Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) disebutkan bahwa wabah adalah penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas, seperti wabah cacar, disentri, kolera; epidemi.

Di zaman kita, ada virus corona (Covid-19), dikatakan oleh para ahli kesehatan bahwa itu juga termasuk wabah. Ia telah menyebar di banyak negara dan telah menyebabkan kematian  banyak orang. Termasuk di negara kita, Indonesia. Kita mohon keselamatan dan ‘afiyat kepada Allah.

Di zaman dulu juga ada wabah “Tha’un“, seperti yang terjadi di negeri Syam, yang dikenal dengan “Tha’un ‘Amwas.” Seperti halnya Covid-19, Tha’un ‘Awas pun menyebabkan kematian banyak orang.

Zhahir dari dampak yang ditimbulkan oleh wabah-wabah tersebut merupakan perkara yang tidak disenangi oleh manusia. Pertanyaannya, “Apakah wabah-wabah tersebut merupakan adzab ataukah merupakan rahmat?

Seputar inilah bahasan kita dalam tulisan ini.

Imam al-Bukahri di dalam shahihnya menyebutkan hadis,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الطَّاعُوْنِ فَأَخْبَرَنِي أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَأَنَّ اللَّهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيْبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيْدٍ

“Dari ‘Aisyah, istri Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-, semoga Allah meridhainya, ia berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang tha’un, maka beliau mengabarkan kepadaku bahwa Tha’un itu merupakan adzab yang Allah kirimkan kepada orang-orang yang Dia kehendaki, dan bahwa Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tak seorang pun (yang beriman) yang ketika tha’un mendera, ia tetap tinggal di negerinya dengan penuh kesabaran seraya mencari pahala (dari Allah), ia tahu bahwasanya tidak akan menimpanya melainkan apa yang telah ditetapkan Allah baginya, melainkan ia bakal mendapatkan (pahala) seperti pahala orang yang mati syahid.” (HR. Al-Bukhari).

 

Penjelasan

‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-, tentang tha’un, yakni, apakah tha’un itu ?

Apa pandangan pembuat syariat terhadap wabah ini yang bahayanya merebak secara umum di tengah-tengah manusia, Apakah hal tersebut merupakan adzab ataukah merupakan rahmat ?

Apakah hal itu merupakan kebaikan ataukah hal itu merupakan hukuman yang diturunkan disebabkan dosa-dosa ?

‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang tha’un ini.

Tha’un penyakit yang telah dikenal –semoga Allah melindungi saya dan Anda sekalian dari setiap keburukan-.

Tha’un, termasuk jenis penyakit yang mewabah yang tersebar dan menular, dengan izin Allah azza wa jalla.

Tak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini melainkan apa yang dikehendaki Allah-tabaraka wa ta’ala-.

Tha’un merupakan penyakit. Penyakit tersebut tampak –pada galibnya- dalam bentuk bisul di bawah ketiak, dan warnanya condong kepada warna hitam, padanya terdapat nyala dan panas, diiringi dengan meningkatnya panas tubuh, diiringi pula dengan denyut jantung yang cepat. Inilah dia tha’un.

Ia adalah jenis tertentu dari wabah. Penyakit ini, pada asalnya menimpa tikus, kemudian kutu-kutu memindahkannya ke tikus-tikus yang lainnya, atau kutu-kutu tersebut memindahkannya ke manusia melalui darah, maka munculnya hal itu disebabkan pemindahan yang dilakukan oleh kutu-kutu ini -dengan izin Allah-  dari tikus tersebut, lalu bila hal itu menimpa manusia, tersebarlah di tengah-tengah mereka.

Yang menjadi maksud, bahwa ‘Aisyah bertanya kepada beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang tha’un, lalu Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- mengabarkan kepadanya bahwasanya tha’un itu dulu pernah menjadi azab yang Allah kirimkan kepada siapa yang Dia kehendaki.  Yakni, dari kalangan orang-orang kafir dan para pembangkan (ahli maksiat). Sebagaimana kata al-Hafizh Ibnu Hajar-semoga Allah merahmatinya. (Lihat, Fathul Baariy Syarh Shahih al-Bukhari, 16/257).

Hal ini menunjukkan -dengan petunjuk yang jelas- bahwa Allah mengazab atau menghukum dengan beragam bentuk penyakit yang tersebar di tegah-tengah manusia.

Hal tersebut juga ditunjukkan oleh hadis yang lainnya, di mana Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

  

يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِيْنَ خِصَالُ خَمْسٍ إِنْ ابْتُلِيْتُمْ بِهِنَّ وَ نَزَلْنَ بِكُمْ أَعُوْذُ بِاللهِ أَنْ تُدْرِكُوْهُنَّ : لَمْ تَظْهَرُ اَلْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوْا إِلَّا فَشَا فِيْهِمْ اَلْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ فِي أَسْلَافِهِمْ …

“Wahai orang-orang Muhajirin ! Lima perkara, jika kalian diuji dengannya dan kelima perkara itu telah turun kepada kalian-aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak mendapatkan kelima perkara tersebut ; perbuatan keji pada suatu kaum yang awalnya tidak nampak hingga mereka melakukannya secara terang-terangan, niscaya akan tersebar di tengah-tengah mereka al-Auja’ (beragam penyakit) yang belum pernah terjadi pada para pendahulu mereka…(HR. Al-Baihaqiy di dalam Syu’abul Iman, no. 3314).

