Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An-Nisa’: 69).

Ada dua pertanyaan:

Pertama, Siapakah orang-orang shalih itu?

Kedua, Apa keberkahan dan keutamaan mereka?

Jawaban dari dua pertanyaan inilah yang akan kita uraikan pada tulisan ini. Semoga bermanfaat. Amin.

Siapakah orang-orang shalih itu?

Ibnul Jauzi -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “اَلصَّالِحُوْنَ Ash-Shalihun (orang-orang shalih) adalah nama yang disandang bagi setiap orang yang baik batin dan lahirnya.” (Zadul Masir,2/127).

Ada yang mengatakan, yaitu orang-orang yang mempergunakan usia mereka di dalam ketaatan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan membelanjakan harta-harta mereka ke dalam hal-hal yang diridhai olehNya. (Ruhul Ma’ani, 5/78).

Ada juga yang mengatakan selain itu.

Atas dasar apa pun, pengertian-pengertian seperti ini menunjukkan bahwa orang-orang shalih adalah mereka yang beriman, yang mengerjakan amal-amal shalih, yang melaksanakan hak-hak Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan hak-hak para hambaNya, serta yang lurus keadaannya.

Terkadang, orang-orang shalih dinamakan dengan para wali atau wali-wali Allah. Karena, wali-wali Allah adalah mereka yang beriman kepadaNya dan mencintaiNya. Mereka mencintai apa saja yang Dia cintai; membenci apa saja yang dibenciNya; ridha terhadap apa saja yang diridhaiNya; murka terhadap apa saja yang dimurkaiNya; memerintahkan apa saja yang diperintahkanNya, dan melarang dari apa saja yang dilarangNya. (al-Furqan Baina Auliya-ir Rahman Wa Auliya-isy Syaithan, hal.6).

Keberkahan dan Keutamaan Orang-orang Shalih

Penjelasan mengenai hal ini adalah sebagai berikut :

1. Mereka terkenal dengan keistiqamahannya

Orang-orang shalih terkenal sebagai orang-orang yang istiqamah dalam segala kondisi mereka. Mereka adalah orang-orang yang taat kepada Rabb mereka dan taat kepada RasulNya -صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ-; ikhlas dalam beribadah kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan benar dalam amalan-amalan mereka.

Dapat dipastikan bahwa siapa saja yang mengamalkan ketaatan semacam ini, ia akan mendapatkan keberkahan dan buahnya, yaitu kebaikan duniawi dan ukhrawi, sebagaimana yang Allah        -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- firmankan,

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Maka jika datang kepadamu petunjuk dariKu, lalu barang siapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123).

Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata, “Ia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” (Tafsir Ibni Katsir, 3/169).

Mengenai apa saja yang telah disediakan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-bagi hamba-hambaNya yang shalih di akhirat, terdapat penjelasan di dalam hadits qudsi yang diriwayatkan dalam kitab Shahihul Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

قَالَ اللَّهُ أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

Allah –عَزَّ وَجَلَّ– berfirman, ‘Aku telah menyiapkan untuk hamba-hambaKu yang shalih sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati seorang manusia’.”

Di antara yang menghiasi orang-orang yang shalih adalah keindahan akhlaknya. Itulah perilaku terpuji yang pengaruh-pengaruh baiknya di dunia di kalangan umat manusia tidak disangsikan lagi. Balasan berlimpah yang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-sediakan bagi para pemiliknya di akhirat kelakpun demikian.

Seandainya kita meneliti lafazh “shalihun” dan derivasinya (kata turunannya) yang sering disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, pasti kita dapatkan bahwa lafazh itu hanya digunakan dalam konteks pujian, sanjungan dan penghormatan.

2. Manfaat yang didapat dari keberadaan orang-orang shalih

Berkat taufik dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, di samping lantaran keberkahan mereka, orang-orang shalih mempunyai beberapa manfaat keagamaan dan keduniaan bagi selain mereka, termasuk bagi orang-orang kafir. Di antara hal tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, umat manusia dapat mengambil manfaat dari amalan orang-orang shalih. Dan hal semacam ini memiliki beberapa jalan, yaitu:

(a) Mengajak ummat menusia kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar, membimbing mereka kepada kebaikan, membantu mereka terhadapnya, serta melaksanakan kewajiban menasehati.

