Bisa berbagi ceria bersama yatim sangatlah mulia, sekalipun hanya beberapa rupiah yang bisa kita sisihkan. Kepedulian kita sangatlah berarti bagi mereka. Karena memang, mereka adalah golongan yang lemah meskipun berlimpah harta, yang belum mampu hidup mandiri, terlebih lagi jika mereka ditinggalkan dalam keadaan miskin, para kerabat ataupun saudara-saudaranya juga tidak jauh berbeda.

 

Saat terlahir yatim

Tidak ada seorang pun yang ingin terlahir yatim, atau tumbuh dalam keadaan yatim. Berjejer gunung emas selamanya tak bisa ditukar dengan kehadiran seorang ayah. Apa pun keadaannya, seorang ayah tidak bisa tergantikan.

Maka sangat mulia sekali, ketika ada seseorang mengabdikan dirinya menjadi wali yatim, mengurus, mengasuh dan menanggung hidup mereka, di samping harus mengurusi anaknya sendiri. Setiap yatim sangatlah butuh seorang ayah, walaupun sosok ayah kandung tidak bisa tergantikan seutuhnya, setidaknya keberadaan wali yatim bisa menggobati kerinduan mereka.

 

Sampai kapan mengasuh yatim?

Setelah yatim baligh, bukan berarti pengasuhan terhadapnya diputus begitu saja. Mengingat seorang anak yang baru baligh belum matang kedewasaannya. Asuhlah mereka sampai benar-benar dewasa, mandiri, mampu memelihara harta, dan cukup umur untuk menikah!

Karena pengasuhan yatim, termasuk pemeliharaan hartanya, dianggap selesai dan harta miliknya sudah boleh diserahkan, harus memenuhi dua syarat; yaitu al-bulugh dan al-rusyd. (Lihat Tafsir al-Baghawi, 1/567).

Al-Rusyd ialah akal yang telah mapan dan sudah cakap dalam memelihara harta, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, as-Sudi dan ats-Tsauri. (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 5/37). Dan kondisi al-rusyd (cakap) baru bisa terlihat setelah mencapai baligh, menurut mayoritas ulama. (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 5/37). Semua ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُم

“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya.” (QS. an-Nisa’: 6).

 

Hal-hal yang harus diperhatikan

Ketika yatim yang diasuh dianggap sudah dewasa, mandiri, dan mampu menjaga hartanya, para wali yatim wajib memperhatikan beberapa adab berikut ini:

 

  1. Tetap lemah lembut dan berbuat baik kepada yatim

Sekalipun secara hukum ia sudah tidak berstatus yatim lagi, wali yatim harus tetap berbuat baik kepadanya, menyayanginya, dan tidak boleh menyakiti serta menzaliminya, baik dalam kehormatan maupun hartanya. Sampai-sampai Qatadah mengatakan:

كُنْ لِلْيَتِيْمِ كَالْأَبِ الرَّحِيْمِ

“Jadilah engkau bagi yatim layaknya seorang ayah yang penyayang.” (Lihat Tafsir Ibni Katsir, 8/427).

 Kebaikan dan kasih sayang ini, tentunya tidak boleh luntur dan harus terus berlanjut hingga yatim beranjak dewasa. Karena sampai kapan pun, seorang yatim sangatlah merindukan sosok ayah kandungnya sendiri.

 

  1. Menundukkan pandangan dan tidak berkhulwah

Ketika perempuan yatim yang diasuhnya telah baligh, wali yatim wajib menundukkan pandangan kepadanya, tidak berkhulwah dengannya, dan melarang anak laki-lakinya dari berikhtilat bersamanya. Ia juga wajib menyuruh yatim itu untuk berhijab syar’i.

Sebaliknya, jika yatimnya laki-laki, ia wajib menyuruh istri dan anak perempuannya untuk menundukkan pandangan kepadanya dan melarang mereka dari berkhulwah maupun ikhtilat bersamanya. Karena yatim yang diasuh sama sekali bukanlah mahramnya. Sekalipun yatim itu diasuh dan serumah dari kecil, setelah balighnya, hukum-hukum yang terkait interaksi antara lawan jenis tidaklah gugur.

 

  1. Menyerahkan harta milik yatim

Apabila si yatim memiliki harta, dan wali yatim diamanahi untuk menjaga hartanya, ia wajib menyerahkan harta itu dengan sebaik-baiknya saat si yatim benar-benar telah dewasa dan mampu memelihara hartanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya.” (QS. an-Nisa’: 6).

Imam al-Qurthubi berkata, “Ketika wali yatim merasa yakin bahwa si yatim sudah mampu memelihara hartanya, maka haram baginya apabila harta itu tetap ditahan (tidak diberikan) dan ia dinilai telah bermaksiat.” (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 5/9).

 

  1. Tidak menukar harta yatim dengan yang lebih jelek

Kekayaan milik yatim, seperti tanah, rumah, kendaraan dan hewan ternak, saat dikembalikan, haram ditukar dengan yang lebih rendah kualitasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk.” (QS. an-Nisa’: 2).

Az-Zuhri menjelaskan, “Dahulu, para wali yatim mengambil harta yatim yang berkualitas baik dan (saat dikembalikan) menukarnya dengan yang jelek, seperti salah seorang dari mereka mengambil domba yang gemuk dari harta yatim lalu mengembalikannya dengan yang kurus, ada juga yang mengambil dirham yang bagus lalu menukarnya dengan yang palsu.” (Lihat Tafsir al-Baghawi, 1/562).

 

  1. Mempersaksikan penyerahan harta yatim

Saat proses penyerahan harta yatim hendaknya dipersaksikan, terutama kepada orang-orang yang shalih atau kepada hakim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا

“Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.” (QS. an-Nisa’: 6).

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukumnya, ulama Malikiyah berpendapat wajib, sementara ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat mustahab. (Lihat Ahkam Maalil Yatim Fii al-Fiqh al-Islami, Maryam Atha Haamid, hal. 132). Yang lebih utama dan selamat, sebaiknya penyerahan harta yatim dipersaksikan. “Tujuannya untuk menghilangkan kecurigaan yang tidak jelas dan memutus terjadinya perselisihan di kemudian hari” tegas Imam al-Baghawi. (Lihat Tafsir al-Baghawi, 1/571).

 

  1. Tidak menasabkan yatim kepada dirinya

Sebagian orang, karena merasa telah mengurus yatim dari kecil dan dianggap sudah sangat dekat dengan dirinya maupun keluarganya, memaksa untuk menasabkan yatim kepada dirinya. Sebagian yang lain beralasan agar hal-hal yang berkaitan dengan keadministrasian yatim tidak ribet. Perbuatan semacam ini hukumnya haram. Sekalipun yatim tersebut tidak diketahui siapa bapak dan ibunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Barangsiapa menasabkan seseorang kepada selain bapaknya, padahal ia tahu yang bersangkutan bukanlah bapaknya, maka surga diharamkan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 6385).

 

  1. Boleh menikahi perempuan yatim yang diasuhnya, tapi harus tetap berlaku adil

Perempuan yatim yang hendak dinikahi oleh walinya, wajib diperlakukan adil layaknya wanita pada umumnya; diberikan mahar yang pantas dan hak-haknya harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya.

Bukan semata-mata demi mendapatkan hartanya, sebagaimana yang terjadi di masa jahiliyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat.” (QS. an-Nisa’: 3) Wallahu A’lam.

 

(Saed as-Saedy, Lc.)