Bangga LeluhurBerbangga yang pada tempatnya adalah berbangga dengan sesuatu yang Anda usahakan dan kerjakan. Adapun berbangga dengan sesuatu yang Anda hanya menerima jatah, tidak punya usaha padanya, maka ini berbangga tidak pada tempatnya, apalagi bila ternyata yang dibanggakan bukan merupakan kebaikan tetapi keburukan dan tidak patut dibanggakan.

Iman Ahmad meriwayatkan di Musnadnya dari Ubay bin Kaab berkata, “Ada dua orang yang menyebutkan nasabnya pada zaman Rasulullah. Salah seorang dari keduanya berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan. Lalu kamu siapa, tidak ada ibu bagimu?’ Lalu Rasulullah bersabda, “Ada dua orang yang menyebut nasab mereka pada zaman Musa. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan – sampai dia menyebut sembilan orang leluhurnya – lalu kamu siapa tidak ada ibu bagimu?’ Yang lain menjawab, ‘Aku adalah fulan bin fulan bin Islam’.” Nabi bersabda, “Lalu Allah mewahyukan kepada Musa tentang dua orang yang membanggakan nasab mereka berdua, ‘Kamu wahai orang yang menisbatkan dirimu kepada sembilan leluhur, mereka semuanya di Neraka dan kamu orang yang kesepuluh. Adapun kamu wahai orang yang menisbatkan dirimu kepada dua orang, mereka di Surga, maka kamu adalah orang ketiga yang di Surga.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 5/128. Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah (3/265) nomor 1270 menisbatkannya kepada Ahmad dalam Musnadnya, adh-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah dan al-Baihaqi dalam Syuabul Iman. Al-Albani berkata, “Sanadnya shahih, rawi-rawi adalah rawi-rawi asy-Syaikhain kecuali Yazid bin Abu Ziyad bin Abul Ja’ad, dia tsiqah.”

Rabb Azza wa Jalla memberitahukan hakekat besar yang memiliki pengaruh yang mendalam pada masyarakat seluruhnya. Dia memberitahu kita bahwa kita semua kembali kepada satu asal usul, bapak yang satu. Asal usul kita yang darinya kita diciptakan adalah tanah, dan bapak kita semua adalah Adam.

Oleh karena itu tidak ada keistimewaan bagi ras tertentu melihat asal usul di mana ia diciptakan darinya. Apa yang diklaim bahwa ras ini dari keturunan Tuhan atau bangsa atau suku ini memiliki darah biru, semua itu adalah kebohongan dan kedustaan. Kebatilannya tidak kurang dari klaim yang menyatakan bahwa asal usulnya adalah emas atau perak, sementara manusia yang lain berasal dari tanah atau besi atau tembaga atau kuningan.

Hakekat ini, yaitu bahwa manusia dari asal usul yang satu, jika orang yang meyakininya, membuat mereka bersikap tawadhu di antara sesama, sebagian tidak sewenang-wenang kepada yang lain meski jenis, warna dan negara mereka berbeda-beda. Perbedaan di antara manusia dalam bentuk, warna dan perbedaan mereka menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bukan kembali kepada keunggulan sebagian di atas sebagian yang lain, akan tetapi itu merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah agar manusia saling mengenal dengan identitas masing-masing. Seandainya seluruh manusia berparas satu bernama satu niscaya mereka tidak bisa saling mengenal dan membedakan.

Akan tetapi hakekat besar yang semestinya menjadi landasan interaksi di antara manusia seluruhnya menghilang dari hati dan akal pikiran. Kita melihat manusia dalam level pribadi, keluarga dan masyarakat, sebagian bertindak sewenang-wenang terhadap yang lain. Masing-masing mengklaim bahwa dia lebih baik, lebih unggul dan lebih sempurna.

Seorang tidak lebih baik dari lainnya dalam timbangan Islam dengan ketinggian, kegagahannya, ketampanan, warna kulit, kabilah dan tempat tinggalnya. Keunggulan dalam Islam kembali kepada ketakwaan dan kebaikan.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ [الحجرات : 13]

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Al-Hujurat: 13

Manusia mulia dengan kemuliaan leluhurnya yang bertakwa jika dia mencintai mereka, berjalan di atas jalan mereka dan melakukan apa yang mereka lakukan, sebagaimana diucapkan oleh orang yang mulia, anak orang yang mulia, anak orang yang mulia, anak orang yang mulia Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim,

وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ [يوسف : 38]

 “Dan aku mengikuti agama bapak bapakku Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub.” Yusuf: 38.

Adapun membanggakan leluhur yang kafir, pemimpin yang fajir dan kepemimpinan yang menebar kerusakan di bumi, maka semua itu merupakan kebatilan, ia merupakan potret penyimpangan seseorang dalam pemikirannya, asumsinya dan perbuatannya.

Ubay bin Kaab memberitahukan kepada kita salah satu bentuk kebatilan ini yang terjadi pada masa Rasulullah. Dua orang berselisih maka salah seorang dari keduanya membanggakan kebesaran asal usul nasabnya, menyodorkan leluhur dan nenek moyangnya dan mencibir temannya dengan ucapan, “Aku adalah fulan bin fulan, lalu kamu itu siapa, tidak ada ibu bagimu.”

Maka Rasulullah menyuapi orang yang membanggakan leluhurnya yang kafir ini sebuah pelajaran yang membuatnya jera. Orang sepertinya akan jera untuk mengulangi kebatilan ini. Nabi menyampaikan kepada mereka bahwa di kalangan Bani Israil pada zaman Musa terdapat dua orang yang berselisih dan bersitegang. Lalu seorang dari keduanya membanggakan leluhurnya yang besar dari kalangan pengikut kekufuran, dia menyebutkan sembilan moyangnya, dia berkata, “Aku adalah fulan bin fulan bin fulan…” sampai sembilan leluhur. Seterusnya dia mencela dan mencibir lawannya dengan berkata, “Kamu siapa, tidak ada ibu bagimu?”

Kebanggaannya kepada leluhurnya dan cibirannya terhadap lawannya menunjukkan adanya penyakit busuk yang mengalir di dalam jiwa orang seperti ini, dia melihat moyangnya memberinya harga yang membuatnya lebih tinggi dari yang lain dan menjadikannya lebih unggul dengan moyang-moyang itu dan bahwa selainnya yang tidak berasal dari asal usul itu tidak mampu untuk menandinginya sedikit pun, oleh karena itu dia berada di level yang lebih rendah.

Laki-laki yang lain adalah seorang yang shalih dan faqih, dia menjawab menjelaskan nasabnya, “Aku adalah fulan bin fulan bin fulan bin Islam.” Kedua bapaknya yang dibanggakannya adalah muslim, kemudian dia membanggakan keislamannya dan tidak mau membanggakan leluhurnya yang kafir.

Diriwayatkan bahwa hal seperti ini terjadi pada Salman Al-Farisi. Berapa orang menyebutkan bapak mereka, di mana Salman ada di antara mereka. Manakala giliran Salman dia berkata, “Aku adalah anak Islam.” Manakala Umar mendengar itu dia menangis dan berkata, “Aku juga anak Islam.”

Rasulullah menyampaikan kepada kita bahwa Allah mewahyukan kepada Musa memerintahkannya agar mengatakan kepada laki-laki yang membanggakan leluhurnya yang kafir, “Kamu wahai orang yang menisbatkan dirimu kepada sembilan orang yang di Neraka maka kamu orang yang kesepuluh.” Musa diperintahkan untuk mengatakan kepada yang lain, “Kamu wahai orang yang bernasab kepada dua orang di Surga, kamu adalah orang ketiga di Surga.”

Lihatlah muara dari orang yang membanggakan leluhurnya yang kafir dan muara kebaikan yang diraih oleh laki-laki itu yang menisbatkan dirinya kepada Islam dan leluhur yang muslim.

Apa yang Allah wahyukan kepada Musa tentang perkara kedua laki-laki ini menggetarkan hati orang-orang yang takut kepada Allah, takut pada waktu mereka berdiri di hadapan-Nya. Dengan kisah ini Rasulullah telah mendidik dua laki-laki dari sahabat yang menyebutkan nasabnya. Kisah ini mengandung pelajaran bagi siapa pun yang berjalan di atas jalan mereka dan berbuat seperti mereka.

Membanggakan leluhur, mencela orang lain karena nasab mereka yang dipandang rendah merupakan penyakit berbahaya yang mematikan, menjadikan jiwa kotor dan busuk, mengobarkan api permusuhan dan kebencian di antara anggota masyarakat yang satu, yang terkadang bisa menyeret kepada pertumpahan darah dan peperangan serta memutuskan hubungan di antara anak-anak Islam.

Rasulullah memerangi penyakit ini dengan gigih. Dalam Sunan Tirmidzi dan Abu Dawud dari Abu Hurairah dari Nabi bersabda, “Hendaknya suatu kaum menghentikan membanggakan bapak-bapak mereka yang telah mati, mereka hanyalah termasuk panasnya Jahannam atau akan menjadi lebih hina bagi Allah daripada kotoran yang ditolak oleh orang yang buang hajat. Sesungguhnya Allah telah melenyapkan dari kalian kesombongan jahiliyah dan kebanggaan dengan leluhur. Yang ada adalah seorang mukmin yang bertakwa atau fajir yang sengsara. Seluruh manusia adalah anak Adam dan Adam dari tanah.”

Fanatisme telah tumbuh dan berkembang biak di abad ini, ia telah memporak porandakan jamaah kaum muslimin. Ia telah menjadi kapak penghancur umat Islam. Ia telah merajalela di lingkungan masyarakat muslim, bahkan masyarakat manusia. Fanatisme golongan, fanatisme kedaerahan, lebih dari itu fanatisme warna kulit dan bahasa. Fanatisme seperti ini memicu api perang di seluruh dunia dan manusia telah terbakar oleh panasnya, mereguk racun getir darinya. Jika selain kaum muslimin, agak bisa dimaklumi jika mereka terjerumus ke dalam lumpur fanatisme, lalu apa yang membuat kaum muslimin dimaklumi? Wallahu a’lam.