arabKetika kita membahas tentang sebab-sebab ini, maka kebanyakannya tidak lebih dari sebatas ijtihad para ulama dalam mencari tahu tentang sebab-sebab ini, kita tidak memiliki dalil dari nash-nash syari’ah baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits dalam masalah ini. Akan tetapi semuan itu hanyalah perkiraan yang mungkin bisa dijadikan sebagai sebab, dan pengetahuan akan hakekat yang sebenaranya mengenai hikmah tersebut (hikmah pemilihan Jazirah Arab sebagai tempat awal mula Islam) adalah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara sebab-sebab tersebut adalah:

Pertama: Jazirah Arab adalah tanah merdeka, yang tidak ada satu pun di antara orang-orang yang memerangi agama dari kalangan imperium kala itu seperti Persia dan Romawi dan selainnya yang berkuasa di sana.

Kedua: Jazirah Arab kala itu bukan pemilik satu agama yang mendominasi di seluruh wilayahnya. Dahulu di sana ada penyembah berhala yang tersebar, akan tetapi ibadah-ibadah mereka berbeda-beda. Di anatara mereka ada yang menyembah Malaikat, ada yang menyembah bintang-bintang, ada yang menyembah berhala-berhala –dan ini kebanyakannya- namun demikian berhela-berhala ini juga bermacam-macam, bisa jadi masing-masing negeri memiliki berhala. Dan dalam aqidah (keyakinan) mereka terdapat kerapuhan.

Dan di tengah-tengah mereka ada orang-orang yang menolak hal itu, dan mengkritisinya. Dan di antara mereka ada yang menganut agama yahudi dan nashrani, dan sedikit dari golongan yang berpegang teguh dengan sisa-sisa agama yang lurus yaitu milah Ibrahim ‘alaihissalam.

Ketiga: Di samping alasan yang disebutkan di atas, maka keadan sosial di jazirah Arab memiliki nilai dan kedudukan yang tinggi di waktu itu. Kala itu aturan kesukuan adalah aturan yang berlaku, dan hubungan kekerabatan memiliki pengaruh di aturan ini. Maka ketika Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memulai dakwahnya, beliaushallallahu ‘alaihi wasallam mendapati kekuatan Bani Hasyim dan pertolongan mereka sebagai perlindung bagi beliau. Yang terdepan dari mereka (dalam membela beliau) adalah paman beliau, Abu Thalib, kemudian orang-orang yang menolong beliau dan yang bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari pemboikotan/pengepungan di Syi’b (celah di antara dua bukit). Bahkan di antara orang-orang yang masuk Islam adalah orang-orang yang mengambil faidah dari fanatisme kesukuan tersebut.

Keempat: Sesungguhnya orang-orang Arab yang hidup di Jazirah Arab dan di Mekah khususnya, mereka jauh dari pemandangan kehidupan perkotaan, mereka –sebagaimana dikatakan orang-orang- adalah “material-matreial alami” yang belum terpengaruh oleh peradaban, pemikiran-pemikiran lain.
[]pKelima: Sesungguhnya Jazirah Arab terletak di tengah-tengah Alam (dunia), suatu hal yang memudahkan terhubungnya risalah ini dengan mereka, dan tersebarnya di antara mereka. Dan sejarah Islam setelah itu menjadi saksi (bukti) dari faidah munculnya dakwah Islam dari “daerah yang tengah-tengah” ini. Dan keterangan bahwasanya Jaziran Arab atau Mekah adalah tengah-tengahnya dunia bisa dilihat dalam al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an karya Imam al-Qurthubi, Nailul Ma’arib Tahdzib Syarh ‘Umdatuth Thalib dan Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah.

Keenam: Keunggulan bahasa Arab dan luasnya penyebarannya. Maka kala itu di seluruh Jazirah Arab mereka hanya memiliki satu bahasa, yaitu bahasa Arab, sementara ada bemacam-macam bahasa di tempat-tempat yang lain seperti di India memiliki lima belas bahasa resmi.

Ketujuh: Sesungguhnya Mekah al-Mukarramah memiliki keistimewaan dengan banyaknya orang yang datang ke sana, baik dari kalangan para pengunjung yang datang ke Baitullah, para jama’ah haji, para pedagang, dan para pujangga dan penyair. Dan ini memudahkan berpindahnya risalah (Islam) dari jaizrah Arab melalui orang-orang yang kembali dari Mekah ke negeri mereka masing-masing setiap tahun. Bukankah masuk islamnya orang-orang Anshar melalui musim haji? Dan bukankah Bai’atul ‘Aqabah juga terjadi di musim haji?

Mungkin dengan hal itu kita bisa mengetahu keutamaan Jazirah Arab yang dipilih dengan pilihan Ilahi untuk menjadi tempat turunnya wahu, dan awal mula “risalah penutup” dan kiblat kaum Muslimin.

(Sumber:فقه السيرة karya Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim az-Zaid, hal. 20-21. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)