Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah.

Berikut ini adalah beberapa  poin ringkasan seputar bulan Sya’ban. Kami memohon kepada Allah semoga Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan manfaat dengan materi ini dan yang semisalnya. Semoga pula Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan balasan berupa kebaikan terhadap setiap orang yang ikut serta dan membantu dalam menyiapkan materi ini dan menyebarkannya.

1-Bulan Sya’ban adalah bulan kedelapan dari bulan-bulan Hijriyah. Bulan ini terletak di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan.

2-Bulan Sya’ban merupakan  bulan yang diberkahi. Banyak orang melalaikannya. Dan, disunahkan untuk memperbanyak puasa sunah di bulan ini.

Dari Usamah bin Zaed -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ– berkata, “Aku pernah bertanya (kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-) ‘Wahai Rasulullah! Aku belum pernah melihat Anda berpuasa pada suatu bulan sebagaimana yang Anda lalukan pada bulan Sya’ban? (Yakni, mengapa Anda melakukan hal tersebut?) Jawab beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, ‘itu adalah bulan yang manusia melalaikannya, yang berada di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Dan Sya’ban adalah bulan di mana amal-amal itu diangkat kepada Rabb semesta alam. Maka, aku suka amalku diangkat saat aku tengah berpuasa.’ [1]

3-Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-biasa berpuasa sunah pada bulan Sya’ban yang tidak beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya. Beliau biasa berpuasa hampir semua hari-harinya.

Sebagaimana kata Aisyah -رَضِيَ للهُ عَنْهَا-, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menyempurnakan puasa selama sebulan sama sekali kecuali pada bulan Ramadhan. Dan aku belum pernah pula melihat beliau lebih banyak berpuasa dalam satu bulan melainkan di bulan Sya’ban. [2]

Dalam satu riwayat:

Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah berpuasa Sya’ban seluruh(hari)nya. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berpuasa Sya’ban kecuali sedikit. [3]

4-Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak pernah berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada bulan Sya’ban dan bulan Ramadhan. Beliau berpuasa  mayoritas hari-hari bulan Sya’ban lalu beliau menyambungnya dengan puasa bulan Ramadhan. Sebagaimana kata Ummul Mukminin Ummu Salamah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-‘ Aku tidak pernah melihat Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berpuasa selama dua bulan berturut-turut kecuali Sya’ban dan Ramadhan.’ [4]

5-Banyak orang lalai untuk berpuasa bulan Sya’ban. Karena, bulan ini didahului oleh bulan haram, yaitu bulan Rajab-dan puasa pada bulan-bulan haram dianjurkan, tanpa berkeyakinan tentang adanya keutamaan khusus untuk bulan Rajab secara khusus selain bulan-bulan haram lainnya- dan diikuti dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah. Sehingga manusia terlalaikan untuk berpuasa pada bulan Sya’ban karena kedua bulan tersebut (Rajab dan Ramadhan). Sehingga, disukai tindakan meramaikan bulan Sya’ban dengan berpuasa.

6-Sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, “‘itu adalah bulan yang manusia melalaikannya, yang berada di antara bulan Rajab dan Ramadhan.” di dalamnya terdapat sebuah isyarat yang lembut, bahwa hendaknya memakmurkan waktu-waktu di mana banyak orang lalai dengan ketaatan, dan bahwa hal tersebut termasuk perkara yang dicintai Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan diridhai-Nya.’ Dan oleh karena itu, dulu, sebagian salaf menganjurkan untuk banyak melakukan ketaatan yang bersifat sunah di waktu antara shalat Maghrib dan Shalat Isya. Dan, mereka mengatakan, ‘Waktu itu merupakan waktu di mana banyak orang lalai.’ Dan shalat malam yang dilakukan pada sepertiga malam terakir lebih utama karena kebanyakan manusia pada saat tersebut lalai dari berdzikir (mengingat dan menyebut Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-), dan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- telah bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الرَّبُّ مِنَ الْعَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ اْلآخِرِ فَإِنْ اِسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُوْنَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللهَ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ

“Keadaan terdekat Rabb dari seorang hamba adalah pada tengah malam yang terakhir. Karena itu, jika engkau mampu termasuk golongan orang-orang yang mengingat Allah pada saat itu, maka lakukanlah! [5]

Dan oleh karena ini (pula), disukai untuk melakukan dzikrullah (mengingat dan menyebut Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-) di tempat-tempat yang banyak terjadi di dalamnya hal-hal yang tidak berguna dan gaduh dan sedikit orang-orang yang berdzikir. Seperti di pasar-pasar dan majlis-majlis permainan. [6]

7-Di antara faedah beramal di waktu kelalaian: Bahwa seorang muslim itu apabila ia menghidupkan waktu-waktu kelalaian manusia dengan melakukan ketaatan, niscaya hal itu akan lebih dapat menyembunyikan amalnya. Dan, menyembunyikan amal-amal ketaatan yang bersifat sunah lebih dekat kepada keikhlasan. Karena seorang muslim tidak bisa menjamin dirinya aman dari riya ketika ia melakukan amal shaleh secara terus terang.

8-Puasa bulan Sya’ban lebih utama dari puasa pada bulan-bulan haram; karena bulan Sya’ban bersama dengan bulan Ramadhan berkedudukan seperti halnya (shalat-shalat) sunah rawatib bersama dengan (shalat-shalat) yang fardhu (wajib). Sebagaimana halnya shalat-shalat sunah rawatib lebih utama daripada shalat-shalat sunah mutlak, maka demikian pula halnya puasa (puasa sunah) yang dilakukan sebelum (puasa) Ramadhan dan (puasa sunah) yang dilakukan setelah (puasa) Ramadhan lebih utama dari puasa yang dilakukan jauh dari bulan Ramadhan. [7]

9-Adapun sabda beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) pada bulan Allah al-Muharram. Dan shalat (sunah) yang paling utama setelah shalat Fardhu adalah shalat malam. [8]

Maka, sabda beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ini dibawa pemahamannya kepada sunah-sunah yang bersifat mutlak. Dengan demikian, puasa-puasa sunah yang bersifat mutlak yang paling utama adalah yang dilakukan pada bulan Muharram kemudian yang dilakukan pada bulan-bulan haram lainnya, sebagaimana halnya shalat-shalat sunah yang bersifat mutlak yang paling utama adalah shalat malam.

Adapun puasa Sya’ban, maka ia mengikuti puasa Ramadhan. Sebagaimana halnya puasa enam hari dari bulan Syawwal. Maka, puasa sunah ini lebih utama daripada puasa sunah mutlak. Sebagaimana halnya bahwa shalat sunah yang paling utama setelah shalat-shalat wajib dan shalat-shalat sunah rawatib yang mengiringinya, adalah shalat malam. Jadi, shalat-shalat sunah rawatib yang dilakukan sebelum dan sesudah shalat wajib lebih utama daripada qiyamullail (shalat malam) –menurut Jumhur ulama-; karena kedekatan pelaksanaan shalat-shalat tersebut dengan shalat-shalat wajib [9]

10-Sya’ban merupakan bulan diangkatnya amal-amal tahunan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Sebagaimana datang di dalam hadis:

وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعُ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Dan ia (yakni, bulan Sya’ban) adalah bulan di mana amal-amal diangkat kepada Rabb semesta alam. Maka, aku suka amalku diangkat saat aku tengah berpuasa.”

Maka, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- suka amalnya diangkat saat beliau dalam keadaan berpuasa; karena hal itu lebih memberikan peluang untuk diterimanya amal dan ditinggikannya derajat-derajat. Maka dari itu, hendaknya orang-orang Islam meneladani Nabi mereka -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dalam hal ini dan hendaknya pula mereka memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.

11-Pengangkatan amal-amal dan dipertunjukkannya di hadapan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- ada tiga macam, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh teks-teks syariat [10] :

Pertama, pengangkatan harian ; setiap hari dua kali, pertama, di malam hari dan kedua, di siang hari. Sebagaimana di dalam hadis:

يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ

“Diangkat kepada-Nya amal malam hari sebelum amal siang hari, dan amal siang hari sebelum amal malam hari” [11]

Maka, diangkatlah amal siang di akhir (waktu)nya dan amal malam di akhir (waktu)nya (pula). Maka para Malaikat naik dengan membawa amal-amal malam di akhir (waktu)nya di awal siang. Dan mereka naik dengan membawa amal-amal siang setelah selesainya di awal malam, sebagaimana di dalam hadis,

يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ

“Para Malaikat datang bergantian pada kalian di malam hari dan di siang hari, dan mereka berkumpul pada shalat Subuh dan Shalat Asar.” [12]

Maka, barang siapa ketika itu berada dalam ketaatan, niscaya diberkahi rizki dan amalnya. [13]

Oleh karena itu, dulu, ad-Dhahhak -رَحِمَهُ اللهُ- menangis pada akhir siang, dan beliau mengatakan, “Aku tidak tahu apa yang diangkat dari amalku.” [14]

Kedua, Pengangkatan mingguan. Maka, amal-amal itu diangkat dan dihadapkan (kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-) setiap minggunya dua kali, yaitu pada hari Senin dan hari Kamis. Sebagaimana di dalam hadis,

تُعْرَضُ أَعْمَالُ النَّاسِ فِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّتَيْنِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلاَّ عَبْدًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ اتْرُكُوا – أَوِ ارْكُوا – هَذَيْنِ حَتَّى يَفِيئ

