Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman di dalam hadis Qudsi,

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

“Wahai hamba-hamba-Ku ! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan kezhaliman itu haram dilakukan di antara kalian. Karena itu, janganlah kalian saling bertindak zhalim satu sama lain.”(HR. Muslim).

Hal demikian itu karena kesempurnaan sifat keadilan Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. padahal Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-Maha Kuasa atas segala sesuatu. Akan tetapi, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengharamkan kezhaliman atas diri-Nya. Maka, Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-tidak akan pernah menzhalimi seorang pun, dan siapa pun tidak layak takut adanya tindak kezhaliman dari-Nya dan tidak layak pula takut akan adanya pengurangan haknya.

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا [طه : 112]

“Siapa yang mengerjakan kebajikan dan dia (dalam keadaan) beriman, maka dia tidak khawatir akan perlakuan zalim (terhadapnya) dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya.” (Thaha : 112).

Dan, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga menjadikan kezhaliman itu haram di antara para hamba-Nya. Maka, tindak kezhaliman apa pun bentuknya tidak boleh dilakukan oleh seorang hamba terhadap siapa pun orangnya.

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

“Dan Aku jadikan kezhaliman itu haram dilakukan di antara kalian. Karena itu, janganlah kalian saling bertindak zhalim satu sama lain.”

Dan, yang wajib atas para hamba adalah hendaknya mereka tahu akan keharaman tindak kezhaliman dan bahayanya, serta buruknya dampak yang ditimbulkannya dan besarnya akibat kesudahannya, dan bahwa kezhaliman itu merupakan perkara yang diharamkan (oleh Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-). Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-mengharamkannya dan akan memberi hukuman terhadap orang-orang yang melakukannya dengan hukuman yang besar dan siksaan yang pedih. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ [إبراهيم : 42]

“Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang orang-orang zalim perbuat.” (Ibrahim : 42).

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga berfirman,

وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ [الشعراء : 227]

“Orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui ke mana mereka akan kembali.” (asy-Syu’ara : 227).

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga berfirman,

إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ [الشورى : 42]

“Sesungguhnya alasan (untuk menyalahkan) itu hanya ada pada orang-orang yang menganiaya manusia dan melampaui batas di bumi tanpa hak (alasan yang benar). Mereka itu mendapat siksa yang sangat pedih.” (asy-Syura : 42).

Ayat-ayat yang mengandung makna ini cukup banyak.

Wahai orang-orang yang beriman, para hamba Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-!

Tindak kezhaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada hari Kiamat. Hari di mana orang-orang beriman akan datang pada hari Kiamat dengan memancarkan cahaya-cahaya mereka, sementara orang yang berbuat kezhaliman itu datang pada hari Kiamat dalam keadaan terbentur-bentur di dalam kegelapan-kegelapan kezhalimannya.

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahih keduanya, dari Ibnu Umar-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-bahwa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

اَلظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Kezhaliman merupakan kegelapan-kegelapan pada hari Kiamat.”

Dan orang yang zhalim-sekalipun hak orang lain yang dirampasnya merupakan sesuatu yang sedikit jumlahnya-akan datang pada hari Kiamat nanti dengan memikul sesuatu yang dirampasnya tersebut di atas pundaknya, dikalungkan ke lehernya sebagai bentuk penghinaan terhadap dirinya di hadapan para makhluk-Nya pada hari Kiamat.

Asy-Syaikhan (Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) meriwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-bahwa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

مَنْ ظَلَمَ قِيْدَ شِبْرٍ مِنَ الأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

“Barang siapa merampas sejengkal tanah niscaya akan dikalungkan padanya tujuh lapis bumi.”

Yakni, bahwa ia (orang yang zhalim tersebut) akan datang dengan membawa lapisan-lapisan bumi ini sampai tujuh lapis bumi akibat dari tindakannya mengambil sejengkal tanah milik orang lain secara zhalim, ia akan datang membawanya (melingkar) di lehernya pada hari Kiamat sebagai bentuk penghinaan terhadap dirinya di hadapan para makhluk-Nya.

Wahai orang-orang yang beriman, para hamba Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-!

Dan, orang yang zhalim itu akan datang pada hari Kiamat nanti boleh jadi sebagai orang yang paling bangkrut karena kehilangan semua kebaikannya. Karena, pada hari yang agung tersebut hak-hak akan ditunaikan dan hak-hak yang dirampas secara zhalim bakal dikembalikan kepada orang-orang yang berhak atas hak-hak tersebut. Kebangkrutan orang tersebut terjadi dengan diambilnya kebaikan-kebaikannya. Jika, kebaikan-kebaikannya telah habis, niscaya akan diambillah keburukan-keburukan dari orang yang dizhaliminya lalu dicampakkan kepadanya. Oleh karena itu, pada hari itu-hari Kiamat-nampak jelas kebangkrutan yang sebenarnya dan terungkaplah dengan sebenar-benarnya siapakah orang-orang yang bangkrut itu sebenarnya.

Imam Muslim-رَحِمَهُ اللهُ-meriwayatkan di dalam Shahihnya dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-bahwa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – bersabda,

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟

“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?”

Mereka (para sahabat) menjawab,

الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ

“Orang yang bangkrut di kalangan kita adalah orang yang tidak memiliki dirham (uang) tidak pula memiliki barang.”

(Mendengar hal itu) maka beliau bersabda,

إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ، وَصِيَامٍ، وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari kalangan ummatku adalah orang yang akan datang pada hari Kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa, zakat, namun ia datang sementara (ketika di dunia) telah menghina si fulan, menuduh si fulan, memakan harta si fulan, menumpahkan darah (membunuh) si fulan, dan memukul si fulan. Maka, si fulan akan diberi (pahala) kebaikan-kebaikannya, si fulan yang lain juga demikian, jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum ia dapat melunasinya, niscaya (dosa-dosa) kesahan-kesalahan mereka bakal diambil lalu dicampakkan kepada orang tersebut, kemudian ia dicampakkan ke dalam Neraka.”

Wahai orang-orang yang beriman!

Hari Kiamat merupakan hari qishash dan hari dikembalikannya hak-hak yang dirampas. Dan, renungkanlah oleh kalian hadis nan agung berikut ini yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang mulia Abdullah bin Unais-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً بُهْمًا

“Pada hari Kiamat manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan buhman.”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Apa yang dimaksud dengan ‘buhman’, wahai Rasulullah?”
Beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pun menjawab,

أي لَيْسَ مَعَهُمْ مِنَ الدُّنْيَا شَيْءٌ

“Yakni, tak ada sesuatupun dari dunia yang dibawa serta mereka.”

Kemudian, Dia (Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-) akan menyeru mereka dengan suara yang dapat didengar oleh orang-orang yang jauh sebagaimana dapat didengar oleh orang-orang yang dekat, seraya mengatakan, ‘أَنَا الْمَلِكُ ، أَنَا الدَّيَّانُ (Akulah Raja, Akulah Dzat yang akan memberikan balasan).

Kemudian Dia (Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-) berfirman,

لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عَلَيْهِ مَظْلَمَةٌ حَتَّى أَقُصَّهَا مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَلَيْهِ مَظَلَمَةٌ حَتَّى أَقُصَّهَا مِنْهُ ، حَتَّى اللَّطْمَةَ

“Tak seorang pun dari ahli Surga layak untuk masuk Surga, tidak pula seorang pun dari ahli Neraka yang merampas hak-hak secara zhalim (layak untuk masuk Neraka) sebelum Aku menuntut balas terhadapnya. Dan, tak seorang pun dari ahli Neraka layak untuk masuk Neraka, tidak pula seorang pun dari ahli Surga yang merampas hak-hak orang lain (layak untuk masuk Surga) sebelum Aku menuntut balas terhadapnya, walaupun (tindak kezhalimannya) itu berupa sekali tamparan.”

Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana hal itu terjadi sementara mereka datang (pada hari Kiamat itu) dalam keadaan tidak membawa serta apapun dari dunia?