(b) Memperkenalkan kepada orang-orang Mukmin akan agama mereka, hukum-hukumnya, syariat-syariatnya, dan adab-adabnya. Inilah yang dilakukan oleh para ulama di antara mereka, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang mulia bahwa “اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ” (ulama adalah pewaris para Nabi).

(c) Berbuat baik kepada orang lain dengan sesuatu yang bisa dilakukan oleh para ulama berupa memberikan harta atau yang lainnya dan memberikan bantuan dengan sarana apa pun.

(d) Mendoakan umat manusia, terutama orang-orang Mukmin. Mereka mendoakan orang-orang kafir semoga mendapatkan hidayah serta mendoakan orang-orang Mukmin semoga mendapat taufik, kedamaian, ampunan dosa, dan sebagainya. Tidak disangsikan lagi pengaruh yang besar dan bermanfaat dari doa di dunia maupun akhirat, khususnya jika doa itu berasal dari orang-orang yang shalih dan bertakwa.

Demikianlah manfaat-manfaat yang beraneka ragam, yang diberikan oleh orang-orang shalih kepada selain mereka, dan hal ini menunjukkan adanya keberkahan pada mereka.

Imam Ibnul Qayyim -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Sesuatu yang bermanfaat adalah yang diberkahi dan sesuatu yang paling bermanfaat adalah yang paling banyak mendatangkan keberkahan. Manusia yang diberkahi, di mana pun ia berada, adalah yang mendatangkan kemanfaatan di tempat yang dia tempati itu.” (at-Thibbun Nabawi, hal. 124).

Kedua, diperolehnya kebaikan dan keberkahan pada penghidupan kaum Muslimin dan rizki mereka serta kemenangan atas musuh-musuh mereka lantaran keberkahan dari ketaatan, kebaikan dan doa orang-orang shalih.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96).

Dalam kitab Shahihul Bukhari disebutkan bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ

“Tidaklah kalian ditolong (dari musuh) dan diberi rizki melainkan lantaran orang-orang lemah di antara kalian.” (HR. Al-Bukhari).

Dalam riwayat An-Nasai disebutkan,

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذِهِ اْلأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ

Sesungguhnya Allah menolong ummat ini (dari musuh mereka) lantaran orang lemah dari mereka, doa, shalat dan keikhlasan mereka.

Sebagian ulama berkata, “Diistimewakannya orang-orang lemah (dalam hadits di atas) dengan alasan bahwa mereka lebih ikhlas dalam berdoa dan lebih khusyu’ dalam beribadah, dikarenakan kekosongan hati mereka dari ketergantungan kepada kemegahan dunia.” (Fathul Bari, VI/89).

Di antara keberkahan orang-orang shalih yang serupa dengan hal tersebut adalah adanya hukum-hukum syari’at dalam agama ini yang memberikan rukhshah (keringanan) dan kemudahan terhadap kaum Muslimin, lantaran keberkahan dari sebagian orang-orang shalih.

Contoh dari hal itu adalah turunnya ayat (yaitu, ayat 43 dari surat an-Nisa’) yang memberikan rukhshah (keringanan) untuk bertayamum karena karunia Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kemudian lantaran keberkahan Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-.

Mengenai hal ini, Usaid bin al-Hudhair -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata, “Hal itu bukanlah keberkahan pertama dari kalian, wahai keluarga Abu Bakar.” (Lihat hadits ini beserta kisahnya dalam Shahihul Bukhari, I/86 dan Shahih Muslim, I/279).

Ketiga, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menolak kejahatan, siksaan, dan adzab dari umat manusia lantaran keberkahan, keshalihan, dan doa orang-orang shalih.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ  

“Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud: 117).

Karena itulah, ketika Ummul Mukminin, Zaenab binti Jahsy -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- dikabari oleh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tentang dekatnya sebagian fitnah, ia -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan binasa, sementara di antara kami terdapat orang-orang yang shalih?” Beliau menjawab, “Ya, jika khabats telah banyak terjadi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Maksud hadits di atas adalah ketika khabats (kefasikan dan kezhaliman) meluas, kehancuran yang merata akan terjadi, sekalipun masih terdapat orang-orang shalih. (Syarhu an-Nawawi li Shahih Muslim, XVIII/4).

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ  

“Sesungguhnya ketika umat manusia telah melihat seseorang bertindak zhalim namun mereka tidak memegang (menahan) kedua tangannya, maka tidak lama lagi Allah akan menimpakan kepada mereka dengan siksaan secara merata.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ لَا يُغَيَّرُوْنَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابِهِ

“Sesungguhnya ketika umat manusia telah melihat kemunkaran namun mereka tidak mau mengubahnya, maka tidak lama lagi Allah akan menimpakan kepada mereka dengan siksaanNya secara merata.” (HR. Ibnu Majah).

Dari hadits ini, dapat dipahami bahwa di antara sebab tersingkirnya azab dari umat manusia adalah perubahan yang dilakukan manusia terhadap kemungkaran, dan hal itu termasuk tanda-tanda orang-orang shalih.

Mengangkat azab dari umat manusia lantaran keberkahan ini terkadang meliputi orang-orang kafir dan pelaku-pelaku maksiat ketika mereka berada di tengah-tengah orang-orang Mukmin.

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Terkadang, Allah tidak mengazab orang-orang kafir dan zhalim, dengan tujuan agar azab tersebut tidak menimpa orang-orang Mukmin yang ada di sekitar mereka yang tidak berhak menerima azab. Dari sinilah dipahami firmanNya,

وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

”Dan kalaulah tidak karena laki-laki yang Mukmin dan perempuan yang Mukminah yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendakiNya ke dalam rahmatNya. Sekiranya mereka tidak bercampur baur tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih.” (QS. al-Fath: 25).

Andaikan bukan karena ada orang-orang Mukmin di tengah-tengah orang-orang kafir, niscaya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah mengazab orang-orang kafir. (Majmu’ al-Fatawa, XI/113-114).

Berbagai manfaat kaum Muslimin shalih cukup beraneka ragam, dan kebaikan mereka pun cukup banyak. Bahkan, manfaat itu terus berlangsung setelah mereka meninggal dunia, sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim).

Di samping sampainya keberkahan-keberkahan anak-anak shalih kepada orang tua mereka yang telah meninggal dunia melalui doa, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga akan mempertemukan orang tua yang shalih dengan anak cucu mereka yang mukmin di tempat tinggal mereka di surga, sekalipun amal perbuatan anak cucu mereka itu tidak setingkat dengan amal orang tuanya, sebagai penghormatan terhadap orang tua mereka dan agar hati mereka menjadi tenang dengan keberadaan anak cucu mereka. Hal itu lantaran karunia dan anugerah dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, di samping lantaran keberkahan amalan orang tua mereka (Lihat, Tafsir al-Baghawi, 4/238), sebagaimana yang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-firmankan,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka.” (QS. Ath-Thur: 21).

Inilah keberkahan-keberkahan terbesar yang diperoleh dari orang-orang shalih setelah mereka meninggal dunia, di samping banyaknya manfaat seorang Mukmin dan meluasnya keberkahannya, sehingga Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menyamakan pohon kurma -karena banyak manfaatnya- dengan seorang Muslim, dalam sabda beliau,

إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ  

“Sesungguhnya di antara berbagai jenis pohon terdapat satu pohon yang keberkahannya seperti keberkahan seorang Muslim.” (HR. al-Bukhari).

3. Karamah-karamah yang Allah tetapkan di dunia melalui tangan sebagian orang shalih -sebagai pemuliaan kepada mereka dan pengokohan terhadap dakwah Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– karena mereka merupakan pengikutnya.

Karamah -yang bentuk jamaknya adalah karamaat– didefinisikan sebagai hal luar biasa yang Allah tampakkan melalui tangan seorang hamba yang shalih yang mengikuti sunnah. (Lawami’ul Anwar al-Bahiyyah, 2/392).

Mempercayai adanya karamah-karamah para wali Allah yang shalih dan hal-hal luar biasa yang ditetapkan oleh Allah melalui tangan-tangan mereka termasuk dasar-dasar utama paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. (Al-‘Aqidatul Wasithiyyah, hal.19).

Karamah ini cukup banyak terjadi. Al-Quran dan As-Sunnah An-Nabawiyah sendiri telah menetapkan beberapa di antaranya, demikian pula atsar-atsar yang diriwayatkan dari para Sahabat atau Tabi’in, juga orang-orang setelah mereka, hingga hari Kiamat.

Di antara karamah-karamah tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Kisah popular para penghuni gua yang disebutkan dalam Al-Quran Al-Karim di dalam surat Al-Kahfi. Mereka adalah para pemuda yang beriman dan shalih yang melarikan diri demi menyelamatkan agamanya dari kezhaliman raja mereka dengan berlindung ke dalam gua yang ada di sebuah gunung. Kemudian, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menidurkan mereka selama tiga ratus tahun, ditambah sembilan tahun (totalnya 309 tahun).