“Amal-amal manusia dinaikkan dan dihadapkan (kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) pada setiap Jum’at (yakni, Minggu)  dua kali; di hari Senin dan di hari Kamis. Maka diampunilah (dosa) setiap hamba Mukmin kecuali seorang hamba yang antara dirinya dan saudaranya ada permusuhan. Maka, dikatakan (kepada para Malaikat), ‘tinggalkanlah –atau tundalah- dua orang ini hingga keduanya berdamai.’” [15]

Dan dulu, Ibrahim an-Nakha’i -رَحِمَهُ اللهُ- menangis di hadapan istrinya pada hari Kamis dan istrinya pun menangis pula di hadapannya, seraya mengatakan, “Pada hari ini ama-amal kita dinaikkan dan dihadapkan kepada Allah -عَزَّوَجَلَّ-.” [16]

Ketiga, Pengangkatan tahunan. Maka, amal-amal setahun diangkat sekaligus pada bulan Sya’ban, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

“Dan ia (yakni, bulan Sya’ban) adalah bulan di mana amal-amal diangkat kepada Rabb semesta alam…”

12-Untuk setiap pengangkatan amal dan dipertunjukkannya di hadapan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- terdapat hikmah yang diketahui oleh Rabb kita -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- lah risalah, dan dari Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- penyampaian (risalah itu), sedangkan kita berkewajiban menerimanya.

13-Dianjurkan bagi seorang muslim untuk menambah ketaatan di waktu-waktu diangkatnya amal-amal dan dihadapkannya kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Maka, seorang muslim dianjurkan berpuasa pada hari Senin dan hari Kamis, sebagaimana petunjuk beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Berbekal dengan amal-amal shaleh dan mendekatkan diri kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dengan hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya.

14-Hendaknya seorang muslim ingat bahwa amal-amalnya yang baik dan amal-amal yang buruk diangkat kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- pada bulan ini. Karena itu, hendaknya ia memilih untuk dirinya apa-apa yang akan diangkat kepada Rabbnya -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan apa-apa yang akan menjadi sebab untuk mendapatkan pahala yang besar atau apa-apa yang akan menjadi sebab mendapatkan hukuman yang buruk, serta apa-apa yang bakal diterima atau apa-apa yang akan ditolak. Kita memohon perlindungan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

15-Sya’ban layaknya sebuah pengantar menuju ke bulan Ramadhan dan layaknya sebuah latihan untuk melakukan puasanya. Maka, disyariatkan di bulan Sya’ban apa-apa yang disyariatkan pada bulan Ramadhan berupa puasa dan membaca al-Qur’an untuk mendapatkan kesiapan untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan dan jiwa pun terlatih dengan hal tersebut untuk menaati Dzat yang Maha Pengasih (Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى).

Maka, bergegaslah kepada ketaatan di bulan Sya’ban dan hendaknya setiap muslim dan muslimah menyiapkan bekal di bulan Sya’ban ini sebagai persiapan untuk bulan Ramadhan; agar ia tidak memasuki puasa Ramadhan dalam keadaan berat. Bahkan, ia telah terlatih dan terbiasa berpuasa. Dan, ia pun mendapati manis dan lezatnya puasa. Sehingga ia memasuki puasa Ramadhan dengan penuh kekuatan dan kesemangatan. [17]

Semoga Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan taufik kepada kita semuanya.

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Sumber:

32 Faidatan Fi Syahri Sya’ban, Muhammad Shaleh al-Munajjid, hal. 3-16.

 

Catatan:

[1] HR. an-Nasai, 2357 dan dihasankan oleh al-Albani di dalam ash-Shahihah, 1898.

[2] HR. al-Bukhari 1969 dan Muslim 1156, dan lafazh ini adalah milik imam Muslim.

[3] HR. al-Bukhari 1970 dan Muslim 1156, dan lafazh ini adalah milik imam Muslim.

[4] HR. at-Tirmidzi 736 dan an-Nasai 2352. Dan, dishahihkan oleh al-Albani.

[5] HR. at-Tirmidzi 3579 dan an-Nasai 572, dan dishahihkan oleh al-Albani.

[6] Lihat: Latha-if Ma’arif, Ibnu Rajab, hal. 131

[7] Lihat: Latha-if Ma’arif, Ibnu Rajab, hal. 34, 129

[8] HR. Muslim (1163)

[9] Lihat: Latha-if al-Ma’arif, hal. 34, 129

[10] Lihat: Tahdzib Sunan Abi Dawud, Ibnul Qayyim, 3/199, Thariqul Hijratain, hal. 75, dan Latha-if al-Ma’arif, hal. 126.

[11] HR. Muslim, 179

[12] HR. al-Bukhari 555 dan Muslim 632

[13] Fathul Baari, Ibnu Hajar 2/37

[14] Lathaif al-Ma’arif, 127

[15] HR. Muslim, 36

[16] Lathaif al-Ma’arif, 127

[17] Lihat, Lathaif al-Ma’arif, 134