sirah-nabawiyah-mubarakfuriSirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bagian dari agama ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى {4}

” Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

Dan firman-Nya:

… وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ … {44}

” …Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka …” (QS. An-Nahl: 44)

Dan penjelasan terkadang dilakukan dengan ucapan, perbuatan dan persetujuan (pembenaran) atas sebuah perbuatan. Dan Sirah Nabawiyyah, di dalamnya terdapat praktek terhadap al-Qur’an yang bersifat perbuatan. Oleh karena itu, maka mengkajinya memiliki urgensi yang besar, secara globalnya adalah sebagai berikut.

1. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita di dalam al-Qur’an untuk mencatat Sirah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan Sunnah-sunna beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ …{21}

” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzaab: 21)

Dan tidak mungkin menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan yang baik, melainkan dengan mengetahui Sirah (perjalananan hidup beliau) dan petunjuk (ajaran beliau). Maka mengetahui hal ini (Sirah) dan itu (ajarannya) tidak mungkin dicapai kecuali dengan menulis Sirah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, Sunnah (hadits) beliau, dan petunjuk beliau di dalam perbuatan, dan persetujuannya serta dengan mentakhrijnya (takhrij adalah menyandarkan hadits kepada perawinya, serta menghukumi statusnya). (Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah, at-Ta’shil Li Ushulit Takhrij)

2. Kita mempelajari Sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena ia adalah SIrah manusia terbaik yang pernah dikenal dalam sejarah manusia. Maka ia adalah sirah pemimpin anak cucu Adam ‘alaihissalam. sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَنَا سَيِّد وَلَد آدَم يَوْم الْقِيَامَة

“ Aku adalah sayyid (penghulu/pemimpin) anak Adam pada hari kiamat.” (HR. Muslim).

3. Kita mempelajari Sirah beliau dengan tujuan untuk memahami Kitabullah (al-Qur’an), karena banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang turun disebabkan adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam Sirah. Kemudia setelah turunnya juga, realisasi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kandungan ayat-ayat tersebut adalah seperti syarh (penjelasan) amaliah (secara praktek) tentang tatacara menjawab/memenuhi seruan/ajakan yang datang dalam ayat-ayat tersebut. Maka Sirah Nabawiyyah menjelaskan al-Qur’an dari sisi pengetahuan terhadap sababun Nuzul (sebab turunnya ayat), dan dari sisi pengetahuan tentang tatacara meralisasikan seruan yang dikandung dalam ayat-ayat tersebut.

‘Abdul Humaid bin Badis rahimahullah berkata:” Dan fikih (pemahaman) terhadap al-QUranul Karim tergantung pada fikih tentang kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Sunnahnya. Dan pemahaman terhadap kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tergantung pada al-Qur’an. Dan memahami Islam tergantung pada pemahaman terhadap keduanya.” (Ad-Durar al-Ghaliyah Fii Adabi ad-Da’wah wa ad-Da’iyah 85)

4. Di antara pokok agama yang harus diketahu oleh seorang hamba adalah pengetahuannya terhadap Nabinya, setelah ia mengetahui Rabbnya dan agamanya. Dan pengetahuannya terhadap Nabinya mengandung lima perkara:

1. Mengetahui nasab beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling mulia nasabnya.

2. Mengetahui tahun dan tempat kelahiran beliau serta tempat hijrahnya

3. Mengetahui kehidupan belilau shallallahu ‘alaihi wasallam pada masa kenabian, yaitu selama dua puluh tiga tahun.

4. Dengan apa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

5. Dengan ajaran apa beliau diutus dan kepada siapa beliau diutus? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus dengan membawa tauhidullah (meng-Esakan Allah) dan syari’atnya yang mencakup menjalankan perintah dan meninggalkan larangan. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam diutus sebagai rahmat untuk seluruh alam semesta untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik, kekufuran dan kebodohan kepada cahaya ilmu, iman dan tauhid sehingga mereka meraih ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala, keridhaan-Nya dan selamat dari siksa dan murka-Nya.

Dan mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membawa kita untuk:

a. Menjadikan diri kita lebih mencintai, menghormati, memuliakan dan mengagungkan Nabi kita tercinta Mumammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan agar menjadikan cinta kita kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam cinta yang tumbuh di atas ilmu, dan bukan sekedar perasaan yang diwariskan dari nenek moyang. Dan cinta yang tumbuh di atas ilmu adalah kecintaan yang diinginkan (oleh syari’at).

b. Meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kita diperintahkan untuk meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا {21}

” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzaab: 21)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bukti kecintaan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ {31}

” Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu ….” (QS. Ali ‘Imraan: 31)

Dan Dia menjanjikan kecintaan dan ampunan dari-Nya bagi orang-orang yang meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak mungkin kita bisa meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali dengan mengetahui Sirah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuai dengan adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal tersebut adalah wajib. Maka jika kita wajib meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka wajib pula sesuatu yang menyempurnakan kewajiban itu, yaitu mengetahui Sirah.

5. Sirah Nabawiyyah adalah ilmu yang luas, masuk ke dalamnya, dan berada di bawah naungannya semua ilmu-ilmu syari’at. Maka dari mempelajari Sirah memungkinkan kita untuk mengetahui ilmu-ilmu berikut:

a. ‘Aqidah. Nampak jelas di hadapan pengkaji Sirah Nabawiyyah urgensi ‘aqidah, dan kosentrasi pada tauhid ketika dia melihat perhatian dan keseriusan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap masalah ‘aqidah di dalam dakwah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memulai dengan tauhid dan menyibukkan diri dengannya di sebagian besar kehidupan kenabian beliau.

b. Ahkaam (hukum-hukum). Pengkajian terhadap pertanyaan-pertanyaan yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan jawabannya bisa dilakukan ketika mempelajari Sirah Nabwaiyyah. Terlebih lagi terhadap ucapan dan perbuatan beliau yang lainnya yang ia adalah syari’at dan hukum, dan yang menunjuki kita ke hukum fikih yang banyak yang penting bagi kaum muslimin di kehidupan mereka di Dunia maupun Akhirat.

c. Akhlaaq wa Suluuk (akhlak dan tingkah laku). Kita bisa mengetahui segi yang penting ini dari pengkajian kita terhadap mu’amalah (interaksi) beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan para shahabatnya, isteri-isterinya, pembantunya dan selain mereka dari kalangan individu-individu masyarakat.

d. Dakwah Ke Jalan Allah. Maka di dalam Sirah Nabawiyyah terdapat sikap-sikap Nabi yang penting dalam bidang dakwah dan terdapata tatacara dakwah serta kesabaran di atasnya, sesuatu yang tidak mungkin bagi seorang juru dakwah untuk melakukan dakwah tanpa keberadaannya. Wallahu A’lam

(Sumber:فقه السيرة karya Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim az-Zaid, hal. 16-19. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)