Imam Ibnu Majah -رَحِمَهُ اللهُ- di dalam Sunannya meriwayatkan dari al-Aghar Abu Muslim, bahwasanya ia bersaksi atas Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ– dan Abu Sa’id -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – bahwa keduanya bersaksi atas Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bahwa beliau bersabda,

إِذَا قَالَ الْعَبْدُ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ»، قَالَ: يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: «صَدَقَ عَبْدِي؛ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا، وَأَنَا اللهُ أَكْبَرُ

Apabila seorang hamba mengatakan, ‘Tidak ada Tuhan yang haq kecuali Allah dan Allah yang Maha Besar’. Beliau bersabda, ’Allah عَزَّ وَجَلّ berfirman, ‘Hamba-Ku telah benar; tidak ada Tuhan yang haq kecuali Aku, dan Akulah Allah yang Maha Besar.

وَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ»، قَالَ: «صَدَقَ عَبْدِي؛ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا وَحْدِي

Apabila seorang hamba mengatakan, ‘Tidak ada Tuhan yang haq kecuali Allah semata’. Dia عَزَّ وَجَلَّ berfirman,’Hamba-Ku telah benar; Tidak ada Tuhan yang haq kecuali Aku semata.’  

وَإِذَا قَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ»، قَالَ: «صَدَقَ عَبْدِي، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا وَلَا شَرِيكَ لِي

Apabila ia (si hamba) mengatakan, ‘Tidak ada Tuhan yang haq kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya’, Dia عَزَّ وَجَلَّ berfirman, ‘Hamba-Ku telah benar; Tidak ada Tuhan yang haq kecuali Aku dan tidak ada sekutu bagi-Ku.’

وَإِذَا قَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ»، قَالَ: «صَدَقَ عَبْدِي؛ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا، لِيَ الْمُلْكُ، وَلِيَ الْحَمْدُ

Apabila ia (si hamba) mengatakan,’Tidak ada Tuhan yang haq kecuali Allah, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya pula pujian.’ Dia-عَزَّ وَجَلَّ berfirman, ‘Hamba-Ku telah benar; Tidak ada Tuhan yang haq kecuali Aku, milik-Kulah kerajaan dan milik-Ku pula pujian.

وَإِذَا قَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ»، قَالَ: «صَدَقَ عَبْدِي؛ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِي

Apabila ia (si hamba) mengatakan, ’Tidak ada Tuhan yang haq kecuali Allah, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah.’ Dia عَزَّ وَجَلَّ berfirman, ‘Hamba-Ku telah benar; Tidak ada Tuhan yang haq kecuali Aku, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan (pertolongan)-Ku.

 Abu Ishaq mengatakan, ‘Kemudian al-Aghar mengatakan sesuatu yang aku tidak dapat memahaminya. Ia berkata, ‘Maka aku tanyakan kepada Abu Ja’far, ‘Apa yang dia katakan?’. Ia pun menjawab (bahwa kemudian Nabi    -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda),

مَنْ رُزِقَهُنَّ عِنْدَ مَوْتِهِ لَمْ تَمَسَّهُ النَّارُ

Barang siapa diberi rizki berupa ungkapan kata-kata tersebut saat menjelang kematiannya, niscaya api neraka tak akan menyentuhnya. (HR: Ibnu Majah, no. 3794).

**

Dan, Imam at-Tirmidzi -رَحِمَهُ اللهُ- meriwayatkannya (meriwayatkan hadis ini) (di dalam sunannya) di dalam (بَابٌ مَا يَقُوْلُ الْعَبْدُ إِذَا مَرِضَ) (Bab: Apa yang Diucapkan Seorang Hamba Ketika Sakit), lafazhnya,

كَانَ يَقُولُ: مَنْ قَالَهَا فِي مَرَضِهِ ثُمَّ مَاتَ لَمْ تَطْعَمْهُ النَّارُ

“Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengatakan, ‘Barang siapa mengucapkannya di saat sakitnya, kemudian ia meninggal dunia niscaya api neraka tidak akan melahapnya’.” (HR: at-Tirmidji, no. 3430).

