Sebagai pengenalan terhadap kaedah kedua dari kaidah-kaidah beribadah dengan dzikir dan do`a, dan untuk menyinggung masalah perbedaan antara do`a atau dzikir yang terikat (muqayyad) dan yang umum itu, maka dari hasil penelitian ditemukan cara-cara yang di-sandarkan kepada cara dzikir dan do`a yang umum atau yang terikat dengan keadaan, waktu dan tempat, khususnya yang berkaitan dengan posisi kedua tangan, di antaranya adalah sebagai berikut:

1.Mengangkat pandangan mata ke arah langit sewaktu berdo`a.
2.Pelurusan posisi kedua tangan sewaktu berdzikir dan berdo`a.
3.Pelurusan di dalam cara pelaksanaan.
4.Pelurusan di dalam cara memperoleh kekhusyu’an.
5.Dzikir jamaah.
6.Pelurusan dalam melakukan dzikir.

Penjelasannya adalah berikut ini:

Pertama: Mengangkat pandangan mata ke arah langit

Di sini penulis akan mengupas masalah mengarahkan pandangan mata ke arah langit . Untuk itu penulis katakan:
Sudah menjadi ketetapan syara’, fitrah (insting) dan akal, bahwa Allah ta’ala mempunyai sifat ke-Maha tinggian, yaitu ketinggian dzat, ketinggian derajat, dan ketinggian kekuasaan, dengan kaedah firman-Nya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11).

Oleh karena itu, seorang hamba akan mendapatkan suatu keharusan dan insting di dalam dirinya yang mengarahkan hati dan ketergantungannya kepada Allah ta’ala di dalam ke-Maha tinggian-Nya tersebut. Hal ini adalah perkara fitrah, keharusan (dharuri), dan rasional yang telah disepakati oleh seluruh umat manusia, tanpa terkecuali.

Hati mempunyai satu arah untuk menghadap, yaitu kepada Allah ta’ala di dalam ke-Maha tinggianNya. Karenanya, anda akan melihat pembahasan tentang masalah ini dalam kitab-kitab tauhid sangat lengkap, khususnya yang berkaitan dengan bantahan terhadap kaum Jahmiyah dan Mu’atthilah.

Mengesakan Allah ta’ala di dalam menghadap kepada-Nya adalah keniscayaan dan terpancang kuat di dalam fitrah dan hati dengan berbagai variasi arah muka dan tangan menurut perintah syar’i, sebagai bentuk kepatuhan kepada Sang Pemberi perintah (Allah ta’ala):

Terkadang pandangan mata terpaku ke arah kiblat saat berdiri dan duduk di saat shalat, agar keadaan seperti itu lebih mendekatkan kepada kekhusyu’an; dan itu merupakan kekhusyu’an dan kehinaan pandangan mata. Oleh karena itu, sewaktu menyedekapkan tangan di dalam shalat, mereka berkata, ‘Kehinaan di hadapan ke-Maha-perkasaan’. Terkadang sewaktu sujud dan sewaktu ruku’ pandangan mata menghadap ke arah tanah, agar hal itu menjadi ungkapan puncak dari rasa tunduk dan hina. Dan terkadang secara terpaksa dia menghadap ke arah langit, oleh karena arah pandangan hati kala itu. Oleh karena itu, anda akan melihat dalam beberapa keadaan orang-orang yang sedang berdo`a dan berdzikir, bahwa di antara sebagian mereka ada yang secara refleks anggota-anggota badan mereka tergerak menghadap ke atas dan ke atas lagi. Hal itu terjadi seiring dengan gerak hati mereka, baik dengan isyarat tangan, jari-jari, mata, kepala, atau dengan anggota badan lainnya dari isyarat-isyarat yang bersifat inderawi. Dan berkaitan dengan hal itu, sungguh telah terdapat berbagai had○ts mutawatir dari Nabi ta’ala, dan telah disepakati oleh kaum muslimin dan bahkan oleh kelompok non muslim.

Allah ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.” (al-Baqarah: 144).

Anda bisa melihat di dalam as-Sunnah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengangkat pandangannya ke arah langit, padahal beliau berada di dekat Ka’bah, seraya mendo`akan keburukan terhadap orang-orang Nasrani dan Yahudi agar mereka dikutuk; dan beliau juga pernah mengarahkan pandangannya ke langit sewaktu menderita sakit yang mengantarkannya kepada kematian beliau, seraya berkata, “Kekasih Yang Maha Tinggi.”

