Edisi Th. XVIII No. 878/ Jum`at I/Syawwal 1433 H/ 07 September 2012 M.

Sering kita mendengar istilah “Ulama”. Siapakah dan bagaimana karakter mereka serta kedudukan mereka di dalam agama Islam?, Bagaimana cara bersikap kepada mereka? Simaklah bahasan pada edisi kali ini.

Ulama secara bahasa, seperti di dalam “al-Mu’jam al Wasith”, merupakan bentuk jama’ dari ‘alim yang berarti katsiru al-‘ilmi (banyak ilmu). Tetapi, yang dimaksudkan di sini adalah dari kalangan manusia. Jadi, secara sederhana dapat dikatakan, ulama adalah manusia yang banyak ilmunya. Diriwayatkan dari Abu Ma’mar, ia berkata, “Aku mendengar Sufyan bin Uyainah berkata, “Bukanlah disebut ulama yaitu orang yang hanya mengetahui kebaikan dan keburukan, tetapi disebut ulama yaitu apabila orang tersebut mengetahui sebuah kebaikan kemudian mengamalkannya, dan mengetahui keburukan kemudian menjauhinya.” (Min A’lami Salaf, hal. 66)

Lalu, bagaimana karakter, keutamaan dan kedudukannya di dalam Islam?, berikut ini kami sebutkan beberapa keistimewaan mereka, yaitu;

1. Berkedudukan tinggi di dunia dan Akhirat. 
Firman Allah, yang artinya, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Qs. al-Mujadilah: 11)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata dalam tafsirnya, “Allah akan mengangkatahlul ilmi dan ahlul iman beberapa derajat, sesuai dengan apa yang Allah khususkan kepada mereka (berupa ilmu dan iman).”

2. Pewaris para nabi.
Rasulullah bersabda,

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sungguh para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu tersebut) berarti dia telah mengambil bagian ilmu yang banyak.” (HR. Abu Dawud).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Tidaklah mewarisi para nabi kecuali para ulama. Merekalah pewaris para nabi. Mereka yang mewarisi, ilmu, amal dan tugas membimbing umat kepada syariat Allah.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/434).
3. Ahlul khasyyah (orang-orang yang takut kepada Allah) dan ahlut takwa(orang yang bertakwa kepada-Nya).

Allah berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Qs.al-Fathir: 28).
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Setiap orang yang lebih berilmu tentang Allah, dialah orang yang lebih banyak takut kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah tersebut mengharuskan diri terhindar dari kemaksiatan dan mempersiapkan bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Ayat ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ilmu itulah yang mendorong seseorang takut kepada Allah.”

4. Orang yang paling peduli terhadap umat.
Allah berfirman, yang artinya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (Qs.Ali ‘Imran: 110).

Yahya bin Mu’adz Ar-Razi berkata, “Para ulama itu lebih belas kasih terhadap umat Muhammad daripada bapak-bapak dan ibu-ibu mereka.” Ditanyakan kepadanya, “Bagaimana bisa terjadi demikian?” Dia menjawab: “Bapak-bapak dan ibu-ibu menjaga anak-anak mereka dari api di dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari api di Akhirat.” (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits, hal. 168).

Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan pada setiap masa yang kosong dari para rasul, ada segolongan ahlul ilmi yang masih tersisa. Mengajak orang yang tersesat kepada petunjuk, dalam keadaan sabar menghadapi gangguan mereka, berusaha menghidupkan orang-orang yang (nuraninya mati) dan menjadikan orang-orang yang buta (mata hatinya) bisa melihat kebenaran dengan nur (cahaya) dari Allah. Betapa ba- nyak orang yang telah dibinasakan oleh Iblis (dengan syubhat dan syahwat-pen), namun sungguh mereka berhasil menghidupkannya (dengan al-Kitab dan as-Sunnah-pen). Betapa banyak orang yang tersesat, mereka beri petunjuk. Duhai, betapa indah kepedulian ulama terhadap umat. Namun, betapa jeleknya sikap mereka terhadap ahlul ilmi.” (Ar-Radd ‘ala Zanadiqah wal Jahmiyyah, hal.6).

5. Pilar penyangga keselamatan umat. 
Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءَ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari umat manusia dengan sekali cabut. Akan tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga bila Dia tidak menyisakan seorang alim pun (sampai) umat manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka. Maka para pemimpin itu ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan.” (HR.al-Bukhari dan Muslim).

6. Rujukan dan pembimbing umat ke jalan yang benar.
Allah berfirman, yang artinya, “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Qs. al-Anbiya’: 7).
Setelah kita mengetahui karakteristik, kedudukan, dan keutamaan mereka dalam agama, sekarang bagaimana cara bersikap kepada mereka?

Berikut ini beberapa contoh teladan dari orang-orang yang shalih,
Dari Muhammad bin Amru, dari Salamah diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah berdiri di sisi Zaid bin Tsabit dan langsung memegang tali kekang tunggangannya. Beliau (Zaid) berkata, “Wahai anak paman Rasulullah, menjauhlah kamu.” Ia menjawab, “Beginilah yang kami lakukan untuk menghormati para ulama dan senior-senior kami.” (Siyaru A’lamin Nubala, II:437).

Dari Umar bin Mudrik diriwayatkan bahwa ia berkata, “Al-Qasim bin Abdurrahman telah menceritakan kepada kami: Asy’ats bin Syu’bah al-Mashishi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, “Rasyid pernah datang ke Raqqah. Lalu orang-orang pun pada berdesak-desakkan di belakang Ibnul Mubarak, sehingga tali-tali sendal berputusan dan debu-debu beterbangan. Ummu Walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya-ed) dari Amirul Mukminin melongok dari istana kayunya sambil bertanya, “Ada apa gerangan?” Mereka menjawab,“Ada ulama dari negeri Khurasan datang kemari.” Ia berkomentar, “Demi Allah, inilah raja. Raja Harun tidak bisa mengumpulkan orang-orang kecuali disertai penjaga keamanan dan polisi.” (Siyaru A’lamin Nubala’, VIII:384)

Ibrahim bin Ishaq Al-Harbi pernah berkata, “Atha’ bin Abi Rabbah dahulu adalah seorang budak berkulit hitam milik seorang wanita dari kalangan penduduk Makkah. Konon hidungnya menyerupai sebutir kacang. “Perawi menuturkan, “Suatu hari Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik bersama kedua anaknya datang menemui Atha’. Mereka duduk di sisinya, sementara Atha’ masih menjalankan shalat. Ketika Atha’ usai shalat, beliau menyisihkan waktu untuk mereka. Mereka terus saja bertanya kepada beliau tentang manasik haji, padahal beliau telah membelakangi mereka. Sulaiman berkata kepada kedua anaknya,“Wahai anak-anakku, janganlah kalian lalai dalam menuntut ilmu. Sungguh saya tidak akan melupakan rendah- nya kita di hadapan budak hitam satu ini.” (Shifatush Shafwah, II:212).

Rustah berkata, “Aku pernah mendengar Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Ada kebiasaan kami yang menyatakan: “Apabila seseorang bersua dengan orang yang lebih berilmu darinya, itulah hari yang ia bisa mengambil sejuta faidah (ilmu yang datang tiba-tiba); apabila ia berjumpa dengan orang yang sejajar dengannya dalam hal ilmu, maka ia bisa saling belajar dan menimba ilmu; dan apabila ia bertemu dengan orang yang kurang berilmu dari dirinya, hendaknya ia berendah hati dan sudi mengajarinya. Tidak layak bagi seseorang menjadi ahli ilmu kalau ia berbicara tentang segala yang didengarnya. Demikian juga, seseorang tidak akan menjadi imam ahli ilmu, kalau ia menyampaikan hadits dari siapa saja, juga orang yang suka menyampaikan hadits yang ganjil. Sesungguhnya hafalan itu adalah demi melekatnya ilmu.” (Siyaru A’lamin Nubala, IX : 203).

Ibnu Basykuawal berkata menceritakan pengalaman Ibrahim al-Harbi, “Aku pernah menukil dari buku Ibnu ‘Attab: “Ibrahim al-Harbi adalah sosok seorang lelaki shalih dari kalangan ulama. Beliau pernah mendengar ada kaum yang suka duduk di majelisnya dan lebih mengutamakan dirinya dari Ahmad bin Hambal. Beliau mengkonfirmasikan hal itu kepada mereka, dan mereka pun mengakuinya. Lalu beliau berkata; “Sungguh kalian telah menzhalimi saya dengan mengutamakan saya dari orang yang saya tidak bisa menyerupainya, saya juga tidak bisa mengikuti jejak beliau dalam banyak hal… (Siyaru A’lamin Nubala’, XIII:364).

Demikian bahasan singkat mengenai “Ulama, Karakter dan Kedudukannya dalam Islam serta beberapa contoh sikap kepada mereka.” Semoga kita dapat mengetahui siapa sebenarnya yang disebut ulama. Akhirnya, mudah-mudahan Allah menjaga mereka dan mengaruniakan kepada kita sikap yang benar terhadap mereka dan selamat dari sikap berlebih-lebihan kepada mereka. Allahu a’lam. (Redaksi)

[Sumber: dari beberapa Sumber]