Imam an-Nasai -رَحِمَهُ اللهُ- juga meriwayatkannya dan beliau -رَحِمَهُ اللهُ- menambahkan redaksi,

يَعْقِدُهُنَّ خَمْسًا بِأَصَابِعِهِ

“Beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَmenghitungnya lima (kalimat) dengan jari-jemarinya.” (HR: an-Nasai, no. 9773).

 Dalam satu riwayat, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengatakan,

يُصَدِّقُ اللَّهُ الْعَبْدَ بِخَمْسٍ يَقُولُهُنَّ

“Allah membenarkan seorang hamba karena lima (kalimat) yang diucapkanya.”

(dan selanjutnya beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menyebutkan kelima kalimat tersebut). (HR: an-Nasai, no. 9778)

Saat menyebutkan beberapa faedah zikir, Ibnul Qayyim -رَحِمَهُ اللهُ-mengatakan, “Zikir itu merupakan sebab pembenaran Rabb -عَزَّوَجَلَّ-terhadap hamba-Nya. Sesungguhnya sang hamba (ketika ia berzikir) mengabarkan tentang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– berupa sifat-sifat kesempurnaan-Nya dan keagungan-Nya. Maka, ketika sang hamba mengabarkannya, Rabbnya pun membenarkannya. Dan, barang siapa yang dibenarkan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– niscaya ia tidak akan dikumpulkan bersama para pendusta dan diharapkan ia akan dikumpulkan bersama orang-orang yang benar.’ Dan beliau (Ibnul Qayyim -رَحِمَهُ اللهُ–) menyebutkan hadis ini.

Beliau (Ibnul Qayyim -رَحِمَهُ اللهُ–) juga mengatakan, “Dan termasuk hal yang dicintai-Nya adalah sanjungan (seorang hamba) kepada-Nya. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى–  akan membenarkan orang yang menyanjung-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya.”

Dan dengan ini Ibnu Hibban -رَحِمَهُ اللهُ– memberikan judul bab untuk hadis ini di dalam shahihnya. Beliau -رَحِمَهُ اللهُ– mengatakan,

ذِكْرُ الْكَلِمَاتِ الَّتِي إِذَا قَالَهَا الْمَرْءُ الْمُسْلِمُ صَدَّقَهُ رَبُّهُ جَلَّ وَعَلَا عَلَيْهَا.

“Penyebutan kalimat (beberapa ungkapan kata) apabila seorang muslim mengucapkannya niscaya Rabbnya –عَزَّ وَجَلَّ- akan membenarkannya.”

**

Sabda beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

مَنْ رُزِقَهُنَّ عِنْدَ مَوْتِهِ لَمْ تَمَسَّهُ النَّارُ

Barang siapa diberi rizki berupa ungkapan kata-kata tersebut saat menjelang kematiannya, niscaya api Neraka tak akan menyentuhnya.

As-Sindi -رَحِمَهُ اللهُ- di dalam Hasyiyahnya terhadap Sunan Ibnu Majah mengatakan, “Yakni, barang siapa dikaruniai oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى–    kalimat-kalimat (ungkapan kata-kata) ini saat menjelang kematian dan diberikan taufik untuk mengucapkannya niscaya Neraka tak akan menyentuhnya. Bahkan, ia bakal masuk Surga sedari awal bersama orang-orang yang baik. Ya, Allah! Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang Engkau berikan rizki berupa kalimat-kalimat (ungkapan kata-kata) tersebut.”

Asy-Syaukani -رَحِمَهُ اللهُ- di dalam Tuhfatu adz-dzakirin mengatakan, “Hal itu karena kalimat-kalimat tersebut berisikan (pernyataan) tauhid sebanyak lima kali. (Yakni, pertama, «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ» , kedua, « لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ» , ketiga, « لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ»  keempat,  « لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ»  dan kelima, « لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ»-pen). Sementara telah tetap di dalam hadis-hadis shahih bahwa barang siapa meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– dengan sesuatu pun niscaya ia masuk Surga. Dan akan datang (penjelasan) mengenai bahwa ‘barang siapa akhir ucapannya adalah لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ niscaya masuk Surga.’ Dan datang hadis-hadis yang cukup banyak dengan redaksi yang semakna dengan hadis ini di dalam shahihain (shahih al-Bukhari dan shahih Muslim) dan yang lainnya bersumber dari sekelompok orang dari kalangan para sahabat.

Al-Mubarakfuri -رَحِمَهُ اللهُ- di dalam al-Mir’ah mengatakan,                 

وَفِي الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْكَلِمَاتِ الْمَذْكُوْرَةِ فِي الْحَدِيْثِ إِذَا قَالَهَا الْعَبْدُ فِي مَرَضِهِ وَمَاتَ فِي ذَلِكَ الْمَرَضِ عَلَى تِلْكَ الْكَلِمَاتِ -أَيْ كَانَتْ خَاتِمَةُ كَلَامِهِ الَّذِي يَتَكَلَّمُ بِهِ عَاقِلًا مُخْتَارًا- لَمْ تَمُسْهُ النَّارُ، وَلَمْ يَضُرُّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الْمَعَاصِي، وَأَنَّهَا تُكَفِّرُ جَمِيْعَ الذُّنُوْبِ.

“Di dalam hadis tersebut terdapat dalil yang menunjukan bahwa ungkapan-ungkapan kata yang disebutkan di dalam hadis tersebut, apabila seorang hamba mengucapkannya kala sakitnya dan ia meninggal dunia saat sakitnya tersebut di atas ungkapan kata-kata tersebut-yakni, penutup ucapannya yang diucapkannya dalam keadaan berakal dan memiliki pilihan-niscaya api Neraka tidak akan menyentuhnya, tidak akan membahayakannya apa-apa yang telah dilakukannya berupa kemaksiatan-kemaksiatan, dan bahwa ungkapan kata-kata tersebut akan menghapus semua dosa-dosa.”  

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ- di dalam syarahnya terhadap kitab Riyadhushalihin mengatakan, “Maka, selayaknya seorang insan menghafal zikir ini, dan memperbanyak mengucapkannya saat dalam keadaan sakitnya sehingga –insya Allah- ditutup (hidup)nya dengan kebaikan. Dan Allah-lah yang dapat memberikan taufiq.”

Dan, ayahku Syaikh Abdul Muhsin al-Badr –حَفِظَهُ اللهُ- mendiktekan kepadaku seraya mengatakan, “Zikir nan agung ini datang di dalam hadis yang diriwayatkan oleh sebagian pengarang kitab sunan dan selain mereka dan dishahihkan oleh sebagian kalangan ahli ilmu. Zikir tersebut mengandung lima kalimat tahlil, ditambahkan kepada kelima zikir tersebut sanjungan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dimana Dialah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- saja yang berhak atas sanjungan tersebut, sementara Imam al-Bukhari menutup kitab Shahihnya dengan hadis Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- di mana Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda di dalamnya,

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيْلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ

“Dua ungkapan kata nan ringan atas lisan, berat di dalam timbangan, dicintai oleh ar-Rahman (Allah), yaitu, ‘Maha suci Allah yang Maha Agung, Maha Suci Allah dan pujian untuk-Nya.” (HR: al-Bukhori, no. 6406).

Dan, kelima ungkapan tahlil ini layak untuk disifati dengan ketiga sifat ini yang datang (disebutkan) dalam hadis ini (yakni, (1) ringan atas lisan, (2) berat di dalam timbangan, dan (3) dicintai oleh ar-Rahman (Allah)-pen). Sungguh, anakku Abdurrazzaq-semoga Allah menjaganya-telah bertindak baik dengan mengingatkan (manusia) akan hadis ini dan menyebarluaskannya. Dan, peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Karenanya, selayaknya seorang Muslim itu memiliki perhatian terhadap zikir ini, terlebih pada saat sakitnya. Allah-lah yang dapat memberikan taufiq.

Dulu, Syaikh Ahmad Abu Ubaidah al-Mahruzi al-Marakisyi -رَحِمَهُ اللهُ- banyak memberikan wasiat agar perhatian terhadap zikir ini, dan beliau menamakan zikir ini dengan ‘Wirid al-Ihtidhar’ (Wirid Saat Menjelang Kematian). Beliau -رَحِمَهُ اللهُ- berkali-kali berpesan dengan mengatakan,

    لَا تَغْفَلْ عَنْ وِرْدِ اْلِاحْتِضَارِ     وَاجْعَلْ دَائِمًا فِي الْاِعْتِبَارِ

Jangan kamu lalai dari (membaca) wirid ihtidhar

Dan jadikan (hidupmu) selalu dalam upaya mengambil pelajaran

Dan, ketika menjelaskan perbedaan antara wirid ini (wirid ihtidhar) dan hadis,

 مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barang siapa akhir ucapannya (saat hendak meninggal dunia) adalah لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ , niscaya ia masuk Surga.” (HR: Abu Dawud, no. 3118).

Beliau (yakni, Ayaikh Ahmad Abu Ubaidah al-Mahruzi al-Marakisyi) – رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Bisa jadi (dimasukkannya orang yang akhir perkataannya  (لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ) ke dalam Surga terjadi setelah didahului dengan siksaan (di dalam Neraka), sementara ini (dalam wirid ihtidhar ini) (bagi orang yang membacanya dan dijanjikan masuk Surga) tidak ada di sana didahului dengan mendapatkan siksa di dalam Neraka terlebih dahulu, karena dalam wirid ini digunakan ungkapan, “لَمْ تَمَسَّهُ النَّارُ “  (api Neraka tidak akan menyentuhnya).

Dan, beliau -رَحِمَهُ الله- juga mengatakan, “Kelima ungkapan tahlil ini (yang dapat dibaca) pada saat menjelang kematian merupakan rizki yang paling besar dan merupakan rizki yang paling agung.”

Beliau -رَحِمَهُ اللهُ- telah dimuliakan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dengan diberikan kemampuan untuk menutup akhir perkataannya saat menjelang wafatnya meninggalkan kehidupan dunia dengan wirid ini. Bahkan, beliau -رَحِمَهُ اللهُ-  pun dapat mentalkinkannya pada saat menjelang wafatnya kepada orang yang berada di sampingnya yang tengah dalam keadaan sakaratul maut hingga orang tersebut pun menutup akhir perkataannya menjelang wafatnya dengan wirid ini. Semoga Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengampuni (dosa) keduanya dan mengampuni pula (dosa-dosa) orang-orang yang telah meninggal dunia dari kalangan saudara-saudara kita kaum Muslimin semuanya. Amin

Dengan demikian, ini merupakan zikir nan agung yang diberkahi, hendaknya seorang  Muslim memperhatikan zikir ini dan memperbanyak membacanya dan mengulang-ulanginya, menjadikannya sebagai sebuah target dirinya dan keinginan besarnya, serta berharap kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- agar dimampukan untuk mengucapkannya pada saat menjelang kematian dirinya, agar ia memperoleh bagian dari khusnul khatimah yang akan memasukkannya kedalam Surga sedari pertama bersama al-Abraar (orang-orang yang berbakti/taat kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-) tanpa disentuh oleh api neraka terlebih dahulu.

Allah-lah semata yang dapat memberikan taufiq, tidak ada sekutu bagi-Nya. Wallahu A’lam. (Redaksi)

Sumber:

Khamsun Man Razaqahunna ‘Inda Mautihi Lam Tamussahu an-Naar, Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr-حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى-.