musibahPertanyaan: 

Melihat kepada musibah yang menimpa seseorang, bagaimanakah cara bagi seseorang muslim untuk membedakan antara musibah yang dapat menghapuskan dosa dan mengangkat derajatnya dengan musibah yang diturunkan sebagai peringatan dari Allah ta’ala bagi manusia?

Jawaban:

Pertama wajib bagi kita mengetahui bahwa Allah ta’ala telah berfirman di dalam kitabnya:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ [الشورى:30]

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. Asy-Syura: 30)

* Musibah pertama bisa jadi disebabkan karena apa yang telah diperbuat seseorang, yang dengannya ia di hukum atas maksiat tersebut di dunia. Hukuman di dunia jauh lebih ringan dibandingkan dengan hukuman di akhirat.

* Musibah yang diturunkan sebagai cobaan baginya, sehingga ia mencapai derajat yang sempurna dalam hal kesabaran, hal ini karena manusia di antara dua keadaan: dalam keadaan lapang, yang mewajibkan syukur, atau dalam keadaan sempit (susah), yang mewajibkannya untuk bersabar. Tidaklah seseorang mencapai derajat kesabaran kecuali dengan apa yang membuat ia bersabar atas sesuatu tersebut. oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diuji dengan ujian yang lebih banyak dari selain beliau, sampai-sampai panas badan beliau ketika sakit sebanding dengan panas badan dua orang kita. Kemudian sakit tersebut semakin keras ketika ajal ingin menjemput beliau, ini semua bertujuan untuk mengangkat derajat beliau dalam hal kesabaran.

Maka seorang manusia diuji dengan ujian yang khusus baginya, ujian ini bisa jadi disebabkan karena dosa yang ia lakukan, maka Allah menghapus dosanya dengan musibah tersebut, dan azab dunia jauh lebih ringan dari azab akhirat. Oleh sebab itu sebagian manusia ketika ia terjerumus kedalam suatu dosa kemudian ia tertimpa musibah dan bencana, maka dia bersyukur kepada Allah atas hal tersebut, seakan-akan ia berkata: “Allah mengetahu dosaku, lalu ia menghukumku di dunia sebelum di akhirat, dan hukuman di dunia jauh lebih ringan dari hukum di akhirat”, maka iapun menjadikan hal tersebut seagai nikmat yang ia bersyukur kepada Allah ta’alaatasnya.

Manusia jika ia tertimpa musibah maka berada di antara empat kondisi:

Pertama: ia marah (tidak ridha) dengan hati atau anggota badannya, jadilah ia merobek kerah baju, menarik-narik rambut, menampar-nampar pipi, dan nampak dari hatinya ia marah terhadap tuhannya Allah -wal ‘iyadzubillah- maka kondisi ini adalah derajat yang paling rendah, yang mana pelakunya berdosa dan telah berlepas diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam darinya dengan sabda beliau:

ليس منا من ضرب الخدود، وشق الجيوب، ودعا بدعوى الجاهلية

“Bukan termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, dan yang merobek kerah baju, serta yang menyeru atau berdo’a dengan do’a jahiliyyah”.(HR. An-Nasa’I pada As-sunan Al-Kubra: 1/612)

Kedua: bersabar dan mengharapkan pahala dengan ketidak senangan terhadap apa yang menimpanya, maka dia telah melaksanakan apa yang seharusnya, dan baginya pahala orang yang bersabar, dan ini jika ia berharap pahala dari Allah.

فإِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ [الزمر:10]

maka sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan disempurnakan bagi mereka pahala-pahala mereka tanpa batas.(Az-Zumar: 10)

ketiga: kondisi yang lebi sempurna dari bersabar, yaitu ridha. Ridha lebih sempurna dari bersabar, seorang yang bersabar dia tidak senang kepada musibah yang menimpanya, namun ia bersabar. Adapun seorang yang ridha maka baginya kekayaan dan kemiskinan sama-sama ketetapan Allah ta’ala yang dengannya ia mengatakan kepada jiwanya: “Tidaklah hal itu ditakdirkan Allah kepadaku kecuali hal itu baik”, maka ia pun ridha dengan keridhaan yang sempurna, yang mana dengan hal itu ia tidak terpengaruh sedikitpun (dengan musibah yang terjadi padanya), baik hati maupun anggota badannya.

Keempat: Bersyukur atas musibah, bagaimana seseorang bersyukur terhadap musibah?!, hal itu sebagaimana yang saya sebutkan tadi, yaitu bahwasanya ia mengetahui jika ia melakukan suatu dosa, maka musibah tersebut adalah hukuman atas dosanya, maka ia bersyukur kepada Allah yang menjadikan baginya musibah di dunianya, yang mana hukuman di dunia jauh lebih ringan dari pada hukuman di akhirat, dia juga bersyukur kepada Allah ta’ala, yang mana jika ia bersabar dan ridha atas musibah itu maka hal itu baik baginya, jadilah ia bersyukur atas hal itu.

[Sumber: Kitab Silsilah Liqaat Albab Al-Maftuh Syaikh Muhammad Shaleh Al-‘Utsaimin: 24/12, lihat Maktabah Syamilah ]