وَمَا انْتَشَرَ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ حَتَّى يُعْلِنُوْا بِهَا إِلَّا عَمَّتْهُمُ الْأَوْجَاعُ وَالطَّوَاعِيْنُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ فِي أَسْلَافِهِمْ

“Dan tidaklah tersebar perbuatan keji pada suatu kaum hingga mereka melakukannya secara terang-terangan melainkan beragam penyakit dan tha’un-tha’un yang belum pernah mendera para pendahulu mereka akan menyebar di tengah-tengah mereka…” (HR. Ibnu Majah, no. 4019).

 

Sabda beliau,

وَأَنَّ اللَّهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ

 

Dan bahwa Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Yakni, Allah menjadikan tha’un tersebut sebagai salah satu sebab bertambahnya rahmat Allah kepada orang-orang yang beriman, yang bersabar dalam menghadapi wabah tersebut. (Mirqatu al-Mafatih Syarh Misykatu al-Mashabih, 5/270).

Maka, bilamana wabah tersebut menimpa orang-orang yang beriman, yakni, orang-orang yang merealisasikan keimanannya, sesungguhnya hal tersebut merupakan rahmat untuk mereka. Sebagaimana sabda Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam– :

فَالطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِأُمَّتِي وَرَحْمَةٌ لَهُمْ وَرِجْسٌ عَلَى الْكَافِرِيْنَ

 

Tha’un merupakan (sebab) kesyahidan untuk ummatku dan merupakan rahmat bagi mereka dan merupakan kehinaan atas orang-orang kafir.” (HR. Ahmad).

Makna hal tersebut adalah bahwa apa yang mendera seseorang berupa hal yang tidak disukai manusia, sesungguhnya hal itu selaras dengan keadaan mereka. Maka, bila mana seseorang yang taat dan di atas kondisi yang istiqamah tertimpa hal tersebut, maka hal yang tidak disukai tersebut menjadi rahmat dan cobaan yang dicobakan oleh Allah kepadanya untuk mengangkat derajatnya. Sebagaimana sabda Nabi,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلاَّ كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ

“Tak seorang muslim pun yang tertusuk duri atau (tertimpa musibah) yang lebih besar dari itu melainkan akan dituliskan untuknya satu sedarat dan dihapus darinya satu kesalahan.” (HR. Muslim).

Dan, demikian pula apa yang dihasilkan dari tindakan ketaatan, seperti orang yang pergi haji, terjadi padanya sesuatu yang tidak disukainya, semisal kakinya patah atau retak, atau ia berhaji kemudian kembali ke daerahnya dalam keadaan terkena sakit, demam, influenza dan yang lainnya, maka kesemuanya itu merupakan rahmat.

Adapun sesuatu yang dihasilkan dari tindakan kemaksiatan maka hal itu merupakan azab, seperti orang yang melakukan tindakan keji, zina misalnya, lalu ia terkena penyakit, maka hal tersebut merupakan azab yang disegerakan baginya di dunia sebelum di akhirat. Dan, demikian pula halnya orang yang ingin melakukan sebuah kemaksiatan, dan ia pun menempuh jalan untuk bermaksiat kepada Allah, lalu ia tertimpa benda berat atau ia terjatuh dan patah tulang, atau yang lainnya, maka hal ini merupakan hukuman Allah yang disegerakan baginya di dunia.

Dan, boleh jadi Allah mengirimkan hukuman secara umum, semua orang terkena, baik orang yang taat maupun yang tidak taat, namun nantinya mereka akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan mereka masing-masing. Hukuman, -semisal wabah penyakit-bila mana turun akan menimpa orang yang baik, orang yang taat dan orang yang tidak baik, orang yang tidak taat. Allah telah mengabarkan kepada kita di dalam kitab-Nya,

فَلَوْلَا كَانَ مِنَ الْقُرُوْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ أُولُو بَقِيَّةٍ يَنْهَوْنَ عَنِ الْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ إِلَّا قَلِيْلًا مِمَّنْ أَنْجَيْنَا مِنْهُمْ وَاتَّبَعَ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مَا أُتْرِفُوْا فِيْهِ وَكَانُوْا مُجْرِمِيْنَ 

“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Huud : 116).

Maka Allah menyelamatkan orang-orang yang melarang (manusia) dari melakukan keburukan. Adapun orang-orang yang ikut serta dalam melakukan keburukan tersebut, atau orang-orang yang diam, tidak melarangnya, maka sesungguhnya hukuman itu menimpa mereka semuanya, kemudian, setelah itu mereka dibangkitkan sesuai dengan keadaan mereka masing-masing dan di atas niatan-niatan mereka masing-masing.

Sabda beliau,

لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُوْنُ

 

Tak seorang pun yang ketika tha’un mendera.

