fiqih iddahIddah dari al-addu yang berarti hitungan, maksudnya adalah masa tunggu yang wajib dilakoni oleh wanita sesudah berpisah tanpa menikah. Di antara hikmahnya adalah memastikan kebebasan rahim agar tidak disiram oleh dua air yang berbeda, akibatnya terjadi percampuran nasab. Menghargai pernikahan, masuk dengan khitbah dan keluar darinya dengan iddah. Memberi kesempatan suami, istri dan anak-anak untuk menimbang kemaslahatan. Lebih dari itu adalah menjalankan perintah Allah.

Laki-laki beriddah?

Tidak, boleh baginya menikah sesudah berpisah dengan istri tanpa menunggu masa iddah istri, kecuali bila ada penghalang, misalnya suami beristri empat, mentalak salah satu dari mereka, kemudian hendak menikah dengan wanita lain, untuk bisa menikah dengan wanita lain, suami harus menunggu habis masa iddah istri yang ditalak, karena bila istri yang ditalak belum habis masa iddah, maka suami masih beristri empat, jadi dia belum boleh nambah, atau seorang suami mentalak istri dan hendak menikahi saudaranya atau bibinya, suami belum boleh hingga istri menyelesaikan masa iddahnya.

Macam-macam Iddah

1- Wanita yang belum digauli, bila ditalak, tidak wajib iddah, sebagaimana sudah dijelaskan, dalilnya adalah firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا [الأحزاب : 49]

Wahai orang-orang yang beriman, bila kalian menikahi wanita-wanita beriman kemudian kalian mentalak mereka sebelum menyentuh mereka maka kalian tidak punya iddah atas mereka yang kalian tunggu…” Al-Ahzab: 49. Tetapi bila suaminya wafat, maka iddahnya adalah iddah wafat.

2- Wanita yang masih haid dan sudah bercampur dengan suaminya, iddahnya adalah tiga haid, firman Allah,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ [البقرة : 228]

Wanita-wanita yang ditalak menahan diri selama tiga kali quru`.” Al-Baqarah: 228. Quru` adalah haid menurut pendapat yang lebih dekat. Iddahnya habis dengan selesainya haid ketiga, apakah harus mandi? Jumhur ulama berkata, ya.

3- Wanita yang ditalak, dia belum haid atau tidak haid, iddahnya tiga bulan sejak jatuh talak, berdasarkan firman Allah, Allah berfirman,

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ [الطلاق : 4]

Wanita-wanita yang sudah tidak haid, bila kamu tidak tahu tentang masa iddahnya, maka iddah mereka adalah tiga bulan, demikian juga wanita-wanita yang belum haid.” Ath-Thalaq: 4.

4- Wanita hamil, iddahnya adalah melahirkan, berdasarkan firman Allah,

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ [الطلاق : 4]

Dan iddah wanita-wanita hamil adalah melahirkan…” Ath-Thalaq: 4.

5- Wanita yang suaminya wafat dan tidak hamil, iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, firman Allah,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا [البقرة : 234]

Orang-orang yang wafat di antara kalian dan meninggalkan istri-istri mereka, maka para istri menunggu selama empat bulan sepuluh hari.” Al-Baqarah: 234.

6- Wanita yang suaminya wafat dan dia hamil, iddahnya adalah melahirkan menurut pendapat yang lebih kuat, berdasarkan fatwa Nabi kepada Subai’ah al-Aslamiyah manakala suaminya wafat dan dia hamil, Subai’ah berkata, “Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam mengizinkanku menikah bila sudah melahirkan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Peralihan Iddah
Dari bulan ke haid, bila wanita beriddah dengan bulan, di tengah iddah dia haid, maka dia beralih dari iddah bulan ke iddah haid.
Dari haid ke bulan, bila wanita beriddah dengan haid, di tengah iddah haidnya berhenti, maka dia beralih dari iddah haid ke iddah bulan.
Dari iddah talak ke iddah wafat, bila dalam masa iddah dari talak raj’i, suami yang mentalak wafat, maka istri beralih ke iddah wafat, empat bulan sepuluh hari, bila iddah dari talak ba`in, maka tidak beralih.
Dari haid ke hamil, bila dalam masa iddah haid, istri terbukti hamil dari suami, maka dia beralih ke iddah hamil, yaitu melahirkan. Wallahu a’lam.

Di mana Istri Beriddah?

Untuk talak raj’i, istri beriddah di rumah yang dia tinggali bersama suaminya sebelum terjadi talak, berdasarkan firman Allah,

لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ [الطلاق : 1]

Jangan mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka dan mereka juga jangan keluar darinya kecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang terbukti.” (Ath-Thalaq: 1).

Untuk talak ba`in, istri beriddah di mana dia ingin, karena hubungan suami istri sudah putus dan sulitnya rujuk di antara keduanya. Nabi mengizinkan Fatimah binti Qais agar beriddah di rumah Ibnu Ummi Maktum saat suaminya mengirimkan talaknya yang ketiga. Diriwayatkan oleh Muslim.

Untuk pisah wafat, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berkata, beriddah di rumah yang ditinggali bersama suaminya sebelum wafat. Sebagian ulama berpendapat beriddah di mana dia ingin.

Furai’ah binti Malik, suaminya dibunuh oleh budak-budaknya, dia datang kepada Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam meminta izin untuk pulang ke keluarganya karena suaminya meninggalkannya tanpa rumah yang dimiliknya, maka Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Boleh.” Manakala dia beranjak pergi, Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan memintanya untuk mengulang perkataannya, maka Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggallah di rumahmu hingga masa iddahmu selesai.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa`i. At-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.” Dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi.

Nafkah dan Sakan(Tempat Tinggal) Masa Iddah

Untuk talak raj’i, istri berhak nafkah dan sakan selama masa iddah, karena ia adalah istri. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Fatimah binti Qais, “Nafkah dan sakan hanya untuk istri yang suaminya mungkin merujuknya.” Diriwayatkan oleh an-Nasa`i dengan sanad shahih.

Untuk talak ba`in, bila istri hamil, istri berhak nafkah dan sakan hingga melahirkan, berdasarkan firman Allah,

وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ [الطلاق : 6]

Dan bila mereka hamil maka nafkahilah mereka hingga melahirkan.” Ath-Thalaq: 6.

Bila istri tidak hamil, istri tidak berhak nafkah dan sakan menurut pendapat yang shahih, berdasarkan hadits Fatimah binti Qais yang ditalak ba`in oleh suaminya, lalu dia menuntut nafkah dan sakan kepada Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, Fatimah berkata, “Nabi tidak menetapkan hak nafkah dan sakan untukku.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Dari sisi pertimbangan, nafkah dan sakan ditetapkan untuk mengantisipasi kemungkinan rujuk, lalu adakah peluang rujuk sesudah talak tiga?

Untuk pisah wafat, pendapat yang shahih, tidak ada nafkah untuknya, hamil atau tidak hamil, karena kewajiban nafkah atas suami gugur dengan kematian, akan tetapi dia mendapatkan hak waris, dan bila hamil maka anaknya juga mendapatkan hak waris.

Mut’ah Talak

Mut’ah adalah sesuatu yang diberikan suami kepada istri yang ditalaknya, Allah berfirman,

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ [البقرة : 241]

Untuk wanita-wanita yang talak hak mut’ah dengan cara yang ma’ruf sebagai hak wajib atas orang-orang yang bertakwa.” Al-Baqarah: 241.

Para ulama berbeda pendapat tentang mut’ah ini, pendapat yang shahih, ia wajib atas suami untuk semua istri yang ditalak, berdasarkan keumuman ayat di atas, kecuali istri yang ditalak dan belum disentuh sementara maharnya sudah ditentukan, karena dia sudah mendapatkan setengah mahar. Wallahu a’lam.