menikah itu mudahSeorang laki-laki shalih menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki shalih dan baik tanpa mempertimbangkan materi dan kedudukan yang menjadi pertimbangan banyak kalangan dalam menikahkan anak-anak mereka sekalipun dengan orang-orang fasik dan fajir.

Dalam biografi hamba shalih Said bin al-Musayyib disebutkan bahwa Abdul Malik bin Marwan melamar anak perempuan Said bin al-Musayyib untuk anaknya al-Walid bin Abdul Malik yang sudah diangkat menjadi putra mahkota, namun Said bin al-Musayyib menolak lamaran tersebut.

Abu Wada’ah berkisah, aku menghadiri majlis Said bin al-Musayyib, beberapa hari terakhir aku tidak hadir, manakala aku hadir, dia bertanya kepadanya, “Ke mana saja kamu?” Aku menjawab, “Istriku meninggal, aku sibuk mengurusinya.” Said bin al-Musayyib berkata, “Mengapa kamu tidak memberitahu kami agar kami bisa ikut menghadiri?”

Manakala aku hendak berdiri, dia bertanya, “Apakah kamu sudah memikirkan untuk menikah kembali?” Aku menjawab, “Semoga Allah merahmatimu, siapa yang berminat mengangkatku sebagai menantu sementara yang aku punyai hanya dua atau tiga dirham saja?” Said bin al-Musayyib berkata, “Bila kamu berkenan maka aku akan menikahkanmu.” Aku menjawab, “Baik.”

Lalu Said bin al-Musayyib memuji Allah dan membaca shalawat kepada Nabi kemudian menikahkanku dengan mahar dua atau tiga dirham. Aku bangkit setengah sadar karena saking bahagianya, aku pulang seraya berpikir dari mana aku mendapatkan uang, sempat terpikir untuk berhutang.

Selepas shalat Maghrib, hari itu aku berpuasa, saat aku berbuka dengan hidangan roti dan minyak samin, tiba-tiba pintu rumah diketuk, aku bertanya, “Siapa?” Pengetuk menjawab, “Said.” Maka pikiranku tertuju kepada semua orang yang bernama Said kecuali Said bin al-Musayyib, laki-laki ini tidak pernah tidak terlihat di masjid selama 40 tahun, aku bangkit menuju pintu, ternyata yang datang adalah Said bin al-Musayyib, aku mengira dia berubah pikiran.

Aku berkata, “Wahai Abu Muhammad, mengapa engkau tidak mengutus orang selanjutnya aku yang datang kepadamu?” Dia menjawab, “Tidak, aku lebih patut untuk datang kepadamu.” Aku bertanya, “Apa yang engkau inginkan dariku?” Dia menjawab, “Kamu sudah menikah, tidak baik melewatkan malam sendirian, ini aku serahkan istrimu kepadamu.” Ternyata putrinya sudah berdiri di belakang bapaknya. Kemudian bapaknya mendorongnya ke pintu lalu menutupnya, anak perempuan itu terlihat sangat pemalu, lalu dia mengunci pintu.

Aku langsung naik ke atap rumah, aku mengundang para tetangga dan mereka datang ke rumahku. Mereka bertanya, “Ada apa denganmu?” Aku menjawab, “Said bin al-Musayyib menikahkanku dengan anak perempuannya, dia telah membawanya kepadaku tanpa sepengetahuan kalian, sekarang dia ada di dalam rumah.” Maka orang-orang datang ke rumah, termasuk ibuku yang mendengar kabar pernikahanku, beliau datang dan berkata kepadaku, “Wajahku dari wajahmu haram bila kamu menyentuhnya sebelum aku mempersiapkannya selama tiga hari.” Maka aku menunggu tiga hari kemudian aku masuk kepadanya, ternyata dia adalah wanita paling cantik, paling hafal al-Qur`an, paling mengetahui sunnah Rasulullah dan paling berbakti kepada suami.

Bapak mana yang tak bangga saat putrinya dilamar oleh pemimpin negara untuk putra mahkotanya, harapan semua bapak di muka bumi, kebanggaan yang tidak mungkin membuatnya menolak, karena menerimanya sama dengan terkantrolnya derajat dan martabat hidup, karena menerimanya sama dengan menjamin kemakmuran dan kesenangan hidup, kedudukan terhormat dan harta melimpah, siapa yang tak mau?

Tetapi tidak dengan laki-laki sayyid para tabi’in, Said bin al-Musayyib, dia tak tergiur sedikit pun dengan semua itu karena dia berbeda pandangan dengan bapak pada umumnya, pandangannya tertuju kepada apa yang ada di sisi Allah yang lebih baik dan lebih kekal, dia melihat menolak lamaran putra mahkota lebih menjamin meraih apa yang ada di sisi Allah, sebaliknya menerimanya lebih menjauhkan, karena itu yang kedua inilah yang menjadi pilihannya.

Tidak sebatas itu, bapak yang mulia ini memudahkan pernikahan sedemikian mudah bahkan sedemikian murah, menantunya orang yang tepat, agama dan akhlaknya diterima, lalu apa alasan tidak memudahkan dan memurahkan? Mudah dan murah demi meraih apa yang sulit dan mahal, itulah logika dagang sederhana yang tak mengundang kening berkerut untuk memikirkannya atau tubuh berpeluh untuk menggapainya. Ada yang mau ikut jejak Said bin al-Musayyib? Wallahu a’lam.