esSesungguhnya iman kepada Allah ta’ala yang diminta dari manu-sia dan jin itu tidak akan bisa direalisasikan kecuali dengan meyakini secara mantap bahwasanya Allah ta’ala adalah Tuhan dan Pemilik segala sesuatu yang ada, dan bahwasanya Dialah yang memiliki sifat kesempurnaan dan keagungan, juga bahwasanya Dialah satu-satunya yang berhak disembah yang tiada sekutu bagi-Nya, lalu mengamalkan keyakinan tersebut menurut ilmu dan dalam bentuk perbuatan. Dan hal itu tidak akan terealisasi kecuali dengan meng-ikuti sunnah Nabi dan Rasul yang terakhir, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak seperti dugaan orang-orang yang sok belagu (berpura-pura bodoh), yaitu bahwasanya iman kepada Allah ta’ala bisa direalisasikan dengan mengimani keberadaan Allah ta’ala dan Rububiyyah-Nya tanpa perlu mengimani nama-nama dan sifat-sifat-Nya, mengesakan-Nya di dalam ibadah, dan tanpa mengikuti Rasulullah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Maka, mengesakan Allah ta’ala di dalam ibadah, adalah tujuan akhir yang karenanya Allah ta’ala telah menciptakan manusia dan jin, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah ta’ala,

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ {56}

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56). Maksudnya, untuk mengesakan-Nya.
Tauhid di dalam ibadah ini merupakan fitrah yang di atas prinsip inilah Allah ta’ala menciptakan manusia, sebagaimana firman Allah ta’ala,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ {30}

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi keba-nyakan manusia tidak mengetahui.” (ar-Rum: 30).

Di dalam sebuah hadîts shahih disebutkan, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يَهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), lalu kedua orang tuanya menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi…. dst.” (Hadîts ini telah disepakati keshahihannya).

Yang dimaksud dengan fitrah di sini adalah agama Allah (Islam) yang tegak di atas dasar pengakuan dan mengesakan-Nya. Dan tauhid yang bersifat fitrah ini ada pada semua makhluk. Ia merupakan dasar dan landasan bagi pengetahuan ilahi yang senantiasa diserukan oleh semua nabi dan rasul untuk diketahui dan diamalkan karena Allah ta’ala. Jadi, mengetahui Allah ta’ala adalah dasar semua ilmu, sedangkan beramal karena Allah ta’alaadalah dasar bagi semua amal perbuatan.

Oleh karena itu, agama yang dengannya Allah ta’ala mengutus para rasul-Nya dan karenanya pula Dia menurunkan kitab-kitab-Nya adalah bertauhid kepada Allah ta’ala di dalam ibadah, sebagaimana firman Allah ta’ala,

تَنزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ {1} إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ {2} أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ مَانَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى اللهِ زُلْفَى إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَاهُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ {3}

“Kitab (al-Qur’an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)….” (az-Zumar: 1-3).

Dan karena itu pula, agama Allah ta’ala yang ada di bumi dan langit ini hanya satu, yaitu agama Islam. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ …. {19}

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19).

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ اْلأِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ {85}

“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85).

Agama ini berlaku umum sepanjang masa, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sebuah hadîts shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda,

نَحْنُ مَعَاشِرَ الْأَنْبِيَاءِ دِيْنُنَا وَاحِدٌ.

“Kami segenap para nabi, sesungguhnya agama kami itu satu.” (HR. Muslim dan Ahmad dengan lafazh yang berbeda).

Agama yang satu ini adalah agama sepanjang masa dan menu-rut bahasa masing-masing nabi, yaitu agama Islam dalam arti umum yang sama sekali tidak akan mengalami penghapusan di dalam masalah tauhid (akidah), prinsip, tempat kembali, hari akhir, qadar, iman kepada kitab, rasul, malaikat, prinsip-prinsip kemuliaan, kebaikan dan kebajikan. Dan kalaupun ada, maka itu sebatas variabel di dalam syari’atnya saja, dan syari’at inilah yang selalu mengalami perubahan.

Oleh karena itu, bertauhid kepada Allah ta’ala di dalam ibadah merupakan kunci bagi dakwah seluruh rasul, inti kerasulan mereka dan yang dipersengketakan di antara para rasul dan umat mereka. Sebagaimana Allah ta’alatelah mengeluarkan sebuah firman yang berlaku umum melalui bahasa masing-masing rasul,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (az-Zumar: 36).

Allah ta’ala telah menyebutkan hal ini secara terperinci di dalam dakwah Nabi Nuh ‘alaihi sallam, Nabi Hud ‘alaihi sallam, Nabi Shalih ‘alaihi sallam, dan Nabi Syu’aib ‘alaihi sallam,

لَقَدْ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ ……

“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selain-Nya.” (al-A’raf: 59, 65, 73 dan 83).

Rasul terakhir, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sang pemegang risalah yang berlaku umum dan kekal sampai hari kiamat, dan risalah yang meng-hapus semua syari’at sebelumnya, bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

“Aku telah diperintahkan untuk memerangi orang-orang hingga mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah.” (Muttafaq ‘Alaih, dan ini merupakan hadîts mutawatir).

Maka, tauhid Uluhiyyah inilah yang diminta untuk direalisasikan oleh segenap manusia, dan ia merupakan pemisah jalan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang musyrik. Karena itulah, kalimat Islam adalah “la ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah ta’ala). Jika seseorang hanya mengucapkan “lâ rabba illallâh” (tidak ada rabb selain Allah), maka itu belumlah cukup baginya, menurut para ulama muhaqqiq.

Oleh karena itu, nama ‘Allah’ tersebut asalnya adalah ‘al-ilâh’ (berarti: tuhan, sembahan). Dia adalah nama yang mencakup semua makna dari nama-nama Allah (asma’ul-husna) dan sifat-sifat-Nya yang maha luhur. Dan karena itu pulalah, bacaan isti’âdzah (memohon perlindungan) pada permulaan ayat al-Qur’an bergantung dengan nama ‘Allah’. Maka, seorang manusia tidak boleh memohon perlindungan dari yang selain-Nya.

Adapun lafazh ‘Allah’ adalah nama Dzat yang merangkum seluruh nama dan sifat. Sesungguhnya surat ‘tauhid’ itu dikhususkan bagi-Nya, kalimat ‘syahadat’ itu terjadi karena-Nya, dan segala nilai itu disyari’atkan oleh-Nya.

Begitu pula, bacaan basmalah selalu terdapat di pembukaan setiap surat dengan nama-Nya, yaitu ‘Allah’. Karena, munajatnya seorang hamba itu tidak akan sah kecuali kepada Tuhan yang berhak disembah dengan benar, yaitu Allah ta’ala.

Awal surat dalam al-Qur’an (surat al-Fatihah) pun dimulai dengan bacaan “Alhamdulillah” (Pujian bagi Allah), sebab hati seorang hamba di dalam ibadahnya tidak akan terpaut dan berpaling kepada selain Allah ta’ala. Sedangkan surat an-Naas diakhiri dengan dasar dari nama ‘Allah’, yaitu: “sembahan manusia” (ilâhin nâs), sebagai penguat firman Allah ta’ala pada pembukaan al-Qur’an. Tauhid Uluhiyyah inilah yang diingkari oleh kalangan orang-orang musyrik.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, dengan edisi indonesia berjudul Koreksi Zikir]