Sesungguhnya  berbicara adalah pekerjaan yang tidak membuat orang lelah. Oleh karena itu, sangat mudah sekali seseorang berbicara dengan lisannya dan sangat mudah sekali setan memperdaya untuk banyak bicara, menghancurkan harga diri manusia, dan terjerumus dalam ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), dan lain sebagainya. Karena setan telah mengancam Adam –عَلَيْهِ السَّلَامُ- dan anak keturunannya, sebagaimana yang telah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-kabarkan dalam firman-Nya,

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya. (al-Hijr: 39).

Suatu hal yang maklum, bahwa tipu daya setan sangatlah lemah. Dengan demikian, dia tidak mampu menguasai seluruh manusia secara mutlak, melainkan hanya mampu menguasai orang-orang yang bukan mukhlis. Oleh karena itu, ketika iblis mengancam anak keturunan Adam dia berkata, -sebagaimana yang telah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-kabarkan kepada kita:

إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

“Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis [1] di antara mereka.” (al-Hijr: 40).

Jadi, wajib atas manusia untuk mewaspadai tipu daya setan dan mengerahkan semua kemampuan untuk menjadi hamba-hamba Allah yang mukhlis. Wajib atas manusia untuk mengetahui, bahwa banyak berbicara dapat menjerumuskannya pada kesalahan. Karena setiap kalimat yang dia ucapkan akan diperhitungkan, sebagaimana yang telah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-kabarkan dalam firmanNya,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18).

Oleh karena itu, Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-mengancam kita dari syahwat ucapan, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis di bawah ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسُ الْجَنَّةَ، فَقَالَ : تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ، وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ ، فَقَالَ : اَلْفَمُ وَالْفَرْجُ

“Dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-berkata, Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pernah ditanya tentang perkara yang paling banyak menyebabkan manusia masuk Surga. Beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menjawab, ‘Takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia. Beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-juga pernah ditanya tentang perkara yang paling banyak menyebabkan manusia masuk Neraka. Beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab : “Mulut dan kemaluan.” [2]

Beliau-صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga bersabda,

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Siapa yang menjamin apa yang ada di antara dua rahangnya (mulut) dan yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) untukku, maka aku akan menjamin surga untuknya.” [3]

Yang ada di antara dua rahangnya adalah mulut dan yang ada di antara dua kakinya adalah kemaluan. Dengan demikian, apabila seseorang bangun pagi, seluruh anggota tubuh (kedua tangan, kedua kaki, kedua mata…) akan mengingkari lisan. Karena terkadang lisan mengucapkan suatu kalimat yang tidak dipikirkan lagi lalu menjerumuskannya ke dalam api Neraka.

Mari kita perhatikan dengan seksama percakapan yang terjadi antara Muadz bin Jabal-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – dan Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, nicaya kita akan banyak mendapatkan pelajaran dan nasehat:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَصْبَحْتُ يَوْمًا قَرِيْبًا مِنْهُ وَنَحْنُ نَسِيْرُ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ قَالَ لَقَدْ سَأَلْتَنِي عَنْ عَظِيْمٍ وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ عَلَيْهِ تَعْبُدُ اللهَ وَلَا تُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ وَتَحُجُّ الْبَيْتَ ثُمَّ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ اَلصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا تُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ قَالَ ثُمَّ تَلَا { تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ } حَتَّى بَلَغَ { يَعْمَلُوْنَ } ثُمَّ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ اْلأَمْرِ كُلِّهِ وَعَمُوْدِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ ؟ قُلْتُ بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ قَالَ رَأْسُ اْلأَمْرِ اَلْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ اَلصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ اَلْجِهَادُ ثُمَّ قَالَ : أَلَا أُخْبِرُ كَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ قُلْتُ : بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ.قَالَ : رَأْسُ اْلأَمْرِ الإِسْلَامُ, وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ, وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ. ثُمَّ قَالَ  : أَلَا أُخْبِرُ كَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ قُلْتُ : بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ.

فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا فَقُلْتُ يَا نَبِيَّ اللهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ !

 Dari Muadz bin Jabal-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –berkata, “Aku pernah bersafar bersama Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Pada suatu hari aku berdekatan dengan beliau sambil berjalan bersama.” Aku berkata kepada beliau,Wahai Rasulullah, kabarkanlah kepadaku tentang suatu amalan yang dapat memasukanku ke Surga dan menjauhkanku dari api Neraka!” Beliau bersabda, “Sungguh kamu telah bertanya kepadaku tentang perkara yang besar, padahal perkara itu sangat mudah untuk diamalkan bagi orang yang Allah berikan kemudahan, (hendaknya) Kamu menyembah Allah dan tidak berbuat kesyirikan kepadanya sedikitpun, kamu melaksanakan shalat, kamu membayar zakat, kamu berpuasa pada bulan Ramadhan, dan kamu melaksanakan ibadah haji.” Kemudian beliau bersabda, Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah tameng, sedekah dapat memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam.”  

Kemudian Muadz berkata, Kemudian beliau membaca,

تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya.” [4] (as-Sajdah: 16).

Lalu beliau bersabda, “Maukah kamu aku kabarkan tentang pokok perkara itu semua, tiangnya, juga puncaknya?” Aku menjawab, “Tentu wahai Rasulullah. Beliau bersabda, “Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” Kemudian beliau bersabda, “Maukah kamu aku kabarkan tentang penentu perkara itu semua?” Aku menjawab, Tentu wahai Nabiyullah. Lalu beliau menunjuk lisannya seraya bersabda, “Tahanlah ini olehmu!” Aku berkata, “Wahai Nabiyullah, apakah kami akan disiksa oleh karena perkataan-perkataan yang kami ucapkan?” Beliau menjawab, “Celakalah kamu wahai Muadz, tidak ada perkara yang menjerumuskan manusia ke dalam Neraka di atas wajah atau hidung mereka melainkan hasil panen lisan (perkataan-perkataan) mereka. [5]

Hadis di atas menunjukkan tentang bahaya melepaskan lisan dan pentingnya berpikir sebelum kamu ingin berbicara, apakah ucapan itu baik atau buruk? Jika ucapan itu baik, maka bicaralah! Jika ucapan itu buruk, maka diam dan berlindunglah kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-dari setan yang terkutuk! Kemudian, jika ucapan itu adalah laghwu yaitu ucapan yang tidak ada faedahnya, maka diamlah dan jangan ikut bicara! Karena berbicara tentang hal yang laghwu sering menjerumuskan pelakunya dalam kesalahan.

Contoh: Apabila kamu ingin menceritakan tentang kejadian tertentu kepada temanmu yang pada akhirnya tidak membuahkan hasil sedikitpun, maka bisa saja kamu menambah-nambahkan kejadian tadi atau menguranginya. Selanjutnya kamu terjerumus pada kedustaan.

Dengan demikian, jika kamu meninggalkan perkataan yang laghwu, maka kamu akan termasuk dari para hamba-hamba Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang telah disifatkanNya dalam surat al-Furqan, Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (al-Furqan: 72).

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga menjadikan meninggalkan perkataan yang laghwu termasuk dari sifat-sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin, sebagaimana yang telah disebutkan dalam firman-Nya,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ، وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (al-Mukminun: 1-3).

Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pernah menasehati Abu Dzar-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-untuk banyak diam, beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, maukah kamu aku tunjukkan kepada ibadah yang paling afdhal, yang paling mudah dilakukan oleh badan, yang paling berat di dalam timbangan, dan yang paling ringan diucapkan oleh lisan?” Aku pun menjawab: “Tentu, ibu dan ayahku jadi jaminanmu. Beliau-صّلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda, “Hendaknya kamu banyak diam dan selalu berakhlak mulia! Wahai Abu Dzar. Sesungguhnya kamu tidak akan mengamalkan suatu amalan yang (pahalanya) sama dengan keduanya.” [6]

Dengan demikian, banyak diam dan akhlak yang mulia adalah dua sifat yang tidak ada tandingannya di dalam kesempurnaan dan tatakrama masa kini bahkan dalam kemajuan sosial. Sedangkan banyak bicara adalah ciri-ciri akhlak yang jelek, karena dapat menyebabkan kedustaan, hancurnya harga diri orang lain, dan sifat-sifat tercela lainnya.

Oleh karena itu, -sebagaimana yang telah dijelaskan pada hadis yang lalu-Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –telah mengkategorikan banyak berbicara termasuk sebab jauhnya (kedudukan) seseorang dari beliau pada hari Kiamat. Beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda,

وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ وَالْمُتَفَيْهِقُوْنَ

Orang yang paling jauh dariku tempat duduknya pada hari Kiamat adalah ats-Tsartsaarun (orang yang banyak berbicara), al-Mutasyaddiqun (orang yang sok fasih ketika berbicara), dan al-Mutafaihiqun(orang-orang yang sombong).[7]

Maka, waspadailah banyak bicara! Berpikirlah selalu sebelum kamu berucap! Ingatlah hadis Rasulullah-صّلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya dia mengucapkan hal yang baik atau hendaknya diam. [8]

Dari Mughirah bin Syu’bah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-berkata,

كَانَ يَنْهَى عَنْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ

“Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–melarang: (1) Katanya dan katanya (menyebar isu), (2) banyak meminta (atau bertanya), dan menyia-nyiakan harta.” [9] Wallahu  A’lam. (Redaksi)

Catatan:

[1] Yang dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

[2] Hasan, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, (4/2004), Imam Ibnu Majah, no. 4246, Imam Ahmad, no. 7847, 88852, 9403. Telah dishahihkan oleh Syaikh al-Albani –رَحِمَهُ اللهُ-.

[3] Shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, no. 6474, dari Sahl bin Sa’ad-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-.

[4] Maksudnya, mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam.

[5] Shahih dengan jalur-jalurnya, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, no. 2616, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau berkata: Shahih menurut syarat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, (2/412-413). Imam Ahmad, (5/230, 236, 237, 245), Imam Ibnu Hibban, no. 214.

[6] Hasan, diriwayatkan oleh Imam Abu Ya’la dalam al-Musnad, (6/3298), al-Bazzar, no. 3573. Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah karya Syaikh Al-Albani, no. 1938.

[7] Shahih, diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, (4/2017) dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Tirmidzi, no. 1642.

[8] Shahih, diriwayatkan oleh imam al-Bukhari, no. 6475, Imam Muslim, no. 47 dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -.

[9] Shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, no. 7292.

Sumber:

Ath-Thariiq Ilaa Husni al-Khuluq, Ummu Anas Sumayyah bintu Muhammad al-Anshariyyah, ei, hal. 28-35.