Pembeli menginginkan suatu barang yang belum ada namun mungkin diadakan, sementara penjual yang belum memiliki barang yang diinginkan pembeli siap mengadakannya. Pembeli mendapatkan barang yang diinginkannya sementara penjual mendapatkan pembayaran untuk mengadakan barang tersebut.

Salam atau salaf’ artinya menyegerakan pembayaran dan menunda penyerahan barang. Para fuqaha’ mendefinisikannya, “Transaksi atas suatu barang dengan kriteria tertentu, yang berada dalam jaminan penjual dan diberikan kemudian dengan harga tunai yang diterima di tempat transaksi.”

Allah berfirman,artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” Al-Baqarah: 282.

Rasulullah tiba di Madinah, warganya melakukan salam terhadap hasil tanaman untuk tempo setahun, dua tahun, dan tiga tahun. Maka Rasulullah bersabda,

مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ (وَفِي لَفْظٍ: فِي تَمْرٍ)، فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

Barang siapa melakukan salaf atas sesuatu, dalam lafazh lain: atas kurma, maka hendaklah ia mensalaf dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan hingga waktu yang jelas.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Ibnul Mundzir dan yang lainnya menyebutkan bahwa para ulama telah sepakat (ijma’) atas dibolehkannya salam.

Syarat salam

Salam dianggap sah dengan syarat-syarat jual beli, ditambah dengan:

1- Sifat Sifat-sifat barang yang hendak di-salam-kan harus baku. Karena barang yang tidak mungkin dibakukan sifat-sifatnya akan menimbulkan banyak perbedaan, dan hal ini menyebabkan perselisihan.

2- Menyebutkan jenis dan varietas barang yang di-salam-kan. Jenis contohnya padi, varietasnya rojolele, misalnya.

3- Menyebutkan kadar barang yang di-salam-kan dalam bentuk takaran, timbangan atau ukuran berdasarkan hadits di atas.

4- Menyebutkan tempo yang jelas, minggu atau bulan, berdasarkan ayat dan hadits.

5- Pengadaan barang dimungkinkan sehingga ia bisa diserahkan saat waktu penyerahan tiba.

6- Harga barang dibayar di muka sesuai dengan kesepakatakan, berdasarkan hadits, Imam asy-Syafi’i berkata, “Salaf tidak akan berlaku hingga pembeli membayar harga barang yang disalafkan secara tunai sebelum berpisah dari penjual. Dan bila ia tidak menerima harganya di tempat itu, jadilah ia jual beli hutang dengan hutang, dan ini tidak diperbolehkan.”

7- Hendaklah barang yang di-salam-kan bukan benda yang sudah nyata, tetapi merupakan hutang yang terjamin. Karenanya, tidak sah men-salam-kan sebuah rumah atau sebatang pohon; sebab sesuatu yang telah nyata mungkin akan rusak sebelum diserahkan, hingga maksudnya tidak tercapai.

Termasuk aturan dalam salam adalah jika barang yang disalamkan tidak didapatkan saat jatuh tempo, maka pembeli bisa memilih antara menunggu sampai barang tersebut ada, atau membatalkan salam dan mengambil modalnya kembali. Sebab bila suatu akad dihapus, apa yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemiliknya.Wallahu a’lam.