Hati TerlukaAda saat kamu, suami atau istri, marah kepada pasangannya karena sebab tertentu, lalu pasangannya pun membalas marah dengan marah pula. Bila tidak terkontrol, akan lepas kata-kata yang meninggalkan luka mendalam.

Kata-kata tajam, yang terkadang lebih tajam dari pisau, yang melukai yang berkaitan dengan perasaan pengucapnya terhadap pihak yang mendengarnya, selanjutnya pendengarnya memahami bahwa pengucapnya tidak menerima dirinya dan tidak lagi bisa hidup selaras dengannya. 

Suami berkata kepada istri atau sebaliknya, “Aku tidak menyintaimu. Seandainya dulu aku menerima fulan atau fulanah, niscaya hidupku saat ini bahagia. Kamu tidak punya tempat dalam hatiku. Menikahimu adalah keputusan terburu-buru atau salah. Ternyata aku baru sadar, kamu bukanlah teman hidup yang cocok bagiku. Hidup bersamamu tidak kuat dipikul. Aku sabar bersamamu hanya demi anak-anak.” Dan kata-kata yang sepertinya yang lebih ringan atau lebih berat yang meninggalkan efek negatif pada jiwa. 

Kata-kata ini memberangus perasaan aman di antara suami istri, mengangkat apa yang tersisa bagi masing-masing suami istri di hati pasangannya, padahal secara umum kata-kata seperti ini tidak terucap dengan keyakinan, akan tetapi saat emosi atau secara spontan. Sayangnya, ia tetap bukan alasan dan tetap mengakibatkan menjauhnya hati suami istri dari yang lain, bahkan bisa menyeret ke perpisahan jasmani yaitu talak manakala pihak lain menyambutnya dan menjadikannya acuan dalam bertindak terhadapnya. 

Ada kata-kata yang bila ia bisa berkata kepada pengucapnya, niscaya ia akan berkata, “Jangan mengucapkanku.” Ada kata-kata yang pengucapnya berharap sesudah mengucapkannya tidak mengucapkannya sehingga tak terdengar oleh siapa pun. Memang, tidak ada yang lebih baik saat marah kecuali diam, bila tidak ada pengakuan maaf, hendaknya diskusi dan pembicaraan ditunda saat kedua belah pihak mulai tenang, agar kata-kata yang terucap lebih bijak dan masuk akal. Dan terkadang keadaan menuntut kita meninggalkan tempat untuk beberapa saat. Wallahu a’lam.