Wanita memang unik, kelembutan yang membalutnya ibarat pisau bermata dua, semuanya tajam. Banyak lelaki yang tumbang terhina karena terpedaya rayuan lembutnya. Tidak sedikit pula lelaki yang tegak mulia karena kasih sayang dan kesabaran yang selalu menemaninya.

Sekalipun balutan hijab menutupi keindahan tubuhnya, wanita tetap menggoda; yaitu lewat kelembutan suaranya, karena itu wanita dilarang berlemah lembut saat berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Lantas bagaimana ketika auratnya terumbar lepas?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita adalah aurat, sehingga ketika ia keluar (rumah), setan akan menjadikannya menarik sebagai objek perhatian.” (HR. at-Tirmidzi no. 1173, hadits shahih).

Sehingga jangan heran, ketika sebelum menikah, seorang laki-laki akan melihat seorang wanita yang hendak dinikahinya begitu sempurna, seolah tidak ada minusnya sedikitpun. Dialah yang paling cantik, paling menarik, paling baik, paling perhatian, dan lain sebagainya. Tapi, setelah menikah, hari berganti hari, bulan berlalu bulan, tahun menyapa tahun, karakter masing-masing semakin jelas terlihat. Bagi yang tidak mengerti dan pemahaman agamanya lemah, konflik kerap tersulut api dan dianggapnya seolah benang kusut yang sulit terurai. Adapun bagi yang mengerti, ia adalah seni dan keindahan dari sebuah dinamika kehidupan rumah tangga.

 

Tulang rusuk yang paling bengkok

Seorang suami harus mengerti, bahwa seorang istri yang selalu mendampingi dirinya bukanlah bak bidadari surga, yang tidak memiliki cacat atau kurang sedikit pun, entah fisiknya maupun akhlaknya, yang harus terlihat sempurna dan sesuai keinginannya. Seorang istri tidak lain hanyalah manusia biasa, yang menyimpan banyak kekurangan dan kelemahan, yang selayakanya ditutupi dan dilengkapi oleh kelebihan suaminya.

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci mukminah (istri), apabila ia tidak suka dengan salah satu akhlaknya, ia tentu akan ridha dengan akhlak yang lainnya.” (HR. Muslim no. 3721).

Sedari awal, suami harus sadar, karakter seorang istri tidaklah sama dengan karakternya. Memaksa karakter seorang istri harus searus dengan dirinya adalah awal prahara. Bukan kebaikan yang didapat, justru konfliklah yang akan kerap muncul dan menghiasai rumah tangganya. Ketika ada hal yang perlu diputuskan, bermusyawarahlah dengannya, timbanglah sisi baik dan buruknya, sampaikanlah argumentasiargumentasi dengan baik dan tanggapilah saran-sarannya dengan bijak.

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ

  “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 159).

Benar, seorang suami adalah kepala rumah tangga, pemimpin bagi istri dan anakanaknya. Tapi bukan berarti kediktatoran menjadi pilihannya. Pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang mengerti keadaan rakyatnya, mendengarkan keluhannya, memperhatikan kondisi mereka dan melindunginya dari segala keburukan yang mengancam.

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan bergaulah dengan mereka (istri-istri) menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. an-Nisa’: 19).

Hendaklah seorang suami menjadi pemimpin bijak yang dicintai anggota keluarganya. Ia harus paham, seorang istri adalah wanita yang diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok. Bersikaplah yang adil, lembut, penyabar dan perhatian kepadanya. Janganlah dipaksakan karakternya, selama itu baik dan tidak keluar dari rambu-rambu agama, biarkanlah karakter itu menjadi identitasnya. Seorang suami cukup memoles dan mengarahkannya sesuai tuntunan syariat, dengan cara yang baik dan penuh kelembutan.

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ

“Hendaklah kalian saling menasihati kepada para wanita (istri) dengan kebaikan, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling atas. Apabila engkau memaksa untuk meluruskannya, maka ia akan patah, dan jika engkau biarkan apa adanya, ia akan tetap bengkok. Karena itu hendaklah kalian saling menasihati kepada para wanita (istri) dengan kebaikan.” (HR. Bukhari no. 3331).

 

Kurang akal dan agama

Seorang suami juga harus paham, bahwa tabiat seorang istri diciptakan memiliki akal dan agama yang kurang sempurna. Sehingga ia pun harus bijak, sabar dan pengertian dalam menyikapi kekurangan ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ. قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ؟ قَالَ: أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ

“’Tidaklah aku melihat orang-orang yang memiliki kekurangan akal dan agama, yang mampu mengalahkan orang yang akalnya sempurna (seorang laki-laki –penj) daripada kalian (para wanita -penj)?’ Salah seorang sahabat dari kalangan wanita berkata, ‘Wahai Rasulullah! Apa yang dimaksud kekurangan akal dan agama?’ Nabi bersabda, ‘Adapun maksud kurang akalnya karena persaksian dua wanita setara dengan persaksian seorang laki-laki, dan ia (seorang wanita) akan berdiam diri beberapa malam tanpa mengerjakan shalat dan tidak berpuasa Ramadhan, dan ini yang dimaksud kurang agamanya.” (HR. Muslim no. 250).

Kurang akal di sini bukan berarti sejak awal wanita itu diciptakan lebih bodoh dibanding laki-laki, daya intelektualnya lebih lemah dan tingkat kecerdasannya lebih rendah. Tapi karena adanya faktor-faktor lain, daya pikirnya menjadi tidak tereksploitasi secara sempurna. Bukankah sejarah mencatat, sebagian sahabat Nabi dari kalangan wanita, mereka dikenal kecerdasan dan kefakihannya? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat yang lain pun mengakui hal ini.

Menurut Syaikh Asy-Sya’rawi, yang mengatur hawa nafsu dan perasaan adalah akal, tapi porsi perasaan dalam diri seorang wanita lebih besar, sehingga akalnya berkurang. Karena itu, seorang wanita kuasa menahan lelahnya mengandung, sakitnya proses persalinan dan beratnya begadang malam demi menjaga sang buah hatinya.(1)

Adapun kurang agamanya, karena wanita ketika dalam kondisi haidh atau nifas, ia harus meninggalkan shalat dan puasa serta tidak mengqadha shalatnya. Sekalipun demikian, tidak mendapatkan hukuman atas kekurangan ini, karena sumbernya dari syariat itu sendiri. Semua ini adalah bentuk kemudahan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum wanita, karena saat tabiat haidh atau nifas berbenturan dengan puasa dan shalat, hal itu sangatlah memberatkan mereka.(2) Wallahu A’lam. (Saed as-Saedy, Lc.).

 

Footnote:

(1) http://www.startimes.com/f.aspx?t=34726295

(2) http://www.binbaz.org.sa/node/86