klngSebagaimana mereka juga telah mencatat, bahwa sebaiknya bagi seorang fakir (istilah dalam ajaran sufi) jika telah selesai menggunakan tasbeh berukuran sedang yang sesuai dengan bacaan dzikir, hendaknya ia mengalungkannya di lehernya, sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan kepada benda itu. Di dalam kitab “al-Minan”, al-Quthb (Kedudukan tertinggi dalam tingkatan para wali) asy-Sya’rani rahimahullah bercerita: “Pernah suatu kali kakiku menginjak tasbeh, maka aku hampir saja terpelanting karenanya demi memuliakan tasbeh tersebut.”.

Hal itu harus dilakukan, karena pengalungan tasbeh di leher lebih memelihara dan menjaga tasbeh dari tindak penghinaan, peremehan dan penghancuran. Mengalungkan tasbeh di leher juga berguna untuk menumpas atas rongrongan nafsu, serta mengekang-nya agar tidak berpaling kepada prilaku busuk. Yang demikian ini berdasarkan apa yang dilakukan oleh orang-oang yang telah bermujahadah di bawah penanganan para ulama sufi kelas tinggi (ahl al-hadhrah ar-rabbaniyah), yaitu mereka yang telah memadukan syariat dengan hakikat, fanâ’ dan baqa’, sadar dan mabuk, kehadiran dan ghaib, dan antara mujahadah dengan musyahadah(menyaksikan alam ghaib, alam ruh). Cobalah Anda kiaskan sendiri!

Dalil bagi ini semua dari sudut dzauq (rasa) dan hâl adalah bahwa mengalungkan tasbeh di leher termasuk suatu hal yang paling tidak disuka dan memberatkan nafsu, khususnya jika tasbeh tersebut kasar dan terbuat dari kayu yang dirangkaikan pada sebuah benang dari bulu atau katun. Barangsiapa yang sudah merasakan, pasti ia mengetahui, sedangkan orang yang belum merasakan, maka tidak ada salahnya bila dia menerima dan mengakui.

Hakikat segala sesuatu itu tersimpan di dalam uji-coba, barangsiapa yang tidak pernah mencoba, maka dia tidak akan pernah benar. Wahai saudara-saudaraku, demi Allah! sekali lagi, demi Allah, aku pernah menahan rasa pahit getir luar biasa sewaktu mengalung-kan tasbeh di leherku pada tahap permulaan bila melihat pada nafsu dan manusia. Aku lebih suka bila ditaruh di atas kepalaku batu seberat gunung daripada berkalung tasbeh sekalipun beratnya hanya satu ons saja. Ketika aku mengalungkannya di leherku atas perintah guru-guruku yang mulia, maka redup sifat-sifat kemanusiaanku, dan tenanglah nafsuku hingga tidak terpancing untuk meniru akhlak setan yang menjadi penghalang dari kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa (al-Malik ad-Dayyan). Kekhusyu’an dan ketundukan pun meliputi lahir dan batinku…. hingga apa yang dituntut oleh aturan-aturan syar’i kepada kita, berupa sifat-sifat mulia (al-aushaf an-nuraniyyah) yang mampu mewujudkan kesempurnaan ibadah kepada Tuhan, Sang Pencipta manusia (Rabb al-Bariyyah) juga telah menyeli-muti diriku. Semua ini adalah rahasia yang ada dibalik beratnya tasbeh tersebut bagi raga, mengingat pada waktu itu raga telah berhasil jauh dari unsur ‘kebebasan’ dan ‘egoisme’, dan begitu dekat dari sifat tawadhu, rendah hati, menampakkan bentuk kefakiran dan kemiskinan (kepada Allah), berserah diri di hadapan Allah ta’ala, dan berbagai sifat kehambaan (‘ubudiyyah) lainnya, yang tak akan terpeleset darinya kecuali orang yang binasa, disebabkan berteman dengan orang-orang yang meridhai nafsu mereka. Cobalah Anda kiaskan sendiri! Allah ta’ala akan melindungi anda dari (keburukan) manusia. Ya Allah, lindungilah kami dari kejahatan fitnah, selamatkanlah kami dari segala cobaan, dan perbaikilah keburukan kami yang tampak (zhahir) dan tak tampak (batin) dengan karuniamu. Amiin.

Tidaklah benar bila dikatakan, bahwa mengalungkan tasbeh di leher bisa menyebabkan kefakiran sebagaimana yang telah disebutkan oleh sebagian mereka. Karena itu kami katakan, tidak ada dasar yang menguatkan pernyataan tersebut, sedangkan pengalaman dan realitas membuktikan hal yang sebaliknya. Sesungguhnya di antara kalangan ulama ahli nisbah -semoga Allah ta’ala mengokohkan tradisi mereka selamanya- ada yang mengalungkan tasbeh tersebut di leher mereka sehabis menggunakannya (untuk berdzikir). Sungguh Allah ta’ala telah melapangkan rizki mereka, baik yang bersifat inderawi (hissiyyah) maupun yang maknawi secara tidak terbatas dan tidak terbayang-kan. Hal itu tidak lain justru semakin menambah ketawadhu’an dan kerendahan mereka kepada Allahta’ala, Rasul-Nya, dan seluruh hamba-Nya di dunia dan akhirat.

Memang benar, terkadang pengalungan tasbeh di leher ini bisa menimbulkan rasa fakir bagi orang yang melakukannya karena riya’ dan sum’ah, serta menjadikannya sebagai jaring untuk memperoleh keuntungan dunia dan mengeruk harta orang lain dengan cara yang batil. Hal itu bisa diterima berdasarkan nash (dalil) al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa diragukan lagi. Hal yang sudah diyakini oleh ulama ahli nisbah adalah bahwasanya Allah ta’ala telah menyucikan mereka dari berbagai kotoran semacam ini berkat karunia-Nya, dan berkat bergaul dengan para Ahli nisbah (ahl hadhrat qudsillah), serta berkat pandangan guru-guru mereka yang secara maknawi merupakan obat mukjizat (elixir) yang atas taufiq Allah ta’ala mampu membolak-balikkan mata setiap orang yang berlindung kepada mereka. Sehingga, mata itu pun tidak mendapati pemakainya yang bersandar kepada mereka, selain orang yang benar-benar mencontoh keadaan mereka, baik dalam bentuk perilaku dan ucapan, atau orang yang menyerupai akhlak mereka dan sangat berambisi untuk mewujudkannya di dunia dan akhirat. Tidak diragukan lagi, bahwasanya orang yang menyeru-pai suatu kaum maka dia termasuk kelompok mereka, dan bahwa menyerupai orang-orang shalih akan menyebabkan keikutsertaan (ma’iyah) dan masuk ke dalam kelompok mereka berdasarkan ijma’.“Maka, tirulah mereka jika kamu tidak bisa seperti mereka. Sesungguhnya meniru orang-orang mulia itu adalah keberuntungan.”

Selanjutnya al-Bannani berkata, “Mengalungkan tasbîh di leher sehabis pemakaiannya (untuk berdzikir) ini, bisa dianalogikan dengan pengalungan pedang di leher. Kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membolehkan untuk menggantungi leher dengan perangkat jihad kecil, seperti pedang dan membolehkan pundak memikul beban seberat karung, sarung pedang, ransel, dan seperangkat lain yang biasanya dipukul di leher, maka tentunya menggantungi leher dengan perangkatjihad besar (baca: memerangi nafsu. pen) seperti tasbeh, mushaf, simbol-simbol kebaikan (dalail al-khairat) dan yang sejenisnya itu lebih utama dan lebih laik. Apa yang telah dinyatakan oleh Ibnul Hajj di dalam (kitabmya) “Madkhal” bahwasanya hal itu adalah bid’ah adalah pemahaman yang tidak bisa diterima, berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh banyak tokoh ulama zhahir dan batin. Atas pertolongan Allah ta’ala, di sini, Anda akan mengetahui sebagian dari hal itu, siapa saja yang menghafalnya, maka dia sebagai hujjah bagi orang yang belum menghafal. Di samping itu, amalan kebanyakan ulama terkemuka di timur dan barat juga sebaliknya.

Adalah merupakan suatu ketetapan, bahwa jika terjadi perselisihan dalam suatau masalah, sedangkan di salah satu pihak yang berselisih tersebut terdapat seorang ahli fikih nan sufi, sedang di pihak lainnya hanya seorang ahli fikih saja, maka yang pertama (faqih sufi) lebih diunggulkan mengingat Allah ta’ala telah memberi keistimewaan kepada para ulama sufi -semoga Allah ta’ala meridhai mereka semua-. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan mereka yang selalu diberkahi kasyaf dan kemampuan mengetahui rahasia alam ghaib dengan berkat karunia dan kemurahan-Nya, dan dengan berkah pencapaiaan mereka karena kesempurnaan ittiba.

Tasbeh di leher para malaikat

Al-Bannani berkata, “Mereka menuturkan bahwasanya guru dari guru-guru kami, yaitu al-Quthb al-Kamil al-Ghauts al-Washil Sayyiduna wa Maulana al-‘Arabi ad-Darqawi-semoga Allah meridhainya- telah Allah ta’ala perlihatkan kepadanya suatu golongan malaikat dalam posisi berdiri di hadapan Allah (al-Malik al-‘Allam) sambil berdzikir kepada-Nya dan melihat kepada-Nya secara terus-menerus, sedangkan tasbeh pada leher mereka terangkai sangat rapi. Lalu beliau (ad-Darqawi) mengambil tasbeh tersebut dengan sepenuh hatinya, dan terjadilah hâl yang luar biasa di dalam hatinya ketika menyaksikan berbagai rahasia dan bentuk kehadiran Tuhannya. Kemudian, beliau berharap itu terjadi kepada para pengikutnya, maka beliau pun menyuruh mereka untuk mengalungkan tasbeh pada leher mereka, sebagai upaya meniru para malaikat yang mulia tersebut, sekaligus untuk mengambil kesempatan faidah besar yang terkandung di dalamnya. Sebagian pembahasannya telah disebutkan terdahulu atas karunia Allah ta’ala.”

Slogan bagi kelompok asy-Syadzali ad-Darqawi

Al-Bannani berkata, “Di antara yang sudah beredar dan tersebar luas adalah bahwa pengalungan tasbeh pada leher telah menjadi simbol bagi kelompok as-Syadzali ad-Darqawi yang diberkahi ini, dan bahwa para guru (masyayikh) dalam kelompok ini menyuruh murid-murid mereka untuk mengalungkan tasbeh pada leher semenjak tahap permulaan, pertengahan dan akhir. Para ulama tingkat ketiga (Arbab al-Maqâm ats-Tsâlits) berkata, “Sesuatu (tasbeh) yang kami gunakan untuk sampai kepada Allah ta’ala maka kami tidak akan mening-galkannya untuk selamanya.” Sebagaimana mereka juga telah menyuruh berkalung tasbeh pada leher sehabis mempergunakannya, begitu pula mereka telah menyuruh berkalung tasbeh hingga bisa dilihat oleh orang khusus (khas) maupun orang awam (‘am), agar menjadi sesuatu yang luar biasa, meniru para malaikat dan lain sebagainya, sebagaimana telah ditegaskan oleh para tokoh ulama terkemuka.”

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]