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pun menjawab,

بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ

“(Hal itu terjadi) dengan (pengambilan) kebaikan-baikan (pelaku tindak kezhaliman lalu diberikan kepada pihak yang dizhaliminya) dan (dengan diambilnya) keburukan-keburukan (pihak yang dizhalimi lalu diberikan kepada pihak yang menzhaliminya).”

Makna sabda beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-ini, ‘بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ’ (dengan kebaikan-kebaikan dan (dengan) keburukan-keburukan), telah datang penafsiran dan perinciannya di dalam hadis Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- yang telah disebutkan sebelumnya yang dikenal dengan hadis al-Muflis (orang yang bangkrut).

Wahai orang-orang yang beriman, para hamba Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-!

Sesungguhnya orang yang berakal yang berkenan memberikan nasihat kepada dirinya sendiri, ketika ia mau merenungkan apa yang terkandung dalam dalil-dalil ini-di mana hal ini banyak contohnya di dalam kitab Allah dan sunnah Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-yang memperingatkan akan tindak kezhaliman dan menjelaskan akan bahayanya dan buruknya dampak negatifnya terhadap orang yang bertindak zhalim itu, sama saja baik kezhaliman yang dilakukannya tersebut terkait dengan jiwa (nyawa), atau pun terkait dengan kehormatan, atau pun terkait dengan harta apa pun bentuk kezhalimannya-selayaknya ia mawas diri dan hal itu hendaknya pula membangunkan kesadaran hatinya dari tidurnya, dan hendaknya pula ia memperhitungkan kondisi hal itu dengan perhitungan yang cermat dan menimbang-nimbang amalnya dalam kehidupan ini sebelum amal-amalnya tersebut ditimbang di hari dimana ia menemui Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

Telah datang di dalam ash-Shahih dari hadis Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-bahwa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَادِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barang siapa yang memiliki hak-hak saudaranya yang dirampasnya berupa kehormatan atau yang lainnya, maka hendaknya ia meminta kehalalannya dari saudaranya tersebut pada hari ini (semasa hidup di dunia) sebelum (tiba hari di mana) tidak ada lagi dinar dan dirham. Jika ia (orang yang merampas hak saudaranya) memiliki (pahala) amal shaleh niscaya akan diambil darinya sekadar hak-hak yang dirampasnya, dan jika (pahala) kebaikan-kebaikannya sudah tidak dimililikinya, niscaya akan diambil (dosa-dosa) keburukan-keburukan orang yang dirampas haknya, lalu ditimpakan kepadanya (orang yang merampas hak-hak orang lain secara zhalim tersebut).”

Maka, wahai hamba-hamba Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– !

Sesungguhnya semasa hidup seseorang dalam kehidupan dunia ini merupakan kesempatan yang sangat berharga dan tidak akan tergantikan (jika seseorang telah meninggalkannya). Seorang hamba, semasa hidupnya di dunia ini, hendaknya ia berlepas diri dari segala bentuk perampasan terhadap hak-hak orang lain sebelum ia menjumpai Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-pada hari Kiamat sementara ia memikul hak-hak orang lain yang dirampasnya di atas pundaknya sebagai bentuk penghinaan terhadap dirinya di hadapan para makhluk-Nya, kemudian ia menerima hukuman dan siksaan yang pedih atas tindak kezhalimannya.

Kita memohon perlindungan kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-Dzat yang Maha Agung dari tindakan menzhalimi orang lain atau dizhalimi oleh orang lain. Dan, kita juga memohon kepada-Nya-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-agar kiranya berkenan untuk memperbaiki keadaan kita seluruhnya, dan tidak menyerahkan diri kita kepada diri kita sendiri sekejap mata pun juga. Sesungguhnya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Maha Mendengar doa, dan Dia-lah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-Dzat yang layak menjadi tumpuan harapan kita. Cukuplah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadi penolong bagi kita dan Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-adalah sebaik-baik pelindung. Amin. Wallahu A’lam. (Redaksi)

Sumber:
At-Tahdzir Min adz-Dzulmi, Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr-حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى-. Dengan gubahan.