Tujuan-Diutusnya-Para-Rasul-300x300Secara keseluruhan, bisa kita katakan, bahwa setiap ayat di dalam al-Qur’an mengandung tauhid, sebagai penguat baginya, dan penyeru kepadanya. Sebagai buktinya adalah bahwa al-Qur’an terkadang berisi berita tentang Allah ta’ala, berbagai asma’, sifat dan perbuatan-Nya. Ini disebut dengan tauhid al-’ilmi al-Khabari, mengingat dia berisi tentang ilmu dan keyakinan yang berhubungan dengan berbagai berita dan pengetahuan. Tauhid ini juga merupakan bentuk mengesakan Allah ta’ala di dalam asma’ dan sifat-sifat-Nya.

Terkadang al-Qur’an berisi tentang seruan agar menyembah kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, dan melepaskan semua bentuk sesembahan yang selain-Nya. Ini disebut dengan tauhid al-Irâdi ath-Thalabi, mengingat dia berisi tentang kehendak dan niat serta berkaitan dengan keduanya. Tauhid ini ada dua macam, yaitu: tauhid Rububiyyah dan tauhid Uluhiyyah.

Terkadang al-Qur’an berisi tentang perintah dan larangan, serta keharusan untuk menaatinya, dan itu termasuk hak-hak tauhid dan langkah-langkah penyempurnaannya.

Terkadang al-Qur’an berisi pemberitaan tentang pemuliaan terhadap orang-orang yang bertauhid, perlakuan baik terhadap mereka di dunia, serta penghormatan yang akan diberikan kepada mereka di akhirat nanti. Ini sebagai ganjaran atas pengesaan terhadap Allah ta’ala.

Dan terkadang al-Qur’an berisi berita tentang orang-orang musyrik (paganis) beserta bentuk hukuman yang ditimpakan kepada mereka di dunia dan adzab yang akan mereka hadapi di akhirat nanti. Dan ini sebagai balasan bagi orang yang melanggar atau keluar dari hukum tauhid.

Maka, al-Qur’an al-‘Azhim seluruhnya tentang tauhid, hak-haknya dan ganjarannya, juga tentang syirik (lawan tauhid), para pelakunya, serta balasan yang akan ditimpakan kepada mereka.

Coba perhatikan surat pertama di dalam al-Qur’an (surat al-Fatihah), di situ Anda akan dapati kalimat: ’Alhamdulillah’ sebagai bentuk tauhid Uluhiyyah, lalu kalimat ‘rabbal-‘alamin’ sebagai bentuk tauhid Rububiyyah, lalu kalimat ‘ar-rahmaan ar-rahiim’ sebagai bentuk tauhid di dalam asma dan sifat, lalu kalimat ‘maaliki yaumiddiin’ sebagai bentuk tauhid di dalam kekuasaan, mengingat di antara hakikat Tuhan sesembahan yang ‘kekuasaan’ ini merupakan salah satu sifat-Nya, adalah Dia menguasai hari kiamat yang merupakan hari pembalasan dan perhitungan amal.

Kemudian kalimat ‘iyyaaka na’budu’ sebagai bentuk tauhid di dalam pujian dan niat, tauhid semacam ini bisa mengusir penyakit riya’ (pamer), lalu kalimat ‘iyyaaka nasta’iin’ sebagai bentuk tauhid di dalam permintaan dan permohonan, tauhid semacam ini bisa mengu-sir penyakit ‘ujub (bangga pada diri sendiri) dan sifat sombong. Dan berkisar kepada ayat ini pula, inti dakwah seluruh nabi dan rasul.

Berikutnya kalimat ‘ihdinash-shiraathal-mustaqiim’ sebagai bentuk tauhid yang berkenaan dengan jalan penghubung kepada Allah ta’ala, yaitu jalan yang telah disyari’atkan dan ditegakkan oleh Allah ta’ala bagi hamba-hamba-Nya. Jalan ini merupakan jalan orang-orang yang bertauhid yang tersebut di dalam firman Allah setelah itu: ‘shiraathal-lladziina an’amta ‘alaihim’. Maka, tidaklah temanmu di dalam jalan ini melainkan seorang yang bertauhid (muwahhid). Dan tauhid berkaitan dengan jalan ini bisa mengusir berbagai penyakit kebodohan, kesesatan dan hawa nafsu. Kemudian kalimat ‘ghairil-maghdhubi ‘alaihim waladh-dhaalliin’ sebagai peringatan terhadap jalan orang-orang yang telah meninggalkan tauhid.

Coba perhatikan surat terakhir dalam al-Qur’an (surat an-Nas): Kalimat ‘qul a’udzu bi rabbin-naas’ merupakan bentuk tauhid, lalu kalimat ‘malikin-naas’ merupakan bentuk tauhid, dan kalimat ‘ilaahin-naas’ juga merupakan bentuk tauhid. Hal ini sebagai pembuktian bahwasanya ayat dan surat al-Qur’an yang berada di antara dua tempat, kesemuanya hanya untuk satu tujuan, yaitu: ‘bertauhid kepada Allah ta’ala semata’ sesuai tuntunan yang telah disyari’atkan oleh Allah ta’ala melalui ucapan Rasulullah ta’ala. Dan hal inilah yang dituntut oleh dua persaksian di dalam Islam, yaitu: tidak ada yang disembah selain Allah ta’ala, dan agar tidak menyembah Allahta’ala kecuali dengan apa yang telah disyari’atkan. Dan kepada dua hal ini pula proses tasyri’ berputar.

Oleh karena itu, pada permulaan surat al-Baqarah, tepatnya setelah Allah ta’ala menyebutkan bahwasanya manusia ada tiga golongan: mukmin, kafir dan munafik, maka datanglah perintah yang pertama kali di dalam al-Qur’an untuk menyembah Allah semata di awal-awal surat al-Baqarah,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {21}

“Hai manusia, sembahlah Rabbmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa.” (al-Baqarah: 21).

Sedangkan larangan yang pertama kali di dalam al-Qur’an, terdapat pada ayat setelahnya, yaitu larangan terhadap syirik dan mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah ta’ala,,

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَآءَ بِنَآءًوَأَنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ {22}

“Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 22).

Dan yang semisalnya terdapat di dalam as-sunnah. Karena, umumnya hadîts Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang membahas tentang dosa-dosa besar, selalu dimulai dengan syirik. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamditanya: Dosa apakah yang baling besar di mata Allah ta’ala? Beliau menjawab, “Kamu menjadikan sekutu bagi Allah ta’ala, padahal Dia telah menciptakanmu.”

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, dengan edisi indonesia berjudul Koreksi Zikir]