• Kerugian yang Nyata

Orang-orang yang beriman selalu saja dalam benaknya menginginkan keberuntungan di dunia, apalagi keberuntungan di akhirat kelak. Karena, jika kerugian di akhirat itu yang ia dapatkan, maka tidak ada lagi kesempatan untuk meraih keuntungan. Itu merupakan kerugian yang nyata. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الْخَاسِرِيْنَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ

“Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat. Ingatlah ! Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Qs. az-Zumar : 15)

  • Keuntungan Paling Besar

Sementara jika keuntungan yang ia dapatkan, yaitu dengan mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya, maka hal itu merupakan keuntungan yang besar yang tidak ada bandingannya. Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِيْنَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

Allah berfirman, “Ini adalah suatu hari yang orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya. Mereka memperoleh Surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Qs. al-Maidah : 119)

  • Mewaspadai Diri

Untuk itulah, orang-orang yang beriman itu senantiasa mewaspadai dirinya agar tidak merugi di akhirat kelak. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh menjauhkan dirinya dari sebab-sebab yang boleh jadi akan menjadikan dirinya merugi nantinya, dan pada saat yang sama ia pun berusaha dengan sungguh-sungguh pula untuk melakukan sebab-sebab yang dengannya ia akan meraih keberuntungan di akhirat. Ia sekuat tenaga menjauhkan diri dari melakukan keburukan, karena hal tersebut merupakan salah satu sebab yang akan mengantarkan dirinya kepada kerugian, dan pada saat yang sama ia berjibaku dan bersemangat melakukan kebaikan, karena hal tersebut merupakan salah satu cara untuk memperberat timbangan kebaikannya sehingga nantinya ia terantarkan kepada keberuntungan. Allah Ta’ala berfirman,

وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِيْنُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ. وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوْا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُوْنَ

“Timbangan pada hari itu (menjadi ukuran) kebenaran. Maka barangsiapa berat timbangan (kebaikan)nya, mereka itulah orang yang beruntung.

Dan barangsiapa ringan timbangan (kebaikan)nya, maka merekalah yang telah merugikan dirinya sendiri, karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.” (Qs. al-A’raf : 8-9)

  • Pemberat Timbangan Nan Itimewa

Berita dari Allah azza wa jalla, Rabb semesta alam tersebut di atas tentunya diyakini kebenarannya oleh orang-orang yang beriman kepada-Nya, orang-orang yang membenarkan apa-apa yang diberitakan di dalam ayat-ayat-Nya yang merupakan firman-Nya yang terjamin kebenarannya. Keyakinannya tersebut selanjutnya mendorongnya untuk mengamalkan apa yang telah ditunjukkan oleh Rasul-Nya berupa pemberat timbangan nan istimewa. Ia pun berusaha sekuat tenaga untuk menjaganya.

Di antara pemberat timbangan nan istimewa tersebut adalah sebagai berikut,

Pertama, Mentauhidkan Allah dan Ikhlas dalam mengucapkan dua kalimat syahadat karena-Nya.

Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعِيْنَ سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا ؟ أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُوْنَ ؟ فَيَقُوْلُ : لَا يَا رَبِّ فَيَقُوْلُ : أَفَلَكَ عُذْرٌ ؟ فَيَقُوْلُ : لَا يَارَبِّ فَيَقُوْلُ : بَلَى إَنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيْهَا : أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ فَيَقُوْلُ : اُحْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُوْلُ : يَارَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ : إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ قَالَ : فَتُوْضَعُ السِّجِلَّاتِ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ فَلَا يَثْقَلُ مَعَ اِسْمِ اللهِ شَيْءٌ

“Sesungguhnya, Allah memilih salah seorang umatku di hadapan seluruh makhluk pada hari Kiamat. Kemudian Allah membuka untuknya 99 lembaran (catatan amal keburukan), tiap-tiap lembar (panjangnya) seperti sejauh mata memandang. Kemudian Allah bertanya,”adakah sesuatu yang engkau ingkari dari (catatan-catatan) ini ? Apakah para (Malaikat) penulis-Ku al-hafizhun (yang mencatat amal) telah menzhalimimu ? “

Hamba tersebut menjawab, “Tidak, wahai Rabbku !” Allah bertanya lagi apakah engkau mempunyai uzur ?” Si Hamba menjawab, “Tidak wahai Rabbku !” Lalu Allah berfirman, “Benar, sesunggunya di sisi Kami kamu memiliki satu kebaikan. Sesungguhnya pada hari ini kamu tidak akan dizhalimi.” Kemudian, dikeluarkan sebuah bithaqah (kartu) yang bertuliskan,

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

(Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya).

Allah berfirman, “Datangkanlah timbanganmu.” Hamba tadi berkata, ‘Wahai Rabbku ! apalah (arti) kartu ini dibandingkan lembaran-lembaran ini.”  Maka, Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maka, lembaran-lembaran itu diletakkan di atas satu daun timbangan, dan satu kartu tersebut diletakkan di atas satu daun timbangan yang lain. Maka, ringanlah lembaran-lembaran (catatan amal) itu, dan kartu tersebut lebih berat daripada lembaran-lembaran catatan amal itu. Maka, tidak ada sesuatupun yang bisa lebih berat bila ditimbang dengan nama Allah.” (HR. at-Tirmidzi)

  • Kalimat Itu Berat bagi Orang yang Memurnikan Tauhidnya

Perhatikanlah bagaimana kalimat ini menjadi sesuatu yang berat dalam timbangan kebaikan seorang hamba pada hari Kiamat ?!

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah, ketika mengomentari hadis di atas, mengatakan :

Maka ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa amal-amal yang ditulis dalam lembaran-lembaran catatan amal itu ditimbang, lembaran-lembaran catatan amal itu ditimbang, dan bahwa berat dan ringannya (timbangan itu) tergantung pada kebenaran amal tersebut dan tergantung pula pada sejauh mana keikhlasan seorang hamba kala melakukannya. Dan, seperti di dalam hadis yang di dalamnya disebutkan firman Allah kepada Musa ‘alaihissalam,

 لَوْ أَنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَالْأَرَضِيْنَ السَّبْعِ فِي كِفَّةٍ، وَلَا إِلَهَ إَلَّا اللهُ فِي كِفَّةٍ، مَالَتْ بِهِنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

“Seandainya langit yang tujuh dan bumi yang tujuh diletakkan pada satu daun timbangan dan kalimat لَا إِلَهَ إَلَّا اللهُ diletakkan di daun timbangan yang lainnya, niscaya akan berat timbangan  لَا إِلَهَ إَلَّا اللهُ .” (HR. an-Nasai)

Dan ini berlaku bagi orang yang memurnikan tauhidnya, dan mengucapkan kalimat ini dengan ikhlas, membenarkan isinya dan meyakininya. (Fatawa asy-Syaikh Ibnu Jibrin, 63/190)

Kedua, Berakhlak Mulia

Abu Darda radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ شَيْءٍ يُوْضَعُ فِي الْمِيْزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ

“Tidak ada suatu amalan yang jika diletakkan dalam timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang mulia. Sesungguhnya orang yang berakhlak mulia bisa menggapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (HR. at-Tirmidzi)

Oleh karenanya,  seorang hamba sangat ditekankan untuk berakhlak mulia terhadap sesamanya, dengan hal itu akan semakin memperberat timbangan kebaikannya.

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan kepadaku,

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada, iringilah kejelekan itu dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapus (dosa) keburukan tersebut, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR. at-Tirmidzi)

  • Tafsir Akhlak yang Mulia

Mengenai tafsir dari akhlak yang mulia ini telah diriwayatkan dari para Salaf, di antaranya,

al-Hasan mengatakan,  ‘Husnul khuluq (akhlak yang mulia) adalah dermawan, memberi dan bersabar.

Asy-Sya’biy mengatakan, ‘Husnul khuluq (akhlak yang mulia) adalah memberi serta bermuka ceria.

Ibnu Mubarak mengatakan, ‘Husnul khuluq (akhlak yang mulia) adalah bermuka manis, memberikan kebaikan, dan menahan diri dari menyakiti orang lain.

Imam Ahmad mengatakan, ‘ Husnul khuluq (akhlak yang mulia) adalah kamu tidak marah dan tidak pula membangun perselisihan. Diriwayatkan juga dari imam Ahmad bahawa ia mengatakan, ‘Husnul khuluq adalah kamu bersabar memikul beban perlakuan tidak baik dari orang lain.

Ishaq bin Rahawaih mengatakan, ‘Husnul khuluq adalah bermuka ceria dan kamu tidak marah.

Dan, sebagian ahli ilmu mengatakan, ‘Husnul Khuluq adalah menahan amarah karena Allah, menampakkan muka ceria kecuali kepada ahli bid’ah dan orang yang jahat, memberikan maaf kepada orang yang tepeleset (ke dalam kesalahan), kecuali dalam hal memberikan pendidikan atau menegakkan hukuman had. Dan, menahan diri dari menyakiti setiap orang muslim atau terhadap orang kafir yang terikat dengan perjanjian, kecuali untuk mengubah kemungkaran atau untuk mengambil barang yang dirampas dari orang bertindak zhalim untuk dikembalikan kepada pihak yang dizhalimi tanpa melampoi batas. Imam al-Hakim meriwayatkan dari hadis ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhaniy, ia mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan kepadaku,

يَا عُقْبَةُ، أَلَا أُخْبِرُكَ بِأَفْضَلِ أَخْلَاقِ أَهْلِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ؟ تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ، وتُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ ، وتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ

“Wahai ‘Uqbah ! Maukah aku beritahukan kepadamu tentang akhlak penduduk dunia dan akhirat yang paling mulia ? (akhlak tersebut adalah) kamu menyambung hubungan kekerabatan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, kamu memberi kepada orang yang enggan memberi kepadamu, dan kamu memaafkan orang yang menzhalimimu.” (al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain,4/161) (Jami’ al-‘Ulum Wal Hikam Fii Syarhi Khamsiina Haditsan Min Jawami’ al-Kalimi, 20/81)

Apa yang disebutkan di atas adalah penafsiran ‘khusnul khuluq’ dengan menyebutkan contoh. Artinya, hal-hal tersebut merupakan contoh dari bentuk ‘khusnul khuluq’. Dan, dari beberapa contoh tersebut, kita dapat mengambil pelajaran bahwa khusnul khuluq dapat berwujud “ucapan”, dapat pula berwujud “sikap dan perbuatan.” Kedua wujud khusnul khuluk tersebut telah Allah isyaratkan dalam al-Qur’an. Tentang khusnul khuluk dalam wujud ucapan, Allah Ta’ala mengisyaratkannya dalam firman-Nya,

وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Qs. al-Baqarah : 83). Dia ‘azza wa jalla juga berfirman,

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُوْلُوْا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Dan katakanlah kepada para hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (Qs. al-Isra : 53).

Tentang khusnul khuluk dalam wujud perbuatan, Allah Ta’ala mengisyaratkannya dalam firman-Nya,

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (Qs. al-Qashash : 77), yakni, dan berbuat baiklah kepada orang lain dengan memberikan sedekah (kepada orang-orang yang membutuhkan), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dengan memberikan harta yang banyak (kepadamu). (at-Tafsir al-Muyassar, 7/111)

Ketiga, Dzikrullah (Mengingat Allah)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيْلَتَانِ فِي الْمِيْزَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيْمِ

“Ada dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat di timbangan, dan disukai ar-Rahman, yaitu : Subhaanallahi Wa Bihamdihi, Subhaanallahi al-‘Azhim, Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, Maha suci Allah Yang Maha Agung.” (HR. al-Bukhari-Muslim)

Siapa ingin timbangan kebaikannya berat di hari Kiamat, hendaknya ia memperbanyak mengucapkan kalimat ini. Hendaknya lisannya selalu basah dengan berdzikir kepada Allah Ta’ala.

Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar membantu kita untuk banyak berdzikir mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya dan memperbaiki kualitas ibadah kita kepada-Nya. Amin

Wallahu A’lam (Redaksi)

Referensi :

  1. Al-Jami’ ash-Shahih Sunan at-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidziy
  2. At-Tafsir al-Muyassar, Sekumpulan Pakar Tafsir di bawah bimbingan Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh
  3. Fatawa asy-Syaikh Ibnu Jibrin, Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin
  4. Jami’ al-‘Ulum Wal Hikam Fii Syarhi Khamsiina Hadiitsan Min Jawami’ al-Kalimi,  Zainuddin Abu al-Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin al-Baghdadiy
  5. Shahih al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy
  6. Shahih Muslim, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburiy.