KPRMuqaddimah

Krisis iman dan krisis ekonomi dewasa ini ditambah dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang demikian tinggi di negara ini. Semakin besar kebutuhan masyarakat terhadap perumahan yang menuntut mereka berusaha merealisasikannya. Untuk itu mereka mencari rumah hunian pribadi yang harganya semakin lama semakin tinggi dan mahal, banyak yang tidak mampu membeli rumah secara tunai. Solusinya agar mereka bisa tinggal dirumah sendiri tanpa menumpang dirumah orang tua atau mertua, adalah dengan mengontrak atau membeli rumah dengan jalur KPR.

Namun krisis iman dan ekonomi serta kepribadian islam membuat mereka mencari solusi tanpa memandang halal dan haram. Bahkan mendapatkannya dengan harga selangitpun tidak dihiraukan lagi. Bermunculanlah KPR yang berjumlah banyak dan besar di seluruh Indonesia.

Perlu diketahui KPR ini merupaan produk bank yang menawarkan “bantuan” kepada masyarakat, dengan jangka waktu maksimal yang ditawarkan selama 15 tahun. Biasanya orang mengajukan jangka waktu kredit terpanjang supaya cicilan perbulannya kecil. Namun, makin lama jangka waktu kredit, makin besar pula total pembayaran kredit yang jarus dibayar.

Dahulu umumnya KPR didominasi oleh bank konvensional, namun seiring dengan minat masyarakat melakukan kegiatan ekonomo berbasis syariat, maka perbankan syariat pun sudah banyak berkecimpung dalam properti ini. Bank-bank syariat menawarkan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) dengan sistem IMBT (Ijaarah al-Muntahiyah Bit Tamlik).

Apa itu IMBT?

Banyak ekonom syariat mendefinisikan IMBT sebagai Sewa yang diakhiri dengan pemindahan pemilikan barang; Sejenis perpaduan antara kontrak jual-beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Atau IMBT merupakan akad sewa menyewa antara bank dan nasabah yang disertai opsi kepemilikan kepada nasabah di akhir masa sewa. Berbeda dengan sewa beli biasa yang menjadikan penyewa otomatis menjadi pemilik barang di akhir masa sewa.

Supaya IMBT Tidak Melanggar Syari’at.

Para ulama yang tergabung dalam Majlis Majma’ al-Fiqh al-Islami internasional yang merupakan bagian dari Munazhomah al-Mu’tamar al-Islami (OKI) dalam daurahnya yang ke-12 di kota Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia[1] menjelaskan kreteria IMBT yang tidak melanggar syariat. Mereka melakukan muktamar dengan melihat makalah-makalah yang disampaikan kepada al-Majma’ berkenaan dengan masalah sewa yang berakhir dengan pemilikan (al-Ijaar al-Muntahi bittamliik) . Juga setelah mendengar diskusi yang berkisar masalah ini dengan peran serta anggota al-majma’ dan para pakarnya serta sejumlah ahli fikih, menetapkan kreterianya.

Mereka membagi kreteria menjadi dua :

[]Pertama: ketentuan bentuk-bentuknya yang terlarang adalah adanya dua transaksi yang berbeda dalam satu waktu pada satu barang di satu waktu. Oleh karena itu majlis majma’ fikih Islami ini menyampaikan beberapa bentuk IMBT yang terlarang, yaitu:

a. Transaksi sewa berakhir dengan pemilikan barang yang disewa sebagai kompensasi (imbalan) pembayaran penyewa selama masa tertentu tanpa dilakukan lagi transaksi baru, dimana sewa berubah secara otomatis diakhir masa sewa sebagai jual beli.

b. Penyewaan barang milik seseorang dengan uang sewa tertentu dan masa tertentu dengan transaksi jual beli yang bergantung pada pembayaran seluruh nilai sewa yang sudah disepakati selama masa tertentu tersebut atau diberikan tambahan waktu dimasa setelahnya.

c. Transaksi sewa menyewa murni dan di gabungkan padanya jual beli dengan khiyar syarat untuk kepentingan yang menyewakan (al-Mu`jir) dan itu berupa tempo sampai waktu yanng lama dan terbatas yaitu akhir masa transaksi sewa menyewa.

Inilah isi dari fatwa dan ketetepan yang berasal dari komite ilmiyah dan diantaranya juga komite ulama besar di kerajaan Saudi Arabia.

Kedua: Ketentuan bentuk-bentuk yang diperbolehkan:

1. Adanya dua transaksi yang terpisah setiap darinya berdiri sendiri dari yang lainnya secara waktu. Dimana transaksi jual beli dipermanenkan setelah transaksi ijaarah (sewa menyewa) atau adanya janji kepemilikan di akhir masa sewa dan hak khiyaar setara dengan jani tersebut dalam hukum.

2. Sewa menyewa tersebut benar-benar ada (Fi’liyyah) bukan sebagai kamuflase (saatirah) jual beli.

a. Jaminan (dhamaan) barang yang disewakan adalah tanggung jawab pemilik, bukan pada penyewa. Dengan demikian penyewa tidak memikul semua yang menimpa barang tersebut yang ada bukan dari kesengajaan atau keteledoran penyewa. Penyewa tidak diwajibkan sama sekali apabila manfaat barang hilang.

b. Apabila transaksi mengandung asuransi barang sewaan, maka wajib asuransinya ta’awuni syariat bukan konvensional dan yang bertanggung jawab (bayar) adalah pemilik atau yang memberikan sewaan (al-Mu`jir) bukan kepada orang yang menyewanya (al-Musta`jir).

c. Diwajibkan penerapan hukum-hukum sewa menyewa selama masa penyewaan pada transaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan dan penerapan hukum-hukum jual beli ketika pemilikan barang tersebut.

d. Nafkah pemeliharaan yang tidak menyangkut operasional tanggung jawab pemberi sewaan (al-Mu`jir) bukan kepada penyewa (al-Musta`jir) selama masa penyewaan.

Karena itu mereka memperbolehkan bentuk-bentuk IMBT berikut ini:

a. Transaksi sewa menyewa yang memungkinkan penyewa (al-Musta`jir) memanfaatkan barang sewaan dengan kompensasi membayar sejumlah uang sewa tertentu dalam masa tertentu dan bergabung dengannya transaksi pemberian (Hibah) kepada penyewa (al-Musta`jir) bergantung kepada pelunasan seluruh uang sewa. Hal tersebut dengan transaksi baru lagi. Atau juga janji memberikan (hibah) setelah pelunasan seluruh uang sewa. Ini sesuai dengan ketetapan al-Majma’ tentang masalah al-Hibah no. 13/1/3 dalam daurah ke-3.

b. Transaksi penyewaan dengan pemilik memberikan al-Khiyaar (hak pilih) kepada penyewa (al-Musta`jir) setelah selesai pelunasan angsuran sewa yang seharusnya selama masa tersebut dalam pembelian barang sewaan tersebut dengan harga umumnya (harga pasar) ketika selesai masa penyewaan. Hal ini berdasarkan pada ketetapan al-Majma’ no. (44) 6/5 dalam daurah ke -5

c. Transaksi penyewaan yang memungkinkan penyewa (al-Musta`jir) memanfaatkan barang sewaan dengan kompensasi pembayaran uang sewa tertentu dalam masa tertentu. Lalu digabungkan dengannya janji jual beli barang sewaan kepada penyewa (al-Musta`jir) setelah selesai pelunasan seluruh uang sewa dengan nilai harga yang disepakati kedua belah pihak.

d. Transaksi penyewaan yang memungkinkan penyewa (al-musta’jir) memanfaatkan barang sewaannya dengan kompensasi membayar uang sewa tertentu dalam masa tertentu . pemberi sewa (al-Mu`jir) memberikan kepada penyewa (al-Musta`jir) hak khiyaar untuk memiliki barang sewaan kapan saja suka dengan syarat jual beli sempurna pada waktunya dengan transaksi baru sesuai harga umumnya (harga pasar). Hal ini berdasarkan ketetapan al-Majma’ terdahulu no. (44) 6/5 atau sesuai kesepakatan pada waktu tersebut.[2]

Demikian juga menurut fatwa Dewan Syariah Nasional No.27/DSN-MUI/III/2002 tentang IMBT, yang mengharuskan terlaksananya akad ijaarah dulu, lalu akad pemindahan kepemilikan (jual beli/hibah) hanya dapat dilakukan setelah masa ijaarah selesai. Karena itu janji pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad atau janji yang hukumnya tidak mengikat. Jadi jika janji tersebut ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah (sewa) selesai.[3]

Demikian ketentuan IMBT yang seharusnya diterapkan dalam KPR syari’at berbasis sistem IMBT, sehingga dapat menghindari larangan adanya dua transaksi yang berbeda dalam satu waktu pada satu barang di satu waktu yang dilarang Rasulullah n dalam hadits yang berbunyi,

نهى رسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli.” (hadits shahih riwayat at-tirmidzi).

Lalu Bagaimana KPR Syariat?

KPR syariat bila memenuhi kreteria yang disampaikan para ulama maka diperbolehkan dan bila tidak maka tidka boleh. Untuk itu perlu adanya kejujuran dan keahlian menerapkan kaedah ini dalam semua jenis IMBT yang ada, termasuk IMBT dalam KPR syariat.

Semoga kita semua tidak mudah mempercayai istilah yang ada dan mampu memilah-milih mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang?

Wabillahittaufiq.

(Oleh: Ustadz Khalid Syamhudi, Lc)

_________________________

[1] Pertemuan ini diselenggarakan pada tanggal 5 Jumada al-akhirah 1321 Hijriyah hingga awal bulan Rajab 1421 H = 23-28 September 2000 M
[2] Fatwa ini kami ambil dengan beberapa perubahan.
[3] Fatwa ini disampaikan penulis secara bebas tidak terikat dengan teks fatwanya yang asli.

[Sumber: www.klikUk.com]