 

Yakni, ia dicoba dengannya, ia terjangkiti olehnya. Atau, ia berada di daerah yang tengah terjangkiti olehnya, terjadi di daerah tersebut wabah tha’un atau yang lainnya.

Sabda beliau,

فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا

Ia tetap tinggal di negerinya dengan penuh kesabaran seraya mencari pahala (dari Allah).”

Yakni, ia tetap tinggal di negerinya yang tengah tertimpa wabah tha’un, tanpa risau, dan tanpa resah dan gelisah, bahkan ia pasrah terdapat ketentuan Allah dan ridha terhadap ketetapan-Nya. Dan, ia mencari pahala Allah dengan tetap bersabar dan melakukan sebab yang disyariatkan, seperti berdoa dan berdzikir, tidak keluar dari daerah tersebut, dll. Sebagaimana disebutkan dalam hadis,

عَنْ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا كَانَ الطَّاعُوْنُ بِأَرْضٍ فَلَا تَهْبِطُوْا عَلَيْهِ, وَإِذَا كَانَ بَأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوْا مِنْهُ

Sa’d bin Malik -semoga Allah meridhainya- meriwayatkan bahwa Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-bersabda, “Apabila tha’un berada di suatu daerah maka janganlah kalian memasuki daerah tersebut. Dan, apabila tha’un tersebut berada di suatu daerah sementara kalian tengah berada di daerah tersebut maka janganlah kalian beranjak pergi darinya.” (HR. Ahmad).

Hal demikian itu karena seseorang tidak layak melemparkan dirinya kepada bala. Namun, ketika terjatuh ke dalam bala tersebut, maka ketika itu hendaknya bersabar dan mencari pahala dari Allah. Adapun lari darinya tak akan memberikan manfaat kepadanya. Allah Ta’ala telah berfirman,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ خَرَجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوْفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوْتُوُا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُوْنَ

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: “Matilah kamu”, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.(QS. al-Baqarah : 243).

قُلْ لَنْ يَنْفَعَكُمُ الْفِرَارُ إِنْ فَرَرْتُمْ مِنَ الْمَوْتِ أَوِ الْقَتْلِ

 

“Katakanlah : “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan.” (QS. al-Ahzab : 16).

قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ

 

“Katakanlah : “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” (QS. Ali Imran : 154).

Sabda beliau,

يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيْبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ

 

Ia tahu bahwasanya tidak akan menimpanya melainkan apa yang telah ditetapkan Allah baginya.”

Pengetahuannya tersebut dibangun di atas pembenarannya terhadap firman-Nya,

قُلْ لَنْ يُصِيْبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ 

 

“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. at-Taubah : 51).

Sabda beliau,

إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيْدٍ

 

“Melainkan ia bakal mendapatkan (pahala) seperti pahala orang yang mati syahid.

 Meskipun, ia tidak terjangkiti oleh wabah penyakit tersebut. Meskipun ia meninggal selang beberapa saat di atas tempat pembaringannya karena penyakit yang lainnya. Inilah zhahir hadis ini, dan inilah yang difahami oleh sebagian para pensyarah (pemberi penjelasan) terhadap hadis ini, di antara mereka adalah al-Hafizh Ibnu Hajar-semoga Allah merahmatinya- di dalam Fathul Baariy.

Maka, yang menjadi maksud adalah bahwa seseorang hendaknya mencari hal tersebut, sehingga ia mendapatkan pahala seperti pahala dan balasan ini.

Dan, yang dimaksud dengan ‘kesyahidan’ di sini adalah bahwa pahala syahid terkait hukum-hukum akhirat, bukan syahid dunia. Karena telah dimaklumi bahwa orang yang mati syahid dunia, tidak dimandikan, dikafani dengan baju yang dikenakannya, dan para fuqaha berbeda pendapat, apakah disahalatkan jenazahnya ataukah tidak.

Adapun orang yang mati karena terjangkiti tha’un, seperti orang yang mati karena tenggelam, kebakaran, tertimpa benda berat, dan yang lainnya, maka diberlakukan padanya hukum-hukum terkait syahid akhirat, dan boleh jadi ia mencapai kedudukan para syuhada. Wallahu A’lam.

Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar kita dimatikan dalam keadaan Islam dan digabungkan dengan orang-orang yang saleh. Semoga kita menutup hidup kita di dunia dalam keadaan baik, termasuk orang yang mati syahid dan mendapatkan pahalannya. Amin.

(Redaksi)

 

Referensi :

 

1. Al-Musnad, Imam Ahmad bin Hanbal.

2. Fathul Baariy Syarh Shahih al-Bukhari, Ahmad bin Ali al-‘Asqalani.

3. Haditsu ‘Kaana ‘Adzaban Yab’atsuhullah ‘Ala Man Yasyaa-u‘, Prof. Dr. Khalid bin Utsman as-Sabt.

4. Mirqatu al-Mafatih Syarh Misykatu al-Mashabih, al-Mala ‘Ali al-Qori.

5. Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari.

6. Shahih Muslim, Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi.

7. Sunan Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid al-Qazwaini.

8. Syu’abul Iman, Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi.