk ronda, lalu ia melihat sebuah lampu menyala di dalam rumah, ternyata ada seorang nenek tua sedang meniup bulu-bulu domba sembari berkata:

عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَاةُ الْأَبْرَارِ

صَلَّى عَلَيْهِ الطَّيِّبُوْنَ الْأَخْيَارُ

قَدْ كُنْتُ قَوَّامًا بَكَا بِالْأَسْحَارِ

يَا لَيْتَ شِعْرِيْ وَالْمَنَايَا أَطْوَارٌ

هَلْ تَجْمَعُنِيْ وَحَبِيْبِيَ الدَّارُ

 

Semoga tercurahkan atas Nabi Muhammad

Sebuah shalawat dari orang-orang yang shalih

Orang-orang baik yang terpilih juga bershalawat kepadanya

Aku telah terjaga dan menangis di waktu sahur

Duhai ku tahu batas-batas kematian

Apakah aku akan dikumpulkan bersama kekasihku (Nabi Muhammad) dalam satu hunian

(Lihat Kitab asy-Syifa bita’rif Huquq al-Musthafa, al-Qadhi Iyadh, hal 385).

 Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami tidak pernah melihat kecintaan seseorang kepada yang lainnya sebagaimana kecintaan para sahabat Nabi kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat as-Sirah an-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 2/172).

 

CINTA ITU BUKTI

 Cinta itu bukti bukan sekedar janji

Cinta itu dekat bukan hanya ingat

Cinta itu menuruti bukan meratapi

Cinta itu nyata bukan pemanis kata

Cinta itu rindu bukan menipu

Inilah cinta, langkah pertama menuju indahnya kebersamaan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

 “Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. an-Nisa’: 69).

Inilah di antara ayat-ayat cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

1) Meneladani beliau, mengamalkan sunnah-sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatannya, melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang.

2) Banyak mengingat dan menyebut namanya.

3) Mengagungkan dan memuliakan saat namanya disebut, khusyu dan hatinya tersentuh.

4) Mencintai orang-orang yang mencintai beliau dan keluarganya, para sahabatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar. Juga membenci orang-orang yang membenci mereka.

5) Membenci orang-orang yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, memusuhi orang-orang yang dimusuhi oleh Allah dan Rasul-Nya, menjauhi orang-orang yang menyelisihi sunnah-sunnahnya dan membuat-buat perkara baru di dalam agama ini.

6) Mecintai al-Qur’an yang telah dibawa oleh beliau, memberi dan mencari petunjuk serta berakhlak dengan al-Qur’an. Wallahu A`lam. (Saed as-Saedy, Lc.).