(2) Karamah Maryam -عَلَيْهَا السَّلَامُ- dengan tersedianya makanan di sisinya ketika ia berada di mihrab padahal tidak ada seorang pun yang membawakan makanan tersebut, sebagaimana yang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- firmankan,

وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Dan Allah menjadikan Zakariya sebagai pemeliharanya. Setiap kali Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata, ‘Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?’ Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah.’ Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa hisab.” (QS. Ali Imran: 37).

(3) Kisah tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Mereka tidak dapat keluar darinya karena terhalang sebuah batu besar. Mereka kemudian berdoa kepada Rabb mereka dan bertawasul kepadaNya dengan amal-amal shalih yang pernah mereka lakukan, sehingga batu besar tersebut bergeser sedikit demi sedikit hingga terbuka penuh berkat kekuasaan dan taufik dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Kisah ini disebutkan dalam kitab Shahihul Bukhari dan Shahih Muslim.

 (4) Kisah seorag ahli ibadah dari Bani Israil yang bernama Juraij ketika ia dituduh berzina. Ketika itu, anak bayi yang masih disusui berbicara mengenai kebersihan diri Juraij, sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahihul Bukhari.

(5) Bertambah banyaknya makanan yang disuguhkan di dalam rumah Abu Bakar ash-Shiddiq -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- kepada tamu-tamunya, sebagaimana hal itu disebutkan di dalam Shahihul Bukhari dan Shahih Muslim.

(6) Bersinarnya tongkat dua orang Sahabat Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ketika keduanya keluar dari sisi Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pada malam yang gelap, sebagaimana disebutkan dalam Shahihul Bukhari.

(7) Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengabulkan doa Sa’ad bin Abi Waqqash -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- terhadap orang yang telah menzhaliminya, sebagaimana disebutkan dalam Shahihul Bukhari.

(8) Tersedianya anggur di sisi Khubaib bin ‘Adi al-Anshari –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ketika ia ditawan oleh orang-orang Musyrik di Makkah, padahal ketika itu di Makkah tidak ada anggur, sebagaimana disebutkan dalam Shahihul Bukhari.

Masih ada beberapa kisah lain tentang karamah-karamah dari sebagian Tabi’in dan orang-orang yang datang setelah mereka.

Tidak diragukan lagi bahwa karamah-karamah yang telah penulis sebutkan di atas dan karamah serupa lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya, dialami oleh para pelakunya lantaran taufik dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, karunia dan anugerahNya, di samping lantaran keberkahan keimanan mereka kepada Allah  -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, keshalihan dan ketakwaan mereka.

Secara umum, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyanjung hamba-hambaNya yang shalih serta amal-amal perbuatan mereka yang baik dan diberkahi. Karena itu, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mensyariatkan kepada seorang Muslim saat mengerjakan shalat agar menyampaikan salam kepada orang-orang shalih setiap kali bertasyahhud membaca tahiyyat, yaitu dengan membaca,

السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ

(As-Salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘Ibaadillahish Shaalihiin)

Semoga keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih.”

Di akhir pembahasan ini, penulis ingin mengingatkan bahwa kedudukan orang-orang shalih itu berbeda-beda, sebagaimana yang telah diketahui, sehingga mereka itu tidak berada dalam tingkatan yang sama. Sebagai contoh, dalam umat Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang paling utama adalah generasi pertama, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.

Para sahabat -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ- lebih utama daripada para Tabi’in; para Tabi’in lebih utama daripada Tabi’ut Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in lebih utama daripada generasi setelah mereka. Abu Bakar ash-Shiddiq -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- termasuk golongan umat yang paling utama setelah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, kemudian Khulafa-ur Rasyidin lainnya, dan seterusnya.

Meskipun demikian, ketika seorang Mukmin yang shalih bertambah keimanan dan ittiba‘nya (terhadap Sunnah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-), serta semakin meningkat keshalihannya, maka keutamaannya semakin bertambah, kedudukannya semakin tinggi, dan keberkahannya semakin besar.

Sampai di sini, penulis cukupkan pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan keberkahan orang-orang shalih. Semoga Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikan kita semua termasuk ke dalam golongan mereka. Amin.

 

(Redaksi)

 

Sumber:

Barakaatu ash-Shaalihiin Wa Fadhaa-iluhum, Dr. Nashir bin Abdurrahman bin Muhammad al-Juda’i.