Juga pada tempat-tempat lainnya. Akan tetapi, tidak ada sumber yang kuat yang menyatakan perintah kepada orang yang berdo`a atau berdzikir untuk mengarahkan pandangannya ke arah langit (atas). Akan tetapi inilah yang ditemukan oleh manusia di dalam hati mereka, dan telah menjadi fitrah bagi mereka dalam hati dan akal mereka, yaitu keharusan mengarahkan pandangannya ke atas. Di dalam syariat yang suci ini, telah dihimpun dua kemuliaan bagi pemohon (pendo`a), yaitu: hati menghadap kepada Allah, dan ini disebut: ‘mengesakan Allah ta’ala di dalam niat’; dan yang kedua, muka menghadap ke arah baitullah, dan ini disebut: ‘mengesakan Allah ta’ala dalam mengikuti sunnah’. Yaitu, dengan menghadap ke arah kiblat yang telah diridhai oleh Allah ta’ala bagi umat ini (Islam). Maka, terkumpullah dua rukun amal (ibadah) bagi pemohon, yaitu: ikhlas dan mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (mutaba’ah).

Ka’bah adalah kiblat -berdasarkan nash (dalil) dan ijma’- yang dijadikan arah untuk menghadap oleh sang hamba, dan ke arahnya ia menghadapkan mukanya dan seluruh anggota badannya. Allah ta’ala mensyariatkan agar orang-orang yang beribadah, orang-orang yang berdo`a dan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah ta’ala menghadap ke arahnya. Oleh karena itu, amal ibadah yang dilakukan sambil menghadap ke arah kiblat menjadi penghulu majlis, sebagaimana ditegaskan di dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dengan sanad baik (jayyid).

Menghadap ke arah kiblat di saat berdo`a sudah menjadi petunjuk dan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam berbagai kesempatan, seperti pada perang Badar dan perang Tabuk, di dalam do`a Istisqa, dan pada beberapa tempat do`a dalam ibadah haji, semisal: ketika berada di bukit Shafa dan di bukit Marwah, di padang Arafah, pada Masy’ar al-Haram, serta sewaktu melempar Jumrah pertama dan kedua. Begitu pula, pada banyak kejadian lain yang di dalamnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap dengan seluruh anggota badannya dan terutama mukanya ke arah kiblat sewaktu berdo`a.

Ada riwayat mutawatir yang menyatakan bahwasanya termasuk tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berdo`a adalah mengangkat tangan dengan bagian dalamnya menghadap ke arah langit, juga berisyarat dengan jari telunjuk tangan kanan dalam berdo`a pada khutbah Jum’at dan waktu tasyahhud di dalam shalat, sebagai isyarat pengesaan (pemusatan) tujuan kepada Allah ta’ala (tauhid al-qashd) dan menghadapkan hati kepada-Nya di dalam ke-Maha tinggianNya. Ketika kebutuhan besar dan mendesak, maka keseriusan di dalam hati pemohon (pendo`a) itu pun semakin mantap, maka dari itu ia benar-benar mengangkat kedua tangannya setinggi-tingginya ke atas, sebagaimana hal itu pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga terlihat putih ketiaknya. Karenanya, anda bisa sering temukan banyak orang mengatakan: “Angkatlah tangan-tangan kalian menghadap kepada Allah ta’ala”

Oleh karena itu pulalah, terdapat larangan bagi seseorang meludah ke arah kiblat di dalam shalat. Juga, larangan menghadap dan membelakangi kiblat sewaktu buang air besar atau air kecil. Dan larangan memandang ke atas (langit) sewaktu berdo`a di dalam shalat, sebagai perintah untuk merealisasikan kekhusyu’an yang mana Allah ta’ala memberikan pujian kepada orang yang khusyu`, di dalam firman-Nya,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ {1} الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ {2}

 “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya,” (al-Mu’minun: 1-2). Dan kekhu-syu’an itu bisa terjadi dengan menundukkan pandangan.

Ringkasan

1. Berdasarkan ijma’, langit bukan kiblat untuk berdo`a, karena kaum muslimin sudah mempunyai satu kiblat untuk semua ibadah, kiblat yang disyariatkan bagi mereka menghadap kepadanya saat beribadah. Dan kiblat ini adalah Ka’bah -semoga Allah ta’ala menambah kemuliannya- Jadi, kaum muslimin tidak mempunyai dua kiblat di dalam Islam.

Hal ini sudah menjadi ijma’ ulama, sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam rahimahullah di dalam bantahannya terhadap kelompok Jahmiyah. Beliau berkata: “Sesungguhnya kaum muslimin bersepakat bahwasanya arah yang disyariatkan bagi orang yang berdoa untuk dijadikan kiblat sewaktu berdo`a adalah kiblat yang telah disyariat-kan di dalam shalat. Begitu pula, ia adalah kiblat yang disyariatkan di dalam dzikir kepada Allah ta’ala, juga kiblat sewaktu berdo`a di padang Arafah, Muzdalifah, ketika kita berada di bukit Shafa dan Marwah. Demikian pula, sangat disunnahkan bagi orang yang ber-dzikir dan berdo`a kepada Allah ta’ala untuk menghadap kiblat (saat berdzikir atau berdo`a), seperti yang telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau menghadap kiblat sewaktu berdo`a. Dan begitu pula, Ka`bah (Baitullah) merupakan kiblat untuk menghadapkan jenazah ke arahnya, dan menghadapkan sesembelihan ke arahnya. Dialah kiblat yang dilarang menghadap kepadanya sewaktu buang air besar atau air kecil.

Maka, kaum muslimin -bahkan juga non muslim sekalipun- tidak mempunyai dua kiblat di dalam ibadah-ibadah yang berasal dari dua jenis, seperti shalat dan penyembelihan hewan, apalagi ibadah-ibadah yang berasal dari satu jenis, yang sebagiannya berhu-bungan dengan sebagian yang lain. Seperti shalat, di dalamnya terdapat do`a pada surat al-Fatihah dan bacaan lainnya, dan sebenarnya do`a itu sendiri adalah ibadah.”

Beliau juga berkata: “Jika kiblat dalam berdo`a adalah kiblat shalat itu sendiri, maka tentu perkataan kaum Jahmiyah bahwasanya ‘Arsy dan langit adalah kiblat bagi do`a adalah perkataan (pendapat) yang menyelisihi ijma’ kaum muslimin dan menyelisihi masalah yang sudah dimaklumi dari ajaran Dienul-Islam. Maka, perkataan mereka tersebut adalah perkataan (pendapat) yang paling batil.”

2. Adapun mengarahkan pandangan ke atas (ke langit) sewaktu berdo`a itu ada dua macam, yaitu:

1.Terdapat ijma’ yang menyatakan larangan bagi seorang yang shalat untuk menghadapkan pandangannya ke atas di dalam shalat, mengingat sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَـنْ رَفْعِ أَبْصَارِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ أَبْصَارُهُمْ

“Hendaknya para kaum itu berhenti mengharapkan pandangan mereka ke arah langit di dalam shalat atau pandangan mereka tidak akan kembali lagi kepada mereka.” (HR. Muslim dan yang lainnya).

2. Pemohon menghadapkan pandangannya ke atah (langit) di luar shalat. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berselisihan: Pertama, hukumnya makruh, dan ini disandarkan kepada pendapat Syuraih dan yang lainnya; dan Kedua, hukumnya boleh, dan ini disandarkan kepada pendapat mayoritas ulama. Dan pendapat ini pula yang dipilih oleh para muhaqqiq (ahli peneliti).

Alasannya adalah bahwa orang yang berdo`a menghadapkan pandangannya ke atas sewaktu berdo`a di luar shalat, bukan karena atas (langit) sebagai kiblat berdo`a, melainkan karena perasaannya, seperti ketergantungan hati kepada Allah di dalam ke-Mahatinggian-Nya, sebagaimana yang telah diuraikan di muka. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah menghadapkan pandangannya dalam beberapa kesempatan yang telah disebutkan terdahulu.

Maka, menghadapkan pandangan ke atas (langit) di luar shalat itu tidak ada alasan untuk memakruhkannya. Jadi, hukumnya adalah boleh saja. Hal itu terjadi secara refleks karena hatinya terkonsentrasi kepada Rabbul `Alamin, Allah ta’ala, di dalam ke-Maha tinggianNya, bukan karena menghadapkan pandangan mata ke atas saat berdo`a itu sunnah atau wajib. Saya tidak pernah melihat orang yang menyatakan seperti itu ataupun dalil-dalil yang mengisyaratkan kepadanya. Wallaahu A’lam.

3. Bahwa menghadap kiblat (ke arah Ka`bah) sewaktu berdo`a itu sunnah hukumnya menurut syara’, bukan wajib, dan ini berda-sarkan kesepakatan kaum muslimin (ijma’).

4. Saya menemukan sebuah hikmah besar berkaitan dengan disyariatkannya bagi orang yang berdo`a untuk mengangkat kedua tangannya sewaktu berdo`a, dengan telapak tangan menghadap ke arah langit. Ini tanda tauhidul-qashdi (keesaan tujuan) dan menghadap hanya kepada Rabul Izzati Allah ta’ala di dalam ke-Mahatinggian-Nya.

Hal ini sebagai tambahan kepada apa yang disebutkan oleh kebanyakan ulama, yang berupa: memohon rizki, menampakkan kehinaan, butuh dan ketergantungan kepada Allah ta’ala, serta membuka tabir antara seorang hamba dengan Tuhannya.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhih ad-Du’a`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]