Harta bukan satu-satunya penentu kebahagiaan, dengan kata lain kebahagiaan tetap bisa diwujudkan dengan sedikit harta, artinya orang yang dipandang miskin pun tetap bisa mengenyam kebahagiaan, termasuk sebuah rumah tangga, walaupun orang lain memandang keluarga A adalah keluarga susah, namun bukan berarti susah dalam arti yang sebenarnya, maksud saya bukan berarti tidak berbahagia, karena masih ada faktor-faktor lain selain harta yang bisa diwujudkan dalam meraih kebahagiaan.

Bermental kaya

Mental kaya, kalau penulis tidak keliru, dalam agama dikenal dengan istilah qana’ah, rela dengan apa yang Allah bagi sehingga tidak menengok dan berharap apa yang ada di tangan orang lain apalagi mencarinya dengan cara-cara yang melanggar agama, maka orang ini dijamin miskin bahkan paling miskin.

Kaya bukan kaya dengan harta benda, namun kaya adalah kaya hati, artinya hati merasa cukup. Sebanyak apa pun harta seseorang, kalau dia belum merasa cukup maka dia adalah fakir. Kata fakir adalah bahasa Arab yang berarti memerlukan, jadi kalau seseorang masih memerlukan [baca, berharap dan menggantungkan diri] kepada apa yang dimiliki oleh orang lain tanpa berusaha maka dia adalah fakir alias miskin.

Kebahagiaan rumah tangga bergantung kepada perasaan istri dalam skala lebih besar daripada yang lain, jika istri tidak bermental kaya maka dia akan selalu merasa kekurangan, akibatnya dia akan sambat ngalor balik ngidul, (bahasa jawa yang artinya mengeluh ke mana-mana), siapa pun yang bertemu dengannya selalu disambati dengan kekurangannya. Kurang ini, kurang itu, kurang anu dan seterusnya. Mentalnya adalah mental sengsara, mental miskin, minim syukur, memposisikan diri sebagai orang miskin sehingga seolah-olah dirinya patut diberi zakat.

Padahal seorang wanita bisa saja memiliki segala keutamaan di kolong langit ini, akan tetapi semua keutamaan ini tidak ada nilai dan harganya jika yang bersangkutan mempunyai tabiat sengsara dan mental miskin. Tabiat sengsara dan mental miskin bagi wanita menyebabkan kesengsaraan bagi suami dan kenestapaan bagi rumah tangganya.

Banyak wanita sejak zaman batu sampai hari ini merasa nyaman dengan tabiat sengsara dan mental miskin ini. Dalam kehidupan sejarah penulis mengetahui Nabiyullah Ibrahim pernah menemukan dua orang wanita, yang pertama bermental miskin dan yang kedua bermental kaya, keduanya pernah menjadi istri bagi anaknya, Ismail. Istri pertama, Ibrahim, dengan bahasa kinayah (sindiran), meminta Ismail untuk berpisah darinya. Ibrahim melihat istri pertama bukan istri yang layak, karena dia bermental miskin, ketika Ibrahim bertanya kepadanya tentang kehidupannya dengan suaminya, yang Ibrahim dengar dari mulutnya hanyalah keluh kesah. Sebaliknya istri kedua, jawabannya kepada mertuanya mengisyaratkan bahwa dia adalah istri yang pandai bersyukur dan bersikap qana’ah, maka Ibrahim meminta Ismail untuk mempertahankannya..

Dalam kehidupan Rasulullah, para istri beliau Ummahatul Mukminin adalah wanita-wanita yang mulia, mereka ridha hidup mendampingi Rasulullah dalam kemiskinan tanpa mengeluh dan berkeluh kesah, salah seorang dari mereka menyampaikan bahwa selama tiga kali hilal, di rumahnya tidak pernah ada nyala api, alias tidak masak, dia dan Rasulullah hanya hidup mengandalkan kurma dan air saja. Pernah juga saat Rasulullah kedatangan seorang tamu, beliau bertanya kepada para istrinya, satu demi satu, adakah makanan yang bisa disuguhkan kepada tamu ini dan mereka semuanya menjawab bahwa yang ada hanya air. Inilah sebagian dari kehidupan Rasulullah bersama para Ummahatul Mukminin, dan mereka tetap tidak kehilangan kebahagiaan mereka walaupun dengan kehidupan yang demikian.

Dalam kehidupan ini tidak satu kali dua kali menemukan istri model seperti ini. Di tinjau secara sepintas dari keadaan rumahnya, rumah milik sendiri, lengkap dengan perabotan elektronik yang modern, didukung kendaraan keluaran terbaru, di mana penulis sendiri tidak memiliki semua itu, kalau pun memiliki, ya tidak sekelas dengan miliknya, dasar mentalnya mental miskin, maka yang bersangakutan tetap mengeluh seolah-olah dia adalah orang termiskin di dunia. Apakah hal ini merupakan kebenaran dari firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir ? (Al-Ma’arij: 19). Tanpa ragu, memang.

Jika istri bermental kaya maka keluarga akan merasa kaya dan cukup. Ini menciptakan kebahagiaan. Jika istri bermental melarat maka yang tercipta di dalam rumah adalah iklim melarat dan ini menyengsarakan.

Sebagian orang miskin mengadukan kemiskinannya kepada sebagian orang berilmu, si miskin memperlihatkan kesedihannya yang mendalam atas keadaannya, maka orang berilmu itu bertanya kepadanya, “Maukah kamu mempunyai sepuluh ribu dirham dan kamu buta?” Dia menjawab, ‘Tidak.” Dia bertanya, “Maukah kamu mempunyai sepuluh ribu dirham dan kamu bisu?” Dia menjawab, ‘Tidak.” Dia bertanya, “Maukah kamu mempunyai dua puluh ribu dirham dan kamu terpotong kedua tangan dan kakimu?” Dia menjawab, ‘Tidak.” Dia bertanya, “Maukah kamu mempunyai sepuluh ribu dirham dan kamu gila?” Dia menjawab, ‘Tidak.” Dia berkata, “Apakah kamu tidak malu mengadu kepada Allah sementara kamu mempunyai kekayaan seharga lima puluh ribu?”

Artinya bila Allah tidak melapangkan rizkimu, Dia tetap memberimu sesuatu yang lain dan bentuk yang berbeda yang seandainya diuangkan maka ia akan bernilai sangat mahal. Jadi tidak perlu berkecil hati dan bermental miskin hanya karena kantong yang tipis, tak masalah miskin di dunia selama akhirat didapat, insya Allah. (Izzudin Karimi)