masjid nabiOrang-orang yang memperbolehkan pencarian berkah dengan makam Nabi melontarkan beberapa syubhat yang bersifat syar’i maupun naqli (nalar). Mereka menjadikannya sebagai hujjah atas diperbolehkannya atau disunnahkannya sebagian bentuk tabarruk pencarian berkah tersebut.

Di antara syubhat-syubhat itu ialah:

Syubhat pertama:

Jika meminta syafaat dan doa dari Rasulullah semasa hidup beliau dibenarkan, maka berarti diperbolehkan pula meminta hal tersebut dari beliau setelah beliau wafat, di samping bahwa beliau tetap hidup di dalam kubur. Hidup di alam kubur juga di alami oleh para syuhada’, seperti halnya para Nabi. Akan tetapai, tingkatan para Nabi itu lebih tinggi dan lebih sempurna daripada para syuhada’.

Bantahan:

Pertama, sanggahan terhadap orang yang membolehkan (meminta) syafaat Rasulullah secara global (baik semasa hidup ataupun setelah beliau wafat di sisi kubur beliau) adalah sebagai berikut:

Dalam nash-nash syar’i tidak dijumpai adanya dalil, yang shahih maupun yang dha’if, yang menunjukkan bolehnya meminta do’a dan syafaat dari Rasulullah di sisi makam beliau.

Nabi sendiri mengabarkan akan memberikan syafaat pada hari kiamat, tidak pernah mengatakan bahwa beliau di dalam makamnya akan memberikan syafaat kepada seseorang. Justru, umumnya nash-nash yang ada melarang untuk meminta syafaat dari orang-orang yang telah meninggal dunia.

Karena inilah, tidak seorang pun dari kalangan sahabat, para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, dan semua kaum muslimin, yang meminta dari Nabi setelah beliau wafat agar memberinya syafaat dan tidak juga meminta sesuatu kepada beliau. Tidak seorang pun dari kalangan imam-imam kaum Muslimin yang menyebutkan hal tersebut dalam kitab-kitab mereka.

Jika meminta do’a kepada para Nabi yang telah meninggal dunia diperbolehkan, maka apa yang menjadi alasan bahwa para sahabat Rasulullah tidak meminta dari beliau agar beliau mendo’akan mereka setelah beliau wafat, dan justru mereka beralih ke al-Abas bin Abdul Muthtahlib (ketika meminta hujan yang dilakukan oleh Umar), padahal mereka adalah umat yang paling mengetahui dan paling berantusias dalam hal kebaikan.

Kedua, sedangkan berdalil atas adanya syafaat tersebut dengan kehidupan Rasulullah di dalam makam beliau, maka masalah ini – yaitu masalah kehidupan para Nabi di dalam makam-makam mereka – telah menjadi ajang perdebatan di kalangan ulama. Walau demikian, klaim semacam ini dapat dijawab dengan penjelasan sebagai berikut:

Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah tetap hidup di dalam makam beliau. Jika para syuhada saja tetap hidup di dalam kubur-kubur mereka, tentunya para Nabi lebih berhak dan lebih utama dari mereka dalam hal ini. Akan tetapi, yang menjadi masalah di sini adalah pengetahuan tentang hakikat kehidupan dan perbedaan antara kehidupan di kubur dengan kehidupan di dunia.

Kehidupan alam barzakh adalah satu di antara kehidupan ghaib. Tidak ada yang mengetahui hakikatnya kecuali Allah. Karena itulah, kehidupan ini tidak dapat dianalogikan dengan kehidupan dunia, sebagaimana kehidupan akhirat tidak dapat dianalogikan dengannya. Tidak berarti kehidupan para Nabi dan Syuhada seperti ketika mereka berada dalam kehidupan dunia, mereka makan, minum, menikah, dan melakukan apa saja yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup. Seandainya kehidupan alam barzakh mereka seperti kehidupan dunia, tentunya tidak sah menyandangkan kata mati kepada mereka.

Di antara yang menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya adalah Nabi dalam kehidupan alam barzakhnya tidak mengetahui apa pun yang terjadi di dalam kehidupan ini.

Bukti akan hal ini adalah hadits yang terdapat dalam ash-shahihain dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah berdiri berkutbah kepada kami menyampaikan suatu nasihat, beliau bersabda:

أَلاَ وَإِنَّهُ سَيُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِى فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِى. فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ. فَأَقُولُ كَمَا قَالَ الْعَبْدُ الصَّالِحُ ( وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِى كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدٌ إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ) قَالَ فَيُقَالُ لِى إِنَّهُمْ لَمْ يَزَالُوا مُرْتَدِّينَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ مُنْذُ فَارَقْتَهُمْ

“Ingatlah, sesungguhnya akan didatangkan beberapa orang laki-laki dari umatku, lalu mereka diambil dan ditempatkan di golongan kiri, lalu aku berkata, ‘Wahai Rabb, selamatkanlah sahabat-sahabatku.’ Lalu dikatakan, ‘Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan setelahmu.’ Lalu aku berkata sebagaimana seorang hamba yang shalih berkata, “..dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engaku mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 117-118). Beliau bersabda, ‘lalu dikatakan kepadaku, ‘sesungguhnya mereka senantiasa kembali ke belakang mereka (murtad) sejak engkau berpisah dengan mereka.” (HR. Bukhari, V/191 dan Muslim, IV/2194)

Dengan demikian, jelaslah bagi kita adanya perbedaan hakikat kehidupan Rasulullah di dalam makam beliau dengan kehidupan dunia.

Atas dasar itulah, maka berhujjah atas dibolehkannya meminta syafaat atau doa dari Rasulullah setelah beliau wafat, karena beliau hidup di dalam makam beliau, adalah batil karena antara dua kehidupan ini tidak bisa diqiyaskan.

Syubhat kedua

Disyariatkan meminta hujan dengan menyingkap makam Rasulullah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari Abul Jauza Aus bin Abdullah, dia berkata, ‘penduduk Madinah pernah mengalami masa kemarau yang sangat memberatkan, lalu mereka mengadu kepada Aisyah, kemudian dia berkata, ‘lihatlah makam Nabi, buatlah lubang sampai ke langit sehingga tidak ada atap di antaranya dan langit.’ Abul Jauza berkata, ‘Lalu mereka melakukannya, maka kami dihujani hingga rerumputan tumbuh dan unta menjadi gemuk, sampai-sampai ia menjadi berat karena banyaknya lemak. Maka tahun itu dinamakan tahun fatq (kesuburan dan kebaikan yang banyak).’ (Sunan Ad-Darimi, I/43)

Bantahan

Syubhat semacam ini dijawab oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dia berkata, “Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah mengenai pembukaan lubang dari makam Nabi hingga ke langit agar turun hujan adalah tidak shahih, juga sanadnya. Sesungguhnya hal itu dinukil oleh orang yang terkenal sebagai pendusta. Di antara yang menjelaskan kedustaan hadits ini adalah semasa hidup Aisyah, rumah beliau tidak memiliki celah (di bagian atas), justru sebagiannya tetap seperti  semula ketika Nabi masih hidup, sebagiannya diberi atap dan sebagiannya lagi terbuka, dan sinar matahari masuk ke dalamnya. Hal ini disebutkan dalam ash-shahihain dari Aisyah bahwa Nabi melakukan shalat ashar sedangkan sinar matahari berada di kamar Aisyah dan tidak ada lagi bayangan yang tampak setelah itu.” (Ar-Radd Ala Al-Bakri, 67-68)

Ibnu taimiyah berkata, “Tatkala kamar beliau dibangun pada masa Tabi’in, mereka membiarkan adanya celah di atasnya hingga ke langit.” (Iqtidha Ash-Shirath al-Mustaqim, II/678-679)

Ibun taimiyah menyebutkan bahwa tujuannya adalah agar ada orang yang dapat turun darinya ketika dibutuhkan, untuk tujuan menyapu atau membersihkan, dan terakhir dibangun adalah kubah di atas atap. (Iqtidha Ash-Shirath al-Mustaqim, II/679)

 

Dinukil oleh Saed As-Saedy dengan sedikit gubahan dari buku Tabaruk Memburu Berkah Sepanjang Masa Di Seluruh Dunia Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (edisi terjemahan Indonesia), hal 13-22, DR. Nashir bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Judai’, penerjemah Ahmad Yunus, Msi, cetakan petama April 2009 M, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Jakarta.