Pertanyaan:

Kepada, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin hafizahullah yang mulia:

Di dalam risalah Tahkim al-Qawanin (Berhukum Kepada Undang-Undang) karya Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah, beliau menyebutkan bahwa kondisi-kondisi di mana berhukum kepada selain Allah bisa menjadi kekufuran yang amat besar adalah ucapan beliau: … (dst, di antara isinya setelah mengomentari tentang hal itu, pent.): “… yang merupakan sebesar-besar, seluas-luas serta sejelas-jelasnya pembangkangan terhadap syariat, keangkuhan terhadap hukum-hukumNya, penentangan terhadap Allah dan RasulNya serta penyerupaan terhadap peradilan-peradilan agama dari berbagai aspeknya; persiapan, dukungan, pengontrolan, pengakaran, pencabangan, format, variasi, vonis hukum, legalitas, sumber-sumber rujukan dan pegangannya.

Sebagaimana peradilan-peradilan agama memiliki sumber-sumber rujukan dan pegangan; sumber rujukannya adalah sama-sama merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Namun, peradilan-peradilan ini juga memiliki sumber rujukan yang lain, yaitu undang-undang yang dicampuradukkan dengan berbagai syariat dan undang-undang lainnya, seperti undang-undang Perancis, Amerika, Inggris dan lainnya. Juga dimasukkan pendapat-pendapat sebagian aliran sesat yang menisbatkan diri mereka kepada syariat, dan lain sebagainya.

Peradilan-peradilan seperti ini sekarang di mayoritas negeri-negeri Islam memang dipersiapkan dan disempurnakan sedemikian rupa, pintunya terbuka lebar-lebar sementara manusia mengalir menujunya secara kontinyu. Penguasa di sana memberikan putusan hukum terhadap mereka dengan sebagian produk hukum dari undang-undang tersebut dan memaksa serta mewajibkan mereka untuk menerimanya. Hukum tersebut jelas menyelisihi hukum as-Sunnah dan Kitabullah. Kalau begitu, kekufuran apalagi yang lebih tinggi dari kekufuran seperti ini?”[1]

Beliau juga pada bagian lain menjawab tentang hal itu: “…Sedangkan pernyataan yang menyatakan bahwa ia (berhukum kepada selain hukum Allah) termasuk kategori kufrun duna kufrin (kekufuran di bawah kekufuran); bila seseorang berhukum kepada selain Allah diiringi keyakinan bahwa ia adalah hanya orang yang berbuat maksiat dan bahwa hukum Allah-lah yang haq, maka ini terkait dengan orang yang mengatakan seperti ini sekali waktu begini atau semisalnya. Sedangkan orang yang menggodok undang-undang dengan menyusunnya dan tunduk kepadanya, maka inilah kekafiran itu, meskipun mereka mengatakan: ‘Memang kami telah bersalah dan hukum syariat adalah yang lebih adil’.[2]

Pertanyaannya, wahai Syaikh yang mulia:

  •  Bukankah ucapan Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim benar dan senada serta sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterapkan oleh Ahlussunnah?
  • Apakah anda memiliki pandangan yang berbeda dari apa yang telah kami sebutkan sebelumnya?

Dalam hal ini, salah seorang saudara kami dari Mesir, yaitu Khalid al-‘Anbary di dalam bukunya ‘al-Hukm Bi Ghairi Ma Anzalallah Wa Ushul at-Takfir‘ menyebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim juga mengeluarkan pendapat yang lain dan menisbatkannya kepada anda. Pengarang buku tadi berkata -sesuai naskah aslinya-: “Yang mulia Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin hafizahullah men-ceritakan kepada saya bahwa beliau -yakni Syaikh Muhammad bin Ibrahim- juga mengeluarkan pendapat yang lain… (hingga selesai pada hal.131).

Kami mengharap kesediaan syaikh yang mulia untuk memaparkan secara rinci jawaban tentang masalah-masalah tersebut, semoga Allah membalas jasa anda dengan kebaikan.

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, wa badu:

Sesungguhnya orang tua kami dan Syaikh kami, Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh adalah orang yang sangat keras di dalam mengingkari perbuatan-perbuatan bid’ah dan ucapannya tersebut termasuk ucapan beliau yang paling lunak terhadap undang-undang buatan manusia. Kami telah mendengar di dalam sebuah laporan yang disampaikan oleh beliau (barangkali terkait dengan kedudukan beliau sebagai mufti kala itu, wallahu a’lam) mengecam dengan keras para ahli bid’ah dan pelanggaran terhadap syariat yang mereka lakukan serta tindakan mereka menggodok produk-produk hukum dan undang-undang yang menyerupai hukum Allah ‘azza wa jalla. Beliau berlepas diri dari perbuatan mereka dan menghukumi mereka sebagai orang yang murtad dan keluar dari Dien al-Islam sebab mereka telah mencederai syariat, membatalkan hudud (aturan-aturan)nya dan berkeyakinan bahwa ia (hudud) tersebut sangat tidak manusiawi (bengis) seperti hukum qishash dalam kasus pembunuhan, potong tangan dalam kasus pencurian dan hukum rajam dalam kasus perzinaan. Demikian pula sikap beliau terhadap gaya permisivisme (serba boleh) mereka terhadap perbuatan zina asalkan masing-masing pihak sudah sama-sama rela dan sebagainya. Beliau banyak sekali menyinggung masalah tersebut di dalam kajian-kajian fiqih, akidah dan tauhid yang beliau ajarkan.

Seingat saya, beliau tidak pernah rujuk (melunak) dari sikap seperti itu dan tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang intinya menerima alasan berhukum kepada selain hukum Allah ‘azza wa jalla ataupun bersikap lunak di dalam berhukum kepada para thaghut yang tidak berhukum kepada hukum Allah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkategorikan hal tersebut sebagai kepala para thaghut. Maka, siapa saja yang telah menukil dari saya bahwa beliau (Syaikh Muhammad bin Ibrahim) telah rujuk dari ucapannya di atas, berarti dia telah salah menukil sebab rujukan asal di dalam masalah seperti ini adalah nash-nash syariat; Kitabullah, Sunnah Rasulullah dan ucapan para ulama yang agung tentangnya sebagaimana terdapat di dalam Kitab at-Tauhid (karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pent.), yaitu, Bab: Tentang Firman Allah ‘azza wa jalla, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu.” (An-Nisa`: 60), serta penjelasan-penjelasannya oleh para Imam-Imam dakwah n dan karya-karya tulisan yang demikian gamblang lainnya tentang hal itu. Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam.

Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin terhadap hal itu disertai stempel dan tangan beliau, tercatat pada tanggal 14-05-1417.

Pertanyaan:

Orang yang tidak berhukum kepada hukum Allah, apakah dia seorang Muslim atau telah menjadi kafir dengan kekufuran yang amat besar dan semua amalannya diterima?

Jawaban:

Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada RasulNya, keluarga besarnya dan seluruh para sahabatnya, wa ba’du:

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Ma`idah: 44),

juga FirmanNya,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” (Al-Ma`idah: 45).

serta FirmanNya,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Ma`idah: 47).

Akan tetapi jika orang tersebut telah menghalalkan hal itu dan meyakininya boleh, maka ini adalah kekufuran yang besar, kezhaliman yang amat besar serta kefasikan yang besar pula yang mengeluarkan pelakunya dari dien al-Islam. Sedangkan orang yang melakukan hal itu karena suap atau ada tujuan lain, sementara dia meyakini keharaman hal itu, maka dia berarti telah berdosa dan dianggap sebagai orang yang kafir dengan kekufuran yang kecil, orang yang zhalim dengan kezhaliman yang kecil serta orang fasik dengan kefasikan yang kecil dan tidak mengeluarkan pelakunya dari dien ini sebagaimana hal itu telah dijelaskan oleh para ulama di dalam tafsir mereka terhadap ayat-ayat tersebut.

Wa billahi at-Taufiq. Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam.

Kumpulan Fatwa Lajnah Da’imah,

hal. 540.

Pertanyaan:

Apakah para penguasa yang berhukum kepada hukum selain Allah dianggap sebagai kafir? Bila kita mengatakan, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang Islam, bagaimana pula kita mengomentari Firman Allah ‘azza wa jalla, “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Ma`idah: 44)?

Jawaban:

Vonis terhadap para penguasa yang tidak berhukum kepada hukum Allah ada beberapa macam dan berbeda-beda sesuai dengan keyakinan dan pebuatan-perbuatan mereka; Siapa saja yang berhukum kepada selain hukum Allah dan berpendapat bahwa hal itu lebih baik dari syariat Allah, maka dia kafir menurut pandangan seluruh kaum Muslimin, demikian pula (hukum) terhadap orang yang berhukum kepada undang-undang buatan manusia sebagai pengganti syariat Allah dan berpendapat bahwa hal itu adalah boleh. Andaikata dia berkata, “Sesungguhnya berhukum kepada syariat adalah lebih afdhal (utama)”, maka dia juga telah kafir karena telah menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah.

Sedangkan orang yang berhukum kepada selain hukum Allah karena mengikuti hawa nafsu, disuap, adanya permusuhan antara dirinya dan orang yang dihukum atau karena sebab-sebab lainnya sedangkan dia mengetahui bahwa dengan begitu, dia telah berbuat maksiat kepada Allah dan sebenarnya adalah wajib baginya berhukum kepada syariat Allah, maka dia dianggap sebagai orang yang berbuat maksiat dan dosa-dosa besar serta telah melakukan kekufuran yang kecil, kezhaliman yang kecil dan kefasikan yang kecil sebagaimana makna yang ditafsirkan oleh hadits dari Ibnu Abbas rahimahullah , Thawus serta beberapa golongan as-Salaf ash-Shalih dan pendapat yang dikenal di kalangan para ulama. Wallahu Waliyu at-Taufiq.

Fatwa Syaikh Ibnu Baz, Majalah ad-Da’wah, Vol. 963, th. 1405 H.

Pertanyaan:

Bagaimana hukum terhadap orang yang berhukum kepada selain hukum Allah?

Jawaban:

Sesungguhnya berhukum kepada hukum Allah termasuk ke dalam kategori tauhid rububiyah karena ia merupakan pelaksanaan terhadap hukum Allah yang merupakan inti kerububiyahanNya, kesempurnaan kekuasaan dan kewenangan (hak berbuat)Nya. Karenanya, Allah ‘azza wa jalla menamai orang-orang yang diikuti perintahnya di dalam berhukum kepada selain hukum Allah sebagai Arbab (rabb-rabb) bagi orang yang mengikuti mereka sebagaimana Firman Allah ‘azza wa jalla, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31).

Dalam ayat tersebut, Allah menamai orang-orang yang diikuti perintahnya di dalam berhukum kepada selain hukum Allah tersebut sebagai Arbab karena mereka dinobatkan sebagai para pembuat syariat di samping Allah ‘azza wa jalla (satu-satunya Yang berhak untuk itu, pent.). Allah juga menamai para pengikut mereka dengan ‘Ibad‘ (para hamba) karena tunduk dan mematuhi perintah mereka (para panutan) di dalam menentang hukum Allah ‘azza wa jalla.

‘Adiy bin Hatim pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya mereka (para pengikut) tidak menyembah mereka (para pembuat syariat selain Allah).” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَلٰى، إِنَّهُمْ حَرَّمُوْا عَلَيْهِمُ الْحَلَالَ وَأَحَلُّوْا لَهُمُ الْحَرَامَ فَاتَّبَعُوْهُمْ، فَذٰلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ.

Tidak demikian, sesungguhnya mereka telah mengharamkan kepada mereka sesuatu yang halal, dan mengharamkan bagi mereka sesuatu yang halal lalu mereka mengikuti mereka, itulah bentuk ibadah mereka terhadap mereka.[3]

Bila anda telah memahami akan hal ini, maka perlu anda ketahui pula bahwa orang yang tidak berhukum kepada hukum Allah dan ingin agar putusan hukum diserahkan kepada selain Allah dan RasulNya, terkait dengan hal ini ada beberapa ayat yang menafikan iman orang tersebut dan memvonisnya dengan hukum kafir, zhalim dan fasiq.

Sedangkan bagian pertama (yakni ayat-ayat yang menafikan imannya), adalah seperti Firman Allah ‘azza wa jalla, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa`: 60-65).

Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan beberapa sifat terhadap orang-orang yang mengklaim beriman padahal mereka itu adalah orang-orang munafiq, di antaranya:

Pertama, bahwa mereka ingin menyerahkan putusan hukum kepada thaghut, yakni setiap hal yang bertentangan dengan hukum Allah ‘azza wa jalla dan RasulNya sebab apa saja yang bertentangan dengan hukum Allah dan RasulNya, maka ia adalah melampaui batas dan melawan hukum Allah, Pemilik hukum dan kembalinya segala sesuatu kepadaNya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54).

Kedua, bahwa bila mereka diajak untuk berhukum kepada hukum Allah dan RasulNya, mereka menghalang-halangi dan berpaling.

Ketiga, bahwa bila mereka ditimpa oleh suatu musibah akibat perbuatan tangan mereka sendiri, di antaranya dipergokinya perbuatan mereka; mereka datang sembari bersumpah bahwa yang mereka inginkan hanyalah untuk maksud baik dan beradaptasi (dengan sikon) seperti halnya orang-orang dewasa ini yang menolak hukum-hukum Islam dan berhukum kepada undang-undang yang menyelisihinya dengan mengklaim bahwa hal itu adalah bentuk berbuat baik yang selaras dengan kondisi zaman.

Lalu dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan mereka yang mengklaim beriman tadi dan memiliki beberapa sifat di atas bahwa Dia Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka dan apa yang mereka simpan terkait dengan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang mereka ucapkan. Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan NabiNya agar menasehati mereka dan berkata tentang diri mereka dengan perkataan yang tegas (menyentuh hati).

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa hikmah dari diu-tusnya seorang Rasul adalah agar dia yang ditaati dan diikuti, bukan untuk mengikuti manusia selainnya, meskipun -yang selainnya ini- otaknya prima dan wawasannya luas. Setelah itu, Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah melalui kerububiyahanNya untuk RasulNya di mana ini merupakan salah satu jenis rububiyahNya yang paling khusus dan mengandung isyarat akan kebenaran risalah beliau. Allah bersumpah dengan hal itu sebagai penegasan bahwa iman seseorang tidak akan benar kecuali memenuhi tiga hal:

Pertama, menyerahkan putusan hukum dalam berbagai perselisihan kepada RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, berlapang dada terhadap putusan beliau dan tidak boleh ada perasaan tidak puas dan sesak di dalam dirinya.

Ketiga, adanya penyerahan diri secara total dengan cara me-nerima putusan hukum yang beliau berikan dan melaksanakannya tanpa ditunda-tunda atau menyimpang darinya.

Sedangkan bagian kedua (yakni ayat-ayat yang memvonis kafir, zhalim dan fasiq terhadap orang tersebut, pent.) adalah seperti Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Ma`idah: 44),

juga FirmanNya,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” (Al-Ma`idah: 45).

serta FirmanNya,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Ma`idah: 47).

Dalam hal ini, apakah tiga sifat tersebut dialamatkan kepada satu orang saja? Dalam artian, bahwa tiap orang yang tidak berhu-kum kepada hukum Allah, maka dia kafir, zhalim dan fasiq sebab Allah ‘azza wa jalla memberikan sifat kepada orang-orang kafir sebagai orang-orang yang zhalim dan fasiq juga, sebagaimana FirmanNya,

وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 254).

dan FirmanNya,

إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (At-Taubah: 84).

Maka kemudian, apakah setiap orang yang kafir adalah juga zhalim dan fasiq? Ataukah sifat-sifat tersebut dialamatkan kepada dua orang berdasarkan alasan mereka enggan berhukum kepada hukum Allah? Pendapat terakhir inilah menurut saya, pendapat yang paling mendekati kebenaran. Wallahu alam.

Kami tegaskan, barangsiapa yang tidak berhukum kepada hukum Allah karena meremehkan, mengejeknya atau mayakini bahwa selainnya adalah lebih cocok dan bermanfaat bagi makhluk, maka dia telah kafir yang mengeluarkan dirinya dari dien ini. Di kalangan orang-orang seperti ini, ada yang membuat undang-undang yang bertentangan dengan syariat Islam sebagai manhaj yang harus dijalani oleh manusia. Tentunya, mereka itu tidaklah melakukan hal itu kecuali disertai keyakinan bahwa ia lebih cocok dan bermanfaat bagi makhluk sebab termasuk hal yang esensial patut diketahui secara akal dan fitrah bahwa manusia tidak akan berpaling dari suatu manhaj ke manhaj lain yang bertentangan dengannya kecuali dia memang meyakini kelebihan manhaj yang lain tersebut dan kelemahan manhaj sebelumnya.

Dan, orang yang tidak berhukum kepada hukum Allah sedangkan dia tidak meremehkan dan mengejeknya serta tidak meyakini bahwa selainnya lebih cocok dan bermanfaat bagi makhluk, hanya saja dia berhukum kepada selain hukumNya dalam rangka ingin mengerjai terpidana karena balas dendam pribadi terhadapnya atau alasan lainnya; maka dia adalah orang yang zhalim bukan kafir. Sementara tingkatan kezhalimannya berbeda-beda tergantung kepada kondisi terpidana dan perangkat hukumnya.

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah rahimahullah, berkenaan dengan orang menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai Rabb selain Allah, menyatakan bahwa mereka ini terbagi kepada dua kategori:

Pertama, mereka megetahui bahwa para penguasa telah mengganti dien Allah namun mereka tetap mengikuti dan meyakini kehalalan sesuatu yang sebenarnya telah diharamkan Allah dan keharaman sesuatu yang telah dihalalkan olehNya karena mengikuti para pemimpin mereka tersebut padahal mereka mengetahui betul bahwa hal itu menyalahi dien para Rasul. Ini hukumnya kafir dan Allah dan RasulNya telah menjadikannya sebagai kesyirikan.

Kedua, keyakinan dan keimanan mereka terhadap kehalalan sesuatu yang sebenarnya haram dan keharaman sesuatu yang se-benarnya halal -demikian ungkapan asli yang dinukil dari Syaikhul Islam- memang demikian adanya, namun mereka mentaati mereka (para pemimpin mereka) di dalam hal maksiat kepada Allah sama seperti tindakan seorang Muslim ketika melakukan perbuatan-perbuatan maksiat bahwa ia hanya meyakininya sebagai perbuatan maksiat; maka mereka itu hukumnya seperti hukum para pelaku dosa semisal mereka.

Kumpulan Fatwa Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 208-212.

[1]     Lihat: Fatawa asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh, Juz 12, hal.289-290.

[2]     Ibid, hal. 280.

[3]     Sunan at-Tirmidzi, Kitab at-Tafsir, no. 3095; ath-Thabary di dalam tafsirnya, Juz VI, hal. 80-81.