kanaDi dalam al-Qur’an Lafazh ((كان dalam pengabaran tentang Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya datang (disebutkan) dengan jumlah yang banyak. Para Ahli Nahwu (tata bahasa Arab) dan selainnya berbeda pendapat dalam masalah, apakah ia menunjukkan Inqitha’ (terputus) atau tidak ke dalam beberapa pendapat.

1. Pertama:Ia (Kaana) memberikan faidah Inqitha’, karena ia adalah fi’il (kata kerja), yang mengisyaratkan tajadud (sesuatu yang terus berulang kembali)

2. Kedua: Tidak memberikan faidah tersebut, akan tetapi ia menunjukkan makna kontinyu (rutin) dan terus-menerus. Dan pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu Mu’thi rahimahullah secara tegas (pasti) dalam kitab Alfiyah-nya ketika beliau mengucapkan:

وَ كَانَ لِلْمَاضِيْ الذِيْ مَا انْقَطَعَا

Ar-Raghib rahimahullah berkata dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

… وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا {27}

“… Dan syaitan itu adalah sangat kafir kepada Rabbnya.” (QS. Al-Israa’: 27)

“Dia (Allah) rahimahullah mengingatkan (hamban-Nya) dengan firman-Nya:(كان) dengan artian bahwa ia (Syetan) semenjak diciptakan terus-menerus dalam sifat kufur.

3. Ketiga: Ia adalah ungkapan tentang keberadaan sesuatu di zaman yang lalu namun tidak jelas/pasti (samar). Dan di dalamnya tidak ada dalil yang menunjukkan ketiadaan sesuatu yang telah lalu, dan tidak pula keterputusan seuatu yang datang setelahnya. Di antaranya adalah firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

…وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا{50}

“…Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzaab: 50)

Pendapat ini dikatakan oleh Az-Zamakhsyari rahimahullah dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ … {1

Di dalam al-Qur’an Lafazh ((كان dalam pengabaran tentang Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya datang (disebutkan) dengan jumlah yang banyak. Para Ahli Nahwu (tata bahasa Arab) dan selainnya berbeda pendapat dalam masalah, apakah ia menunjukkan Inqitha’ (terputus) atau tidak ke dalam beberapa pendapat.

1. Pertama:Ia (Kaana) memberikan faidah Inqitha’, karena ia adalah fi’il (kata kerja), yang mengisyaratkan tajadud (sesuatu yang terus berulang kembali)

2. Kedua: Tidak memberikan faidah tersebut, akan tetapi ia menunjukkan makna kontinyu (rutin) dan terus-menerus. Dan pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu Mu’thi rahimahullah secara tegas (pasti) dalam kitab Alfiyah-nya ketika beliau mengucapkan:

وَ كَانَ لِلْمَاضِيْ الذِيْ مَا انْقَطَعَا

Ar-Raghib rahimahullah berkata dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

… وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا {27}

“… Dan syaitan itu adalah sangat kafir kepada Rabbnya.” (QS. Al-Israa’: 27)

“Dia (Allah) rahimahullah mengingatkan (hamban-Nya) dengan firman-Nya:(كان) dengan artian bahwa ia (Syetan) semenjak diciptakan terus-menerus dalam sifat kufur.

3. Ketiga: Ia adalah ungkapan tentang keberadaan sesuatu di zaman yang lalu namun tidak jelas/pasti (samar). Dan di dalamnya tidak ada dalil yang menunjukkan ketiadaan sesuatu yang telah lalu, dan tidak pula keterputusan seuatu yang datang setelahnya. Di antaranya adalah firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

…وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا{50}

“…Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzaab: 50)

Pendapat ini dikatakan oleh Az-Zamakhsyari rahimahullah dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ … {110}

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS. Ali ‘Imraan: 110). Ketika beliau menafsirkan ayat ini dalam tafsir beliau al-Kasysyaaf.

Ibnu ‘Athiyah menyebutkan dalam surat al-Fath bahwa ia (كان) ketika berada dalam konteks sifat Allah maka tidak menunjukkan zaman.

Dan yang benar dari pendapat-pendapat ini adalah perkataan az-Zamakhsyari, bahwasanya ia memberikan faidah keterkaitan (bersambungnya) kalimat setelahnya (setelah Kaana) dengan zaman lampau, tidak yang lain, dan ia sendiri tidak menunjukkan keterputusan makna tersebut atau keberadaannya. Akan tetapi jika kalimat tersebut memberikan salah satu dari kedua faidah tersebut, maka hal itu berasal dari dalil lain.

Dan kepada makna inilah, dibawa (diarahkan) lafazh (كان) di dalam al-Qur’an yang berupa pemberitaan Allah tentang sifat-sifat-Nya dan selainnya dalam jumlah yang banyak. Seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

… وَكَانَ اللهُ سَمِيعًا عَلِيمًا {148}

“…Dan Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “(QS. An-Nisaa’: 148)

وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللهُ كُلاًّ مِّن سَعَتِهِ وَكَانَ اللهُ وَاسِعًا حَكِيمًا {130}

“…Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. “(QS. An-Nisaa’: 130)

… وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا {59}

“…Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzaab: 59)

… وَكُنَّا بِكُلِّ شَىْءٍ عَالِمِينَ {81}

“…Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Anbiyaa’: 81)

…وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ {78}

“…Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” (QS. Al-Anbiyaa’: 78)

Dan ketika Allah mengabarkan dengan lafazh tersebut (dalam al-Qur’an) sifat-sifat manusia maka yang dimaksud adalah peringatan bahwa sifat-sifat tersebut ada pada mereka sebagai insting (naluri), dan watak yang tertanam pada jiwa manusia. Seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

… وَكَانَ اْلإِنسَانُ عَجُولاً {11}

“…Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Israa’: 11)

Dan firman-Nya:

… إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً {72}

“… Sesungguhnya ia (manusia) itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzaab: 72)

Abu Bakr ar-Razi rahimahullah telah memeriksa (meneliti) penggunaan lafazh كان dalam al-Qur’an, dan beliau rahimahullah mengambil kesimpulan penggunaan lafazh tersebut, lalu berkata:كان dalam al-Qur’an ada lima bentuk (makna).”

1. Pertama: Bermakna azali dan abadi,s eperti firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

… وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا {170}

“… Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. “(QS. An-Nisaa’: 170)

2. Kedua:Bermakna sesuatu yang terputus, seperti firman-Nya:

وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ … {48}

“Dan adalah di kota itu, sembilan orang laki-laki….” (QS. An-Naml: 48)

Dan ini adalah makna asal dari makna-makna lafazh ini. Sebagaimana engkau katakan:

كان زيد صالحا أو فقيرا أو مريضا أو نحوه

“Dahulu Zaid adalah seorang yang shalih, atau faqir, atau sakit atau yang semisalnya.

3. Ketiga: Menunjukkan makna al-Haal (sekarang), seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ … {110{

” Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS. Ali ‘Imraan: 110).

Dan firman-Nya:

… إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا {103}

” Sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. …” (QS. An-Nisaa’: 103)

4. Keempat: Menunjukkan masa yang akan datang, seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

… وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا {7}

” …Dan mereka takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insaan: 7)

5. Kelima: Menunjukkan makna menjadi (berubah menjadi), seprti dalam firman-Nya:

…وَكَانَ مِنَ الكَافِرِينَ {34}

” …Dan ia menjadi golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)

Dan lafazh كان juga datang dalam kalimat nafyi (negatif), dan dalam kondisi seperti ini maksudnya adalah penafian (peniadaan) benarnya berita tersebut, bukan penafian terjadinya berita tersebut. Oleh sebab itu maknanya ditafsirkan menjadi ما صح و ما استقام (tidak benar dan tidak sepatutnya/sepantasnya), seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَّكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فيِ اْلأَرْضِ …{67}

” Tidak sepatutnya, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia memiliki kekuatan (kokoh) di muka Bumi…” (QS. Al-Anfaal: 67)

Dan firman-Nya:

مَاكَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَن يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللهِ…{17}

” Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjis-masjid Allah, …” (QS. At-Taubah: 17)

Dan firman-Nya:

… مَّايَكُونُ لَنَآ أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَذَا … {16}

” …Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini…” (QS. An-Nuur: 16)

 (Sumber:مباحث في علوم القرآن karya Syaikh Manna’ al-Qaththaan rahimahullah, cet. Maktab al-Ma’arif, Riyadh hal. 214-216. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)