Menetapkan rububiyah Allah bisa melalui jalan membaca dan memperhatikan ayat-ayatNya. Ayat dalam bahasa adalah tanda yang jelas lagi nyata, dan ayat-ayat Allah yang jelas adalah tanda-tanda yang nyata atas rububiyah dan IlahiyahNya. Ayat-ayat ar-Rabb adalah bukti-bukti dan argumentasi-argumentasiNya yang dengannya hamba-hamba mengenalNya, dengannya mereka mengetahui nama-namaNya, sifat-sifatNya, tauhidNya, perintah dan laranganNya. Para rasul mengabarkan dariNya dengan firmanNya yang mana Dia berfirman dengannya, ia adalah ayat-ayat qauliah, dan para rasul berdalil atas semua itu kepada obyek-obyek penciptaanNya yang menetapkan keabsahan hal itu, dan ini adalah ayat-ayat kauniah, sedangkan akal menggabungkan antara keduanya.

Karena ayat-ayat Allah adalah jelas, maka ia bisa dipahami oleh siapa pun, ketetapannya tidak bergantung kepada ilmu perhitungan atau ilmu alam atau ilmu mantiq, tidak juga bergantung kepada latihan moral tertentu sebagaimana yang terjadi pada argumentasi para ahli filsafat, ahli kalam dan orang-orang sufi.

Dikisahkan dari Abu Hanifah bahwa sebagian ahli kalam mendatanginya hendak mengkaji bersamanya dalam menetapkan Tauhid Rububiyah.

Maka Abu Hanifah berkata kepada mereka, “Katakan kepadaku sebelum kita membicarakan masalah ini tentang sebuah perahu di sungai Dajlah, perahu tersebut penuh dengan makanan, barang-barang dan lainnya, ia pulang dan pergi, hilir dan mudik sendiri, memuat dan membongkar sendiri, semua itu tanpa ada yang mengaturnya.” Mereka menjawab, “Ini tidak masuk akal, tidak mungkin sama sekali.” Maka Abu Hanifah berkata, “Bila hal itu tidak mungkin pada sebuah perahu, lalu bagaimana dengan alam ini, bagian atas dan bagian bawahnya?” Hikayat seperti ini juga dikisahkan dari selain Abu Hanifah.

Karena tauhid yang dituntut adalah Tauhid Ilahiyah yang mencakup Tauhid Rububiyah, bahwa syahadat laa ilaha illallah tidak berguna bagi seorang hamba kecuali setelah ia dijelaskan, dan hal ini berkonsekuensi menjelaskan rububiyah lalu disambung dengan ilahiyah, oleh karena itu Allah menjelaskan hal itu kepada kita dalam al-Qur`an melalui ayat-ayat yang sangat jelas sehingga tidak lagi memerlukan qiyas atau perasaan.

Bila seorang hamba tidak mengambil manfaat dari syahadat tauhid kecuali dengan penjelasannya, maka Allah Ta’ala telah menjelaskannya sejelas-jelasnya melalui tiga jalan: pendengaran, penglihatan dan akal.

Pendengaran, yaitu dengan mendengar ayat-ayatNya yang dibaca yang menjelaskan sifat-sifat kesempurnaanNya kepada kita, sifat keesaan dan lainnya dengan sangat jelasnya, bukan sebagaimana yang diklaim oleh Jahmiyah dan orang-orang yang sependapat dengan mereka dari kalangan Mu’tazilah dan ahli ta’thil terhadap sebagian sifat-sifat Allah bahwa ayat-ayat tersebut mungkin menjerumuskan ke dalam kebingungan, yang bertentangan dengan penjelasan di mana Allah Ta’ala menyifati kitabNya yang mulia dan RasulNya yang agung dengannya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “ Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat al-Kitab (al-Qur`an) yang nyata (dari Allah).” (Yusuf: 1).

Demikian juga dengan sunnah, ia hadir menjelaskan dan menetapkan petunjuk al-Qur`an, sehingga Rabb kita tidak membuat kita memerlukan kepada pendapat fulan atau perasaan fulan dalam perkara dasar agama kita.

Dari sini maka kita melihat orang-orang yang menyelisihi al-Qur`an dan sunnah dalam keadaan berselisih dan goncang, lebih dari itu Allah Ta’ala telah berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Aku ridhai Islam itu sebagai agama bagimu.” (Al-Maidah: 3), sehingga ia tidak memerlukan sesuatu dari luar al-Qur`an dan sunnah untuk menyempurnakannya.

Adapun ayat-ayat penciptaanNya yang bisa dilihat, maka memperhatikannya dan berdalil kepadanya menunjukkan sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat-ayat qauliah sam’iah.
Allah berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring, mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi, mereka berkata, ‘Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, jagalah kami dari siksa api neraka.” (Ali Imran: 190-191).

Akal menggabungkan antara keduanya, memastikan kebenaran apa yang dibawa oleh para rasul, sehingga kesaksian pendengaran, penglihatan, akal dan fitrah berjalan selaras.

Syarah Thahawiyah, Ibnu Abul Izz al-Hanafi, Tartib Dr. Khalid Fauzi